Materi

Referensi

Tampilkan postingan dengan label Perbankan Syariah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perbankan Syariah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 11 Januari 2009

Perseroan Terbatas (PT) Syariah (?)

Perseroan Terbatas (PT) Syariah (?

Oleh: Andi Syafrani

Salah satu ‘terobosan’ UU Perseoran Terbatas (PT) yang baru saja disahkan dan diundangkan dengan Nomor 40 tahun 2007 adalah diakomodasinya secara hukum Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagai salah satu organ perseroan bagi perusahaan yang menjalankan usahanya berdasar prinsip syariah (Pasal 109). Pengakomodasian ini mengingatkan memori kita pada proses awal pengakomodasian perbankan syariah dalam sistem perbankan nasional pada awal 1990-an.

Pada awalnya perbankan syariah hanyalah “prinsip ikutan” yang ditempelkan pada sistem perbankan nasional. Dalam perjalanannya kemudian perbankan syariah berhasil menegaskan identitas dirinya sebagai satu entitas perbankan tersendiri, berdampingan dengan sistem konvensional yang telah dikenal.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah roda politik-hukum akomodasi DPS ini akan bergulir menuju usaha pendemarkasian identitas yang tegas antara PT label Islam dan non-Islam seperti yang terjadi pada perbankan Islam yang sedang dalam proses pengesahan RUU Perbankan Syariah di parlemen? Dengan kata lain apakah dimungkinkan akan muncul RUU PT Syariah seperti RUU Perbankan Syariah di masa akan datang?

Menjawab pertanyaan di atas tidak akan bisa dilakukan tanpa mengetahui bagaimana sesungguhnya wacana PT dalam khazanah keislaman.

Tidak Ada PT dalam Islam
Secara prinsip, Islam tidak mengenal konsep perseroan dalam pengertian perseroan sebagai sebuah legal entity. Lima karakter utama sebuah korporasi seperti yang dikemukakan oleh Henry Hansmann and Reinier Kraakman (2004) yaitu legal personality, limited liability, transferable shares, delegated management with a board structure dan investor ownership adalah karakter hukum yang sangat asing bagi Islam.

Untuk mengambil salah satu contoh saja, legal personality adalah konsep yang ahistoris dan tidak ditemukan presedennya dalam tradisi hukum Islam. Dalam Islam relasi hukum yang berlaku hanyalah relasi antar pribadi (natural person) (hablumminannas) dan pribadi dengan Tuhannya (hablumminallah). Atas dasar ini pulalah, keyakinan pendirian negara sebagai sebuah entitas hukum tidak memiliki pijakan yuridis maupun historis dalam Islam.

Jika pun ada tradisi kelembagaan ekonomi yang berkembang dalam sejarah Islam seperti lembaga Wakaf yang disebut Marshall Hodgson (1974) sebagai “vehicle for financing Islam as society”, institusinya tidak bisa memiliki kapasitas hukum yang mutlak sebagaimana kapasitas hukum yang dimiliki oleh seseorang pribadi. Lembaga Wakaf misalnya tidak dapat melakukan kontrak atas dirinya dengan orang atau lembaga lain. Segala tindakan hukum dalam kelembagaan wakaf hanya dapat dilakukan atas nama pribadi sang Mutawwali/Nazir (pengelola wakaf).

Absennya diskursus legal personality, dan lebih umum lagi masalah PT dalam Islam pada dasarnya amat dimaklumi mengingat inovasi hukum ini baru muncul pada masa modern di belahan dunia Barat. Tingginya arus perdagangan antar negara sejak tahun 1600-an, sebagaimana dicatat oleh Timur Kuran (2005), mengawali masa terinstitusionalisasinya bisnis-bisnis di Eropa. Dan di pertengahan akhir abad ke-19, Inggris memelopori pengembangan hukum korporasi dengan pertama kali melegislasi undang-undang perseroan Companies Act 1844. Konsep legal personality sendiri baru muncul belakangan dalam kasus klasik yang sangat terkenal yaitu Solomon v. Solomon &Co.Ltd. pada tahun 1897, juga di Inggris (John Farrar, 2005).

Dari kronologis sejarah di atas, tidak mengherankan kemudian jika dalam khazanah klasik intelektual Islam tidak ditemukan pergulatan wacana seputar PT dan juga konsep derivatif darinya seperti legal personality. Catatan historis atas perseroan yang didirikan pertama kali dalam dinasti Islam adalah perseroan yang didirikan oleh Sultan Abdulmecit pada masa Ottoman pada tahun 1851 yang bernama Sirket-i Hayriye. Mengikuti pendirian perusahaan ini, pada tahun 1908, Parlemen Ottoman mengeluarkan undang-undang tentang korporasi yang merupakan produk hukum tentang korporasi yang pertama dalam tradisi Islam (Timur Kuran, 2005).

Yang mengherankan adalah pasca Dinasti Ottoman melakukan transplantasi hukum PT dari Eropa, diskursus PT dalam Islam sama sekali tidak berkembang, untuk tidak mengatakan sama sekali tidak ada. Kejumudan ijtihad dalam Islam yang sudah terjadi jauh hari sebelum keruntuhan khilafah Islam terakhir tersebut tampaknya membuat kekosongan literature Islam dalam masalah PT bertahan hingga saat ini.

