Oleh: Imam Nasima *)
Dua pertanyaan mendasar yang sering muncul sehubungan dengan permasalahan eksekusi grosse akta sebenarnya cukup sederhana, yaitu apakah grosse akta dapat langsung dieksekusi dan bagaimana eksekusi grosse akta tersebut dilakukan.
Apabila kita perhatikan baik-baik bunyi Pasal 224 HIR, maka dua pertanyaan yang tampaknya sederhana itu ternyata mengandung banyak permasalahan yang mesti diperjelas lagi. Isi lengkap Pasal 224 HIR adalah sebagai berikut:
“Surat asli dari pada surat hipotik dan surat utang, yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia dan yang memakai perkataan: "atas nama keadilan" di kepalanya, kekuatannya sama dengan surat putusan hakim. Dalam hal menjalankan surat yang demikian, jika tidak dipenuhi dengan jalan damai, maka dapat diperlakukan peraturan pada bagian ini, akan tetapi dengan pengertian, bahwa paksa badan hanya boleh dilakukan sesudah diizinkan oleh putusan Hakim. Jika hal menjalankan putusan itu harus dijalankan sama sekali atau sebagian di luar daerah hukum pengadilan negeri, yang ketuanya memerintahkan menjalankan itu, maka peraturan-peraturan pada pasal 195 ayat kedua dan yang berikutnya dituruti.”
Dalam hal ini, agaknya cukup jelas bahwa grosse akta, apabila tidak dipenuhi secara baik-baik oleh debitur, dapat langsung dieksekusi oleh kreditur, dengan meminta fiat (perintah) eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri. Artinya, jawaban atas kedua pertanyaan tersebut di atas juga tidak begitu sulit dijawab, yaitu bahwa grosse akta dapat langsung dieksekusi sebagaimana layaknya putusan hakim, serta mekanisme eksekusinya mengikuti eksekusi putusan hakim sebagaimana tersebut dalam HIR, yaitu dengan peringatan kepada debitur, penyitaan, dan penjualan.
Pada kenyataannya, sejak dekade 1980-an pengadilan di Indonesia mengambil sikap berbeda. Antara lain bisa ditelusuri dari surat-surat yang pada waktu itu dikeluarkan oleh Ketua Muda Perdata Tertulis Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH (Catatan No. VII/1988/Perdata, Pebruari 1988 yang diselipkan di bawah Putusan No. 1520K/Pdt/1984, 31 Mei 1986). Prof. Asikin berpendapat bahwa “hakim tetap berwenang untuk menentukan apakah pelaksanaan eksekusi grosse acte tersebut dapat dikabulkan atau tidak”, alasannya karena pada saat itu sudah tidak ada lagi perjanjian memuat simple loan yang dapat dibuat grosse aktanya.
Terlepas dari pendapat yang dikutip secara salah -- dari sebuah putusan dalam bahasa Belanda yang sebenarnya memuat penyataan yang berarti “keberatan (perlawanan) terhadap pelaksanaan eksekusi (grosse akta tersebut) tunduk pada putusan hakim”-- alasan pengadilan sebenarnya cukup berdasar seperti akan terlihat pada paragraf selanjutnya. Pada kesempatan lain, Prof. Asikin kembali menegaskan bahwa “dapat dilaksanakannya atau tidak suatu eksekusi atas suatu akta grosse seperti yang dimaksudkan oleh Pasal 224 RID (HIR, red.) merupakan wewenang sepenuhnya dari hakim yang bersangkutan” (Surat No. 041/098/89/II/UM-TU/Pdt, 21 Januari 1989). Pendapat ini secara umum diikuti oleh pengadilan, sehingga pada akhirnya eksekusi mengenai grosse akta yang sebenarnya telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan pada prakteknya tidak berjalan efektif.
Apabila melihat praktek pembuatan grosse akta, terutama menyangkut “surat utang yang dibuat di hadapan notaris”, keberatan pengadilan ketika itu bukannya tanpa alasan. Berdasarkan dokumen-dokumen yang menggambarkan kondisi ketika itu, Sebastiaan Pompe pernah menulis bahwa instrumen grosse akta ini memang pada akhirnya dimanfaatkan sebagai sarana untuk membatasi atau menghindari peran pengadilan dalam permasalahan-permasalahan menyangkut investasi, sehingga eksekusi dapat dilaksanakan dengan segera (Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse, Ithaca, N.Y.: Cornell University, Southeast Asia Program, 2005). Akibat dari kecenderungan tersebut, grosse akta pada akhirnya juga dibuat untuk perjanjian-perjanjian dengan klausul-klausul rumit dan tidak dengan sendirinya memberikan suatu hak yang jelas kepada pemegang akta tersebut. Tentu dalam praktek pengadilan tidak mudah, kalau bisa dibilang tak mungkin, untuk langsung melaksanakan eksekusi berdasarkan akta seperti ini.