Masa Depan PT Syariah
Karena konsep PT bukanlah sesuatu yang intrinsik dan berkembang dalam Islam, maka sinyal pasal 109 UU PT No.40/2007 tidaklah dapat dipahami sebagai sebuah lonceng kebangkitan atau batu loncatan bagi munculnya gerakan islamisasi atau syari’ahihasi PT sebagaimana yang terjadi pada dunia perbankan. Jika pun ada kelompok yang mencoba untuk menggulirkan ide syari’ahisasi PT, maka sejak mula gerakan itu akan mengalami kesulitan. Kesulitan dalam menggali literature keislaman tentang masalah hukum PT dan kelembagaan ekonomi hukum lainnya, dan terlebih akan terjebak dalam upaya kebuntuan untuk mencari alternatif lain untuk model hukum korporasi. Karena saat ini kiblat inovasi hukum korporasi hanya berporos pada satu sumbu yaitu American Model.

Meski terdapat beberapa variasi model hukum korporasi yang berkembang di dunia saat ini seperti model Jepang, Jerman, Inggris, Kanada, dan juga Australia, model yang menjadi mainstream dalam dunia hukum perseroan adalah model yang bersumber dari negeri Paman Sam. Atas dasar inilah, dalam salah satu artikelnya yang cukup kontroversial, Henry Hansmann dan Reinier Kraakman (2001)memproklamirkan telah terjadi “the End of History for Corporate Law”. Dan Islam, jika pun ingin menjadi pemain dalam diskursus tema-tema hukum korporasi hanya akan lebih banyak mengikuti prinsip-prinsip utama yang sudah jamak berlaku.

Pengakomodasi DPS dalam UU PT karenanya, sekali lagi, tidak akan menjadi menjadi pintu masuk bagi bergulirnya ide syari’ahisasi hukum PT di kemudian hari yang bisa melahirkan produk hukum seperti RUU Perbankan Syariah. Masuknya pasal 109 dalam UU PT tidak lebih untuk menghargai eksistensi DPS yang memang sudah beroperasi dalam perseroan yang berbasis syariah.

Dus, kehadiran DPS sebagai sebuah entitas hukum diberikan cantolan payung hukum yang lebih kuat agar perusahaan yang menjalankan prinsip syariah betul-betul menjalankan sesuai prinsip yang telah disepakati dan dipantau oleh lembaga atau individu yang kompeten.

DPS dan Good Corporate Governance
Yang menjadi tantangan ke depan dengan diakomodasinya eksistensi korporasi berasas syariah dalam UU PT adalah pembuktian bahwa perusahaan berlabel Islam dapat menjadi contoh dalam pewujudan Good Corporate Governance (GCG). Sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan UU bahwa tujuan utama dari reformasi hukum perseroan salah satunya adalah untuk menciptakan iklim perusahaan yang sehat yang menjalankan tata kelola yang baik (GCG).

Keberadaan DPS sebagai lembaga pengawas perseroan karenanya tidak hanya terbatas sebagai pengawal prinsip-prinsip syariah dalam perusahaan dan produk-produk bisnisnya. DPS semestinya dapat menjadi agen dalam mentransformasikan nilai-nilai syariah yang berlaku dalam bisnis sebagai pedoman (code of conducts) yang sejalan dengan prinsip-prinsip GCG. Dengan demikian, peran DPS akan lebih dihargai eksistensinya, dan tidak akan dilihat hanya sebagai lembaga stempel ‘penghalalan’ semata. Jika hal ini dapat dipraktekkan, maka prinsip-prinsip Islam bisa mengambil peran dalam proses inkorporasi hukum korporasi sebagai nilai-nilai fundamental, meski tidak sebagai prinsip hukum positif yang mengikat.

[Penulis (Andi Syafrani) adalah Mahasiswa program Master of Comparative Commercial Law (MCCL) di Victoria University, Melbourne. Penulis dapat dihubungi di asyafrani@yahoo.com]

Praktek Pembiayaan Dalam Perbankan Syariah

Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari – hari, masyarakat memiliki kebutuhan – kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Ada kalanya masyarakat tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya, dalam perkembangan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat muncullah jasa pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank.

Lembaga perbankan merupakan salah satu aspek yang diatur dalam syariah Islam, yakni bagian muamalah sebagai bagian yang mengatur hubungan sesama manusia. Pengaturan lembaga perbankan dalam syariah Islam dilandaskan pada kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan bahwa “ maa laa yatimm al – wajib illa bihi fa huwa wajib “, yakni sesuatu yang harus ada untuk menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah ( yakni melakukan kegiatan ekonomi ) adalah wajib diadakan. Oleh karena pada zaman modern ini kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga perbankan ini pun menjadi wajib untuk diadakan.[1]

Lembaga pembiayaan merupakan salah satu fungsi bank, selain fungsi menghimpun dana dari masyarakat. Fungsi inilah yang lazim disebut sebagai intermediasi keuangan (financial intermediary function). Hal ini diatur dalam pasal 1 ayat (1) UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Pembiayaan dikucurkan melalui dua jenis bank, yaitu Bank Konvensional maupun Bank Syariah. Sistem bunga yang diterapkan dalam perbankan konvensional telah mengganggu hati nurani umat Islam di dunia tanpa kecuali umat Islam di Indonesia. Bunga uang dalam fiqih dikategorikan sebagai riba yang demikian merupakan sesuatu yang dilarang oleh syariah ( haram ). Alasan mendasar inilah yang melatarbelakangi lahirnya lembaga keuangan bebas bunga, salah satunya adalah Bank Syariah.

Perbedaan signifikan pembiayaan antara Bank Konvensional dengan Bank Syariah menurut M. Syafii Antonio adalah sebagai berikut :[2]

Bank Syariah

Bank Konvensional

  1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja
  2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa
  3. Profit dan falah oriented
  4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan
  5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatma Dewan Pengawas Syariah
  1. Investasi yang halal dan haram

  1. Memakai perangkat bunga

  1. Profit oriented
  2. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur

Tidak terdapat dewan sejenis

Dalam operasionalnya, Bank Syariah memberi jasa-jasa dalam bentuk yang terbagi menjadi :

  1. Musyarakkah

Adalah pembiayaan sebagian dari modal usaha, yang mana pihak bank dapat dilibatkan dalam proses manajemennya.

  1. Murabahah

Adalah Akad jual beli atas barang tertentu dengan memperoleh keuntungan.

  1. Mudharabah

Adalah bank menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja secara penuh berdasarkan prinsip bagi hasil dan,

  1. Ijarah ( sewa – menyewa )

Pengertian Ijarah (sewa-menyewa) yang terdapat dalam perbankan syariah berbeda dengan pengertian sewa-menyewa dalam praktek umum sehari – hari. Sewa – menyewa dalam praktek sehari-hari mempunyai tiga unsur essensialia yaitu :

a. Harga sewa

b. Jangka waktu / masa sewa

c. Obyek sewa

Dalam transaksi sewa – menyewa ini tidak ada peralihan hak milik, artinya jika masa sewa berakhir maka barang obyek sewa dikembalikan pada pemilik sewa sehingga pada umumnya tidak membutuhkan jasa suatu lembaga pembiayaan. Akan tetapi lain halnya dalam praktek perbankan Syariah karena dikenal Pembiayaan Berdasarkan Akad Sewa – Menyewa yang disebut Ijarah. Oleh karenanya timbul pertanyaan kenapa pada transaksi sewa – menyewa yang pada umumnya tidak disertai pemindahan hak milik sehingga tidak diperlukan pembiayaan dalam praktek perbankan syariah disertai dengan pembiayaan ?

erumusan Masalah :

Dari latar belakang di atas menyangkut perkembangan perbankan syariah di Indonesia khususnya di Indonesia khususnya dalam penerapan prinsip ijarah, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

  1. Kenapa timbul pembiayaan pada Akad Sewa – Menyewa Dalam Praktek Perbankan Syariah ?
  2. Dimanakah landasan yuridis Pembiayaan Berdasarkan Akad Sewa – Menyewa Dalam Praktek Perbankan Syariah ?

C. Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini, maka tujuan yang hendak dicapai dari pembuatan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui kenapa sampai timbul pembiayaan pada Akad Sewa – Menyewa dalam praktek perbankan syariah.

2. Untuk mengetahui letak penghaturan landasan yuridis pembiayaan berdasarkan Akad Sewa – Menyewa dalam praktek perbankan syariah.


P E M B A H A S A N

A. Tinjauan Umum Bank Syariah.

Berdasarkan fungsinya jenis bank di Indonesia dapat dikelompokkan atas:

1. Bank sentral yaitu Bank Indonesia sebagaimana dalam UU No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, kemudian dicabut dengan UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

2. Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

3. Bank perkreditan rakyat yaitu bank yang melaksanakan kegiatannya secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

4. Bank Umum yang mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu. Yang dimaksud dengan mengkhususkan diri untuk melakukan kegiatan tertentu adalah melaksanakan kegiatan pembiayaan jangka panjang, pembiayaan untuk mengembangkan koperasi, pengembangan pengusaha golongan ekonomi lemah atau pengusaha kecil, pengembangan ekspor non migas dan pengembangan pembangunan perumahan.[3]

Peraturan tentang perbankan pertama kali diatur dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992, pada peraturan perundang-undangan ini belum secara tegas menganut bahwa prinsip syariah dalam perbankan diperbolehkan akan tetapi sudah mulai disinggung secara implisit. Hal ini dapat dilihat dari pasal 6 huruf b dan m Undang-Undang No.7 Tahun 1992 yaitu :

- Memberikan kredit; dan

- Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang diterapkan dalam peraturan pemerintah;

Selain itu juga diatur dalam salah satu kegiatan usaha bank perkreditan rakyat yaitu “ menyediakan pembiayaan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah “[4], akan tetapi dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992 masih menganut single banking system yang dipertegas dalam PP No.72 Tahun 1992 tentang Bank Bagi Hasil.