Fenomena ini cukup menarik untuk diamati dan diperjelas, karena bukankah hakekat dari adanya irah-irah pada grosse akta justru untuk menegaskan kekuatan eksekutorialnya, yaitu bahwa surat atau akta tersebut harus dilaksanakan atas nama kekuasaan tertentu? Lalu apa gunanya irah-irah tersebut dicantumkan kalau kenyataan di lapangan surat atau akta terkait tidak mempunyai kekuatan eksekutorial? Jika diperhatikan dari tahun ke tahun, kecenderungan pembuat undang-undang ingin selalu menegaskan kekuatan eksekutorial ini (di antaranya UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan; UU No. 30/2004 tentang Jabatan Notaris; UU No. 17/2008 tentang Pelayaran). Sementara itu, dalam praktek tak pernah diperhatikan secara serius bagaimana grosse akta dibuat dan kemudian dilaksanakan. Benarkah akta berirah-irah seperti itu tetap ampuh?
Irah-irah ini, dalam perkembangan hukum di Indonesia cukup penting karena menyangkut landasan mendasar hukum, yaitu legitimasi. Pada tahun 1955, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bahkan secara resmi mengganti irah-irahnya dari berbahasa Jawa “Penget trang dawuh timbalan Dalem Sampeyan Dalem Hingkang Sinuwun Kangjeng Sultan ing Ngayogyakarta” (Peringatkanlah atas Perintah dari Sri Paduka Kangjeng Sultan Yogyakarta) menjadi “Atas Nama Keadilan” untuk menyesuaikan dengan irah-irah yang digunakan dalam putusan-putusan pengadilan yang berlaku di Republik Indonesia ketika itu ( Perda DIY No. 1/1955 tentang Perubahan Salinan Pertama (Grosse) Credietverband). Irah-irah “Atas Nama Keadilan” sendiri pada tahun 50-an sempat memenangkan persaingan dengan irah-irah “Atas Nama Negara Republik Indonesia”, dengan merujuk pada format putusan Mahkamah Agung, sebelum pada tahun 1970 ditetapkan berbunyi“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman). Pertanyaannya, lagi-lagi, mengapa bahkan nama Tuhan tidak lagi bermakna?
Dari permasalahan yang digambarkan di atas, pertanyaan-pertanyaan turunan bakal muncul sehubungan dengan eksekusi grosse akta ini. Antara lain: (1) apa yang dimaksud dengan grosse (yang dalam terjemahan HIR di atas diartikan sebagai “surat asli”), serta meliputi surat atau akta apa saja; (2) apa persyaratan dari keabsahan grosse semacam ini; (3) bagaimana cara melakukan eksekusi sebagaimana layaknya eksekusi putusan hakim tersebut.
Dalam tulisan ini dua dari tiga pertanyaan tersebut akan dijawab secara ringkas berdasarkan hasil penelitian sementara yang terdiri dari penelitian berdasarkan peraturan, putusan hakim, serta literatur yang berkaitan dengan permasalahan eksekusi grosse akta. Penelitian ini dilaksanakan oleh NLRP (National Legal Reform Program) bekerja sama dengan PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) dan MaPPI (Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia). Selama penelitian selama kurang lebih 4 bulan ini, berhasil ditelusuri setidaknya tiga puluh putusan, tiga puluh peraturan, serta puluhan karya akademis yang menyangkut eksekusi grosse akta atau memuat istilah grosse akta.
Untuk dapat mengenal apa yang disebut dengan “grosse akta”, maka kita harus membuka kembali ketentuan dalam KUH Perdata. Di sana disebutkan bahwa arti dari kata “grosse” atau “gross” adalah salinan pertama, sedangkan “grosse akta” berarti salinan pertama dari suatu akta yang dapat memberikan bukti yang sama dengan akta aslinya (Pasal 1889 KUH Perdata). Dalam konteks grosse akta notariil (dibuat di hadapan notaris) ataupun akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat umum, ketentuan ini harus dibaca bahwa salinan pertama akta tersebut, sebagaimana akta otentiknya, memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya (Pasal 1868 jo. 1870 KUH Perdata). Dulu, bentuk formalitas grosse akta diatur dalam Pasal 41 Peraturan Jabatan Notaris (Reglement op het notaris-ambt in Indonesië, Stb. 1860-3, 11 Januari 1980) yang antara lain mengatur penggunaan irah-irah, pencantuman kata-kata “diberikan sebagai grosse pertama”, serta penyebutan nama pihak penerima grosse tersebut. Dalam perkembangannya kemudian, pada prinsipnya tidak ada yang berubah dengan ketentuan ini, yaitu bahwa harus ada irah-irah, penegasan grosse pertama, dan pihak penerima grosse tersebut (Lihat Pasal 55 UU No. 30/2004 tentang Jabatan Notaris).
Ketentuan mengenai definisi grosse akta ini, pada umumnya diterima oleh para ahli, di antaranya pendapat J. Satrio dalam bukunya mengenai hak jaminan kebendaan (J. Satrio, SH., “Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan”, Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 237, dst.). Dalam bukunya tersebut, J. Satrio mengulas pula bahwa tidak semua grosse akta adalah grosse akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial, meskipun tidak mengurangi nilai pembuktian substansi yang terkandung dalam akta tersebut. Selain itu dapat pula ditemui adanya perdebatan mengenai tafsir atas pengertian “surat utang yang dibuat di hadapan notaris”, yaitu “pendapat sempit” dan “pendapat luas”(perdebatan ini pertama kali ditemukan dalam Mudofir Hadi, SH, "Grosse Akta", Majalah Varia Peradilan Tahun I, No.11, Agustus 1986).
Pendapat sempit dianut oleh Mahkamah Agung yang menafsirkan bahwa pengertian tersebut harus diartikan sebagai suatu pengakuan utang sepihak (lihat juga ketentuan mengenai akta pengakuan utang sepihak menurut Pasal 1878 KUH Perdata yang mensyaratkan dicantumkannya “sejumlah uang atau barang terutang yang dapat dinilai dengan suatu harga tertentu yang tertuang dalam akta pengakuan utang” dalam akta terkait), sementara pendapat luas adalah pendapat para notaris pada umumnya yang mendasarkan pada Peraturan Jabatan Notaris bahwa “semua akta yang mengandung suatu kewajiban obligatoir dapat diberikan salinan dalam bentuk grosse”. Untuk saat ini, perbedaan pendapat tersebut diselesaikan dengan bunyi ketentuan Pasal 55 UU No. 30/2004 tentang Jabatan Notaris yang telah secara tegas menyebut “akta pengakuan utang”.
Selain menyangkut permasalahan “surat utang yang dibuat di hadapan notaris”, ruang lingkup grosse akta akan lebih menarik lagi, apabila kita telusuri pengertian “surat hipotik” menurut Pasal 224 HIR. “Surat hipotik” ini dulunya mencakup akta hipotek dan akta ikatan kredit, tetapi pada akhirnya harus ditafsirkan sebagai sertifikat hak tanggungan (yang memuat grosse akta hak tanggungan), serta akta hipotek kapal. Bagaimana perkembangannya sampai seperti itu, sebenarnya ceritanya cukup panjang.
Hipotek, sebagai suatu instrumen hukum yang diatur dalam KUH Perdata, telah mengalami banyak perubahan setelah berlakunya UU Pokok Agraria No. 5/1960. Pada masa kolonial, hipotek digunakan untuk menyebut istilah jaminan kebendaan menyangkut tanah-tanah yang tunduk di bawah hukum Eropa, sedangkan ikatan kredit untuk tanah-tanah adat tertentu (lihat juga Peraturan Tentang Credietverband, S. 1908-542 jo. 1909-586, 6 Juli 1908). Setelah berlakunya UU Pokok Agraria No. 5/1960, dualisme hukum pertanahan dihapuskan. Meski ditujukan untuk menyatukan sistem hukum pertanahan nasional, namun pada kenyataannya peraturan tersebut juga menggantikan hukum kebendaan yang diatur dalam Buku II KUH Perdata sepanjang menyangkut masalah tanah, tak terkecuali permasalahan hipotek atas tanah. Sejak saat itu, hipotek dan ikatan kredit sebenarnya hendak digantikan dengan instrumen baru bernama hak tanggungan (Pasal 51 UU Pokok Agraria No. 5/1960). Namun demikian, pengaturan mengenai hukum kebendaan tersebut tak langsung diselesaikan sampai tuntas. Sebelum berlakunya UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan, pengaturan yang dilakukan hanya berupa pendelegasian pada peraturan-peraturan pelaksana pada level Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri Agraria. Betul bahwa sebelum tahun 1996 telah ada suatu peraturan yang menyinggung hal ini, yaitu UU No. 16/1985 tentang Rumah Susun, tapi peraturan perundang-undangan ini pun hanya didasari kepentingan pragmatis pengaturan kredit kepemilikan/pembangunan rumah susun.