Dalam PP tersebut, bank hanya diperkenankan melakukan kegiatan operasional usaha secara konvensional saja atau bagi hasil saja, jadi tidak boleh dalam suatu bank melakukan pelayanan memakai dua prinsip secara bersamaan. Pada tahun 1998 diundangkanlah Undang-Undang No.10 Tahun 1998 yang merubah Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam undang-undang ini baru secara tegas dikatakan bahwa sektor perbankan di Indonesia terdiri dari dua macam yaitu bank konvensional dan bank berdasarkan prinsip syariah baik pada bank umum maupun bank perkreditan rakyat

B. Tinjauan Umum Pembiayaan

Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya pembiayaan dapat dibagi menjadi 2 hal berikut:

1. Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.

Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi 2 hal berikut:

A. Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan:

(a). Peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi;dan

(b).Untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.

B. Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.

2. Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.

Pembiayaan konsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut.kebutuhan konsumsi dapat dibedakan atas kebutuhan primer (pokok atau dasar) dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan pokok, baik berupa barang, seperti makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal maupun berupa jasa, seperti pendidikan dasar dan pengobatan. Adapun kebutuhan sekunder adalah kebutuhan tambahan, yang secara kuantitatif maupun kualitatif lebih tinggi atau lebih mewah dari kebutuhan primer, baik berupa barang, seperti makanan dan minuman, pakaian/perhiasan, bangunan rumah, kendaraan dan sebagainya, maupun berupa jasa, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, pariwisata, hiburan, dan sebagainya.[5]

Pada umumnya, bank konvensional membatasi pemberian kredit untuk pemenuhan barang tertentu yang dapat disertai dengan bukti kepemilikan yang sah, seperti rumah dan kendaraan bermotor, yang kemudian menjadi barang jaminan utama (main collateral). Adapun untuk pemenuhan kebutuhan jasa, bank meminta jaminan berupa barang lain yang dapat diikat sebagai collateral.sumber pembayaran kembali atas pembiayaan tersebut berasal dari sumber pendapatan lain dan bukan dari eksploitasi barang yang dibiayai dari fasilitas ini.

Bank syariah dapat menyediakan pembiayaan komersil untuk pemenuhan barang konsumsi sebagai berikut :[6]

1. Al-Bai’bitsaman ajil (salah satu bentuk murabahah) atau jual beli dengan angsuran.

2. Al-ijarah al-muntahia bit-tamlik atau sewa beli.

3. Al-Musyawarakah mutanaqhishah atau decreasing participation, dimana secara bertahap bank menurunkan jumlah partisipasinya.

4. Ar-Rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa.

C. Pembiayaan Dalam Praktek Perbankan Syariah

Dalam penyaluran dana yang berhasil dihimpun dari nasabah atau masyarakat, bank syariah menawarkan beberapa produk perbankan sebagai berikut:

1. Pembiayaan Mudharabah

Adalah Bank menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja secara penuh (trusty financing),sedangkan nasabah menyediakan proyek atau usaha lengkap dengan manajemennya.Hasil keuntungan dan kerugian yang dialami nasabah dibagikan atau ditanggung bersama antara bank dan nasabah dengan ketentuan sesuai kesepakatan bersama. Prinsip mudharabah dalam perbankan digunakan untuk menerima simpanan dari nasabah, baik dalam bentuk tabungan atau deposito dan juga untuk melakukan pembiayaan.

Adapun rukun dan syaratnya adalah sebagai berikut:

Rukun Mudharabah:

a. Ada shahibul maal (modal/nasabah)

b. Adanya mudharib (pengusaha/bank)

c. Adanya amal (usaha/pekerjaan)

d. Adanya hasil (bagi hasil/keuntungan) dan

e. Adanya aqad (ijab-qabul)

2. Pembiayaan Musyarakah adalah pembiayaan sebagian dari modal usaha,yang mana pihak bank dapat dilibatkan dalam proses manajemennya.modal yang disetor dapat berupa uang, barang perdagangan (trading asset), property, equipment atau intangible asset (seperti hak paten dan goodwiil) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.

3. Pembiayaan Murabahah dalam istilah fiqh ialah akad jual beli atas barang tertentu.dalam transaksi jual beli tersebut,penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjual belikan termaksud harga pembelian dan keuntungan yang diambil . Murabahah dalam teknis perbankan adalah akad jual beli antara bank selaku penyedia bank dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Adapun rukun dan syaratnya sebagai berikut:

Rukun Murabahah:

a. Penjual

b. Pembeli

c. Barang yang diperjual-belikan

d. Harga dan

e. Ijab-qabul

4. Pembiayaan Al Bai’Bithaman Ajil adalah pembiayaan untuk membeli barang dengan cicilan.syarat-syarat dasar dari produk ini hampir sama dengan pembiayaan murabahah. Perbedaan diantara keduanya terletak pada cara pembayaran, dimana pada pembiayaan murabahah pembayaran ditunaikan setelah berlangsungnya akad kredit, sedangkan pada pembiayaan Al Bai’Bithaman Ajil cicilan baru dilakukan setelah nasabah penerima barang mampu memperlihatkan hasil usahanya.

5. Pembiayaan Salam diaplikasikan dalam bentuk pembiayaan jangka pendek untuk produksi agrobisnis atau industri jenis lainnya.

6. Pembiayaan Isthina’ diaplikasikan dalam bentuk pembiayaan manufaktur, industri kecil-menengah,dan konstruksi.dalam pelaksanaannya pembiayaan isthina dapat dilakukan dengan dua cara,yakni pihak produsen ditentukan oleh bank atau pihak produsen ditentukan oleh nasabah.pelaksanaan salah satu dari kedua cara tersebut harus ditentukan dimuka dalam akad berdasarkan kedua belah pihak.

7. Pembiayaan sewa beli (ijarah wa iqtina atau ijarah muntahiyyah bi tamlik) adalah akad sewa suatu barang antara bank dengan nasabah, dimana nasabah diberi kesempatan untuk membeli obyek sewa pada akhir akad atau dalam dunia usaha dikenal dengan finance lease Harga sewa dan harga beli ditetapkan bersama diawal perjanjian. Dalam pembiayaan ini yang menjadi obyek sewa diisyaratkan harus barang yang bermanfaat dan dibenarkan oleh syariat dan nilai dari manfaat dapat diperhitungkan atau diukur.pembiayaan sewa beli ini dapat dilakukan dengan cara: pertama lembaga pembiayaan atau perusahaan leasing yang berdasarkan syariah Islam membeli aset yang akan dibeli oleh nasabah, setelah terbeli maka, lembaga tersebut menyewakan aset itu dalam jangka waktu dan harga yang ditentukan dalam perjanjian kedua belah pihak.

8. Hiwalah

Hiwalah adalah produk perbankan syari’ah yang disediakan untuk membantu suplier dan mendapatkan modal tunai agar melanjutkan produksinya. dalam hal ini Bank akan mendapatkan imbalan (fee) atas jasa pemindahan piutang. Besarnya imbalan yang akan diterima Bank ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan antar Bank dengan nasabah.

9. Rahn

Produk perbankan ini disediakan untuk membantu nasabah dalam pembiyaan kegiatan multiguna. Rahn sebagai produk pinjaman berarti Bank hanya memperoleh imbalan atas penyimpanan, pemeliharaan, asuransi dan administrasi barang yang digadaikan. berkenaan dengan hal tersbut maka, produk Rahn hanya digunakan bagi keperluan Sosial seperti pendidikan dan kesehatan.[7]

D. Pembiayaan Ijarah

Al-Ijarah berasal dari kata Al – Ajru yang berarti Al’Iwadhu atau berarti ganti. Dalam Bahasa Arab, Al-Ijarah diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian sejumlah uang.[8] Definisi mengenai prinsip Ijarah juga telah diatuir dalam hukum positif Indonesia yakni dalam Pasal 1 ayat 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 yang mengartikan prinsip ijarah sebagai “ transaksi sewa – menyewa atas suatu barang dan atau upah – mengupah atas suatu usaha jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. ”

Sampai saat ini, mayoritas produk pembiayaan syariah masih terfokus pada produk-produk murabahah (prinsip jual beli). pembiayaan murabahah sebenarnya memiliki persamaan dengan pembiayaan ijarah, keduanya termasuk dalam kategori Natural certainty contracts, dan pada dasarnya adalah kontrak jual beli. yang membedakan keduanya hanyalah objek transaksi yang diperjualbelikan tersebut, dalam pembiayaan murabahah, yang menjadi objek transaksi adalah barang, misalnya rumah, mobil dan sebagainya. sedangkan dalam pembiayaan ijarah, objek transaksinya adalah jasa, baik manfaat atas barang maupun manfaat atas tenaga kerja. Jika dengan pembiayaan murabahah, Bank syariah hanya dapat melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki barang, sedangkan nasabah yang membutuhkan jasa tidak dapat dilayani. Dengan skim Ijarah, bank syariah dapat pula melayani nasabah yang hanya membutuhkan jasa.[9]

Pada dasarnya ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan membayar imbalan tertentu. Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.09/DSN/MUI/IV/2000, Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat ) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri, dengan demikian dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.

Dalam kegiatan perbankan Syariah pembiayaan melalui Ijarah dibedakan menjadi dua yaitu :

  1. Didasarkan atas periode atau masa sewa biasanya sewa peralatan. Peralatan itu disewa selama masa tanam hingga panen. Dalam perbankan Islam dikenal sebagai Operating Ijarah.
  2. Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik di beberapa negara menyebutkan sebagai Ijarah Wa Iqtina’ yang artinya sama juga yaitu sama juga yaitu menyewa dan setelah itu diakuisisi oleh penyewa ( finance lease ).[10]

Oleh karena Ijarah adalah akad yang mengatur pemanfaatan hak guna tanpa terjadi pemindahan kepemilikan, maka banyak orang menyamaratakan ijarah dengan leasing. Hal ini disebabkan karena kedua istilah tersebut sama-sama mengacu pada hal – ihwal sewa-menyewa. Karena aktivitas perbankan umum tidak diperbolehkan melakukan leasing, maka perbankan Syari’ah hanya mengambil Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik yang artinya perjanjian untuk memanfaatkan ( sewa ) barang antara Bank dengan nasabah dan pada akhir masa sewa, maka nasabah wajib membeli barang yang telah disewanya.

2. Jenis Barang Ijarah Muntahiyyah Bittamlik

Barang yang disewakan kepada nasabah umumnya berjenis aktiva tetap atau fixed assets seperti : gedung-gedung (buildings), kantor, mesin, rumah-rumah petak (tenements), atau barang bergerak yang memiliki specific fixed.[11]

3. Rukun dan Syarat Ijarah Muntahiyyah Bittamlik

  1. Rukun
    1. Penyewa (musta’ jir)
    2. Pemilik barang (mu’ajjir)
    3. Barang atau obyek sewaan (ma’jur)
    4. Harga sewa/manfaat sewa (ajran/ujran)
    5. Ijab Qabul
  2. Syarat
    1. Pihak yang saling telibat harus saling ridha
    2. Ma’ jur (Barang atau obyek sewa)

- Manfaat tersebut dibenarkan agama atau halal.

- Manfaat tersebut dapat dinilai dan diukur atau diperhitungkan.

- Manfaatnya dapat diberikan kepada pihak yang menyewa

- Ma’ jur wajib dibeli musta’ jir[12]

E. Tinjauan Yuridis Pembiayaan Berdasarkan Akad Sewa-Menyewa Dalam Praktek Perbankan Syariah.

Dalam lapangan hukum perdata prinsip Ijarah dikenal dengan istilah prinsip sewa – menyewa. Definisi sewa menyewa yang diberikan oleh Pasal 1548 KUH Perdata adalah “ suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari sesuatu barang selama satu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. “

Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna ( manfaat ) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa / upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.[13]

Dalam Peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2005 telah menetapkan syarat untuk berbagai produk perbankan syariah baik berupa penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Dibidang penghimpunan dana telah diatur simpanan yang bersifat titipan, yakni giro wadi’ah, dan tabungan wadi’ah juga simpanan bersifat investasi, yakni : giro mudharabah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.

Pada bidang penyaluran dana, Peraturan Bank Indonesia dimaksud telah mengatur dalam Pasal l6 sampai dengan Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2005 bahwa produk – produk penyaluran dana dalam perbankan syariah yaitu Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah dan Ijarah Muntahiyya Bit Tamlik serta Qardh.

Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Bank Indonesia, sewa menyewa yang disebut juga ijarah diatur lebih lanjut dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah terutama dalam pasal 28 yang menyebutkan bahwa bank wajib menerapkan Prinsip Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya meliputi:

a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yaitu:

1. Giro berdasarkan prinsip wadi’ah;

2. Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah;

3. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah;atau

4. Bentuk lain berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah

b. Melakukan penyaluran dana melalui transaksi jual beli berdasarkan prinsip:

1. Murabahah; 2. Istihna; 3. Ijarah; 4. Salam; 5. Jual beli lainnya

BAB III

P E N U T U P

Kesimpulan

Praktek sewa – menyewa dalam transaksi umum masyarakat tidak disertai dengan pemindahan hak milik. Apabila disertai dengan pemindahan hak milik maka transaksinya disebut perjanjian sewa – beli. Terhadap perjanjian sewa – beli ( leasing ) umumnya pemberian jasa pembiayaan diberikan oleh lembaga keuangan non – bank / finance . Pada praktek perbankan syariah, akad sewa – menyewa disebut Ijarah. Akad sewa – menyewa ( Ijarah ) pada perbankan syariah pada perkembangannya dapat disertai dengan pemindahan hak milik yang disebut sebagai Ijarah Muntahiyyah Bit – Tamlik ( IMBT ). Walaupun seperti terlihat mirip dengan Leasing pada praktek pembiayaan konvensional, tetapi pada perbankan syariah terdapat pembedaan, yaitu jika objek leasing hanya berlaku pada manfaat barang saja, sedangkan pada Ijarah Muntahiyyah Bit – Tamlik obyeknya bisa berupa barang maupun jasa / tenaga kerja



[1] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 14 - 15

[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press dan Tazakia Cendikia, Jakarta, 2001, hal. 34

[3] Zulfi Chairi, Pelaksanaan Kredit Perbankan Syari’ah Menurut UU No.10 Tahun 1998, e-usu Repository, 2005, hal. 3

[4] Abdul Ghofur Anshori, Perkembangan Hukum Perbankan di Indonesia, Materi kuliah Perbankan Syariah, Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2006, hal. 5-6

[5] Muhammad Syafi’i Antonio, Op.cit, hal. 168

[6] Sami Hasan Ahmad Hamoud, Tathwiir al-A’mal al – Mash – rafiyyah bima Yattafiqu wasy-Syariah al-Islamiah ( Amman : Matbaatu asy-Syarq wa Maktabatuha, 1982).

[7] Zulfi Chairi, Op.cit, hal. 12

[8] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 13, alih bahasan Kamaluddin A. Marzuki, PT. Alma’arif, Bandung, 1995, hal. 15

[9] Adiwarman A. Karim, Op.cit, hal. 137

[10] Arisson Hendry, et al., Perbankan Syari’ah Perspektif Praktisi, Muamalat Institute, Jakarta, 1999, hal. 95

[11] Ibid, hal. 96

[12] Ibid, hal. 94

[13] Adiwarman A. Karim, Op.cit, hal. 138

Repotnya Bersengketa dalam Transaksi Syariah

Repotnya Bersengketa dalam Transaksi Syariah

Pilih Arbitrase atau Pengadilan ?

Bila mencermati setiap Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI mengenai produk dan kegiatan yang tercakup dalan ekonomi Syariah, maka sebagian besar Fatwa DSN mencantumkan ketentuan penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Syariah. Hanya fatwa yang terkait dengan kegiataan pendanaan (Funding) yang tidak mencantumkan ketentuan tentang Badan Arbitrase Syariah. Secara prinsip, dimasukannya ketentuan Badan Arbitrase Syariah dalam Fatwa adalah pemikiran yang baik. Pelaku usaha Syariah akan memperoleh perlindungan hukum dari arbiter-arbiter Badan Arbitase yang sangat mengerti skim ekonomi Syariah.

Dalam kontek Ushul Fiqih, sebuah Fatwa dijadikan dasar hukum bagi umat Islam dalam menentukan arah kebijakan pelaksanaan muamalah. Apakah yang diperbolehkan atau dilarang oleh Fatwa, akan menjadi pedoman pelaku usaha untuk melaksanakan kegiatan ekonomi (syariah). Pedoman tersebut menjadi terlegitimasi dan berhak menyandang ‘produk sesuai syariah’ ketika seluruh pelaksanaan kegiatan ekonomi telah sesuai dengan Fatwa.

Sedangkan apa yang dilarang oleh Fatwa maka menjadi pantangan atau larangan pelaku usaha untuk menjalankan kegiatan tersebut. Implikasinya ketika suatu kegiatan ekonomi tidak sejalan dengan Fatwa, maka kegiatan ekonomi tersebut tidak lagi berhak menyandang ‘Produk sesuai Syariah’. Dikaitkan dengan adanya ketentuan penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Syariah dalam Fatwa DSN, maka sudah menjadi kewajiban bagi pelaku usaha bisnis ekonomi Syariah untuk menggunakan lembaga Badan Arbitrase Syariah bagi tempat penyelesaian sengketa dan perselisihan bagi para pelaku usaha Syariah.

Namun demikian, tidak mudah bagi Para Pelaku Usaha Syariah untuk memilih arbitrase Syariah sebagai tempat ideal untuk menyelesaikan sengketa. Kendala pertama adalah keterbatasan keberadaan Arbitrase Syariah di seluruh wilayah Indonesia. Tidak semua provinsi memiliki Badan Arbitrase Syariah. Akibatnya para pihak akan kembali menggunakan Pengadilan Negeri sebagai tempat penyelesaian sengketa. Untuk kendala pertama ini, nampaknya Basyarnas sebagai satu-satunya Badan Arbitrase Syariah di Indonesia terus berupaya untuk mendirikan Badan Arbitrase Syariah di Tanah Air.

Kendala kedua adalah Badan Arbitrase tidak memiliki perangkat atau dasar hukum untuk melakukan penetapan sita, pelaksanaan lelang atau proses pengosongan atas sebuah bangunan sengketa misalnya. Putusan Badan Arbitrase (baik Syariah ataupun tidak) harus diikuti dengan permohonan ke Pengadilan Negeri (yang penarapan hukumnya sangat konvensional) untuk kemudian dilakukan proses hukum selanjutnya (sita, lelang, pengosongan,dll). Karenanya pihak-pihak bersengketa harus melalui dua lembaga yang berbeda (Badan Arbitrase Syariah dan Pengadilan Negeri) untuk dapat menyelesaikan sengketanya.

Kendala ketiga adalah dari sisi eksekusi atas jaminan Bank. Sesuai Undang-Undang Hak Tanggungan, sertifikat tanah yang telah dibebankan Hak Tanggungan, tidak perlu diajukan proses gugatan (baik melalui Pengadilan Negeri maupun Badan Arbitrase) yang memerlukan tahapan pembuktian yang sangat lama, namun cukup mengajukan permohonan penetapan lelang kepada Ketua Pengadilan Negeri. Karenanya peran Badan Arbitrase dalam pelaksanaan eksekusi jaminan tidak diperlukan dan dapat dikesampingkan.

Namun masalah menjadi muncul, ketika nasabah macet tersebut mengajukan gugatan bantahan atas permohonan eksekusi lelang tersebut, dengan mengajukan alasan misalnya hutang nasabah kepada bank syariah tidak sebesar yang dimintakan bank syariah atau alasan-alasan lain yang direkayasa. Atas upaya hukum Nasabah tersebut, Pengadilan Negeri biasanya akan menghentikan proses eksekusi lelang, untuk kemudian memeriksa keberatan nasabah tersebut dengan membentuk majelis hakim lengkap. Maka bergulirlah gugatan bantahan tersebut menjadi perkara gugatan biasa di Pengadilan Negeri yang memerlukan proses yang lama dan berjenjang. Proses inilah yang justru mengenyampingkan peran Badan Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa Pelaku Usaha Syariah.

Dapat saja dalam persidangan gugatan bantahan tersebut, Bank Syariah menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa sengketa transaksi Syariah terebut. Karena dalam akad pembiayaan telah ditentukan tempat penyelesaian sengketa adalah Badan Arbitrase Syariah. Namun demikian, hal tersebut memerlukan waktu yang lebih lama (juga biaya tentunya) sampai Majelis Hakim menentukan putusan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa kasus ini. (itupun bisa di Banding dan di Kasasi). Lalu dimulailah persidangan baru di Badan Arbitrase Syariah. Sungguh amat melelahkan tentunya bagi pihak yang bersengketa.

Dalam suatu kesempatan Penulis pernah menuturkan kepada Ketua Mahkamah Agung tentang repotnya bersengketa dalam transaksi syariah. Juga diusulkan agar Pengadilan Agama saja yang mengambil peran Pengadilan Negeri sekaligus sebagai tempat menyelesaikan sengketa ekonomi Syariah. Dari sisi Syariah, para Hakim di PA tentunya sedikit banyak mengerti mengenai kaidah-kaidah syariah. Saat itu, Bapak Ketua MA yang bijak memahami kesulitan para lembaga keuangan syariah, namun demikian Undang-Undang yang mengatur saat ini masih belum dapat mengakomodir keinginan pelaku syariah. DPR telah mengesahkan UU Pengadilan Agama? Semoga saja, UU Peradilan Agama yang baru dapat mengakomodir keinginan tersebut. Sehingga kendala-kendala yang ada dapat diminimalisir.

Artikel kiriman dari sabahat LUKITA TRI PRAKARSA, SH, MSi (Red) selaku kontributor dalam blog ini
Penulis adalah Praktisi Hukum & Ekonomi Syariah yang bermukim di Melbourne *Tulisan ini merupakan pengalaman dan pendapat pribadi

Popularity: 8% [?]

Syariah, Setengah Syariah dan Tidak Syariah

Syariah, Setengah Syariah dan Tidak Syariah

(Artikel berikut adalah kiriman dari sahabat M.Faisal Muchtar - alumni Al-Azhar University-Cairo selaku praktisi perbankan syariah)people_denial.jpg

Suatu hari di Islamic Center of New York beberapa tahun silam, terjadi pertengkaran sengit antar kelompok mahasiswa Islam non Iran tentang bagaimana bersikap terhadap mahasiswa-mahasiswa Iran yang beraliran syi’ah. Apakah mahasiswa Iran dapat melaksanakan shalat lima waktu dan shalat Jum’at di masjid non-Syi’ah?

Jawaban yang sangat lugas dari salah seorang mahasiswa saat itu adalah “Mari kita tunda pembahasan ini 500 tahun lagi saat Islam tidak lagi terancam oleh musuh-musuhnya, saat Islam sudah menjadi agama dunia, baru kita sempurnakan apa yang ada. Jangan memperbesar perbedaan-perbedaan diantara kita pada saat kita sendiri masih merupakan sebuah kelompok kecil lemah, yang belum terasa pengaruhnya bagi masyarakat, sambil mengutip ucapan ulama “maa laa yudraku kulluh laa yutraku kulluh” (Jika kita tidak dapat menggapai seluruhnya, maka jangan pula kita tinggalkan sama sekali).”

Dalam praktek sehari-hari seseorang yang tidak mampu melaksakan shalat sunnah dhuha delapan rakaat, sangat dianjurkan untuk melaksankannya meskipun hanya dua rakaat, bukan malah meninggalkannya. Bukankah seseorang yang baru masuk Islam (muallaf) diwajibkan membaca bacaan tasbih yang mampu ia ucapkan sewaktu melaksanakan shalat, dikala belum mampu membaca al-fatihah dan bacaan-bacaan rukun lainnya? Disini ada tadarruj (langkah-langkah progressif) dalam melaksanakan suatu kewajiban, perlahan-lahan hingga sempurna.

Adalah kewajiban kita bersama untuk berdakwah dan berjihad menegakkan syariah Islam dalam bidang ekonomi. Mari kita tinggalkan perbedaan-perbedaan yang akan mengaburkan kebenaran yang hakiki. Perdebatan seputar separoh syariah, tidak syariah atau full syariah bukan saatnya kita bicarakan, karena masih ada tugas-tugas besar yang telah lama menanti jalan keluarnya, menyelamatkan ummat dari jeratan riba yang berkepanjangan dan membuka pintu taubat selebar-lebarnya bagi mereka. Sambil melakukan muhasabah, intospeksi diri sebelum diintrospeksi (”haasibuu anfusakum qabla an tuhaasabuu”) mari kita berbenah, saling menasehati, memberi masukan-masukan kontruktif agar terjadi percepatan-percepat an ekonomi syariah disegenap aspek kehidupan beragama dan bernegara.

Perlu kita sadari dengan baik bahwa masih terlalu besar tantangan kedepan dan terlalu besar misi yg harus diwujudkan, mari kita tunda masalah separoh syariah, 50 tahun lagi, atau sampai 50% Perbankan Indonesia sudah berjalan dengan sistem keuangan Islam. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.

M.Faisal Muchtar
Alumni Al-Azhar University-Cairo
Praktisi Perbankan