Bagaimana akta hipotek dan akta ikatan kredit pada akhirnya tidak digantikan dengan akta hak tanggungan, namun dengan sertifikat hak tanggungan, sebenarnya dapat ditelusuri kembali pada peraturan-peraturan yang muncul pada tahun 60-an. Ketika itu diatur bahwa grosse akta hipotek/credietverband dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah dan disertakan pada sertifikat terkait untuk berlaku sebagai grosse akta sebagaimana dimaksud Pasal 224 HIR (Pasal 7 Permen Agraria No. 15/1961 tentang Pembebanan dan Pendaftaran Hypotheek serta Credietverband). Kemudian pada tahun 1996 ditegaskan kembali bahwa sertifikat yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan dan memuat irah-irah itulah yang berlaku sebagai grosse menurut Pasal 224 HIR (Pasal 14 UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan). Mengapa hal ini terjadi, sebenarnya masih belum dapat dipastikan. Tetapi kemungkinan besar tak lepas dari peran pembuat dan pendaftar akta yang pada masa kolonial menjadi tanggung jawab satu pihak yang sama, yaitu Ketua Raad van Justitie (lihat Peraturan Balik Nama/Overschrijvingsordonnantie, S. 1834-27, terakhir diubah S. 1933-48jo.S.1938-2).
Dalam perkembangannya lebih lanjut, peran pembuat dan pendaftar akta tersebut dipisahkan, yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai pembuat akta, serta Pejabat Kantor Pertanahan sebagai pendaftar akta. Dan beberapa literatur mencatat Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 1987 (sayangnya peraturan ini belum berhasil ditemukan) yang mengindikasikan asal muasal penegasan dalam UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan, yaitu bahwa grosse akta yang dimaksud dalam Pasal 224 HIR adalah sertifikat hak tanggungan, merupakan pendapat BPN. Sebelum berlakunya UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan, sebagian ahli mengukuhkan pendapat BPN ini (antara lain Setiawan: 1991), namun ada pula yang tetap berpendapat bahwa grosse akta adalah salinan dari akta otentik yang dibuat oleh notaris (antara lain Ida Bagus Ngurah Adi: 1992).
Persyaratan dan keabsahan grosse akta hipotek/akta pengakuan utang/sertifikat hak tanggungan yang kemudian berkembang, sebenarnya tidak banyak berubah. Selain penegasan mengenai perlunya irah-irah sebagai dasar kekuatan eksekutorial, pengaturan lebih banyak terfokus pada siapa yang berwenang untuk mengeluarkan grosse akta/sertifikat tersebut.
Seperti sudah dibahas di atas, untuk grosse akta pengakuan utang adalah notaris yang membuat akta tersebut, untuk sertifikat hak tanggungan pejabat pendaftar tanah, serta untuk grosse akta hipotek kapal adalah Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di bawah menteri yang bertanggung jawab di bidang pelayaran (Menteri Perhubungan). Hal terakhir ini sudah mulai diatur dalam PP No. 51/2002 tentang Perkapalan yang ditegaskan kembali dalam UU No. 17/2008 tentang Pelayaran. Untuk pejabat yang berwenang ini, sebenarnya logikanya mirip dengan grosse akta hipotek tanah yang kemudian menjadi sertifikat hak tanggungan. Pada masa kolonial dulu pada prinsipnya tugas dan tanggung jawab pembebanan dan pendaftaran hipotek dipegang oleh atau di bawah pengawasan Ketua Raad van Justitie (lihat Peraturan Balik Nama yang sudah disebut di atas dan Peraturan penDaftaran Kapal/Teboekstelling van Schepen, S. 1933-48 jo. S. 1938-2, 4 Februari 1933). Perdebatan mengenai siapa yang mengeluarkan grosse akta, sebenarnya berhubungan erat dengan fungsi yang disandang pihak tersebut.
Mengapa peran/fungsi pejabat yang menerbitkan grosse akta menjadi begitu penting? J. Satrio menyebut bahwa grosse akta mempunyai kekuatan eksekutorial, karena “pejabat yang menetapkan hak yang ada dalam akta yang bersangkutan, mempunyai integritas yang tinggi” (J. Satrio, SH., 2002, hlm. 238). Hal ini dapat juga diartikan bahwa siapa yang berwenang untuk mengeluarkan grosse akta, pada prinsipnya mengemban tanggung jawab untuk membuat grosse dengan tepat dan benar. Bukankah pada akhirnya pihak tersebutlah yang menanggung penggunaan nama Tuhan (irah-irah) dalam grosse akta yang dikeluarkannya? Sehingga, apabila di kemudian hari ada permasalahan dalam eksekusi, bisa jadi masalahnya bukan pada pengadilan yang tidak mengerti atau menghargai legitimasi grosse akta ini, tapi memang akta tersebut dibuat dalam bentuk yang tidak mungkin untuk dieksekusi. Lalu bagaimana membuat grosse akta dengan tepat dan benar?
Pada prinsipnya eksekusi dapat dilaksanakan apabila ada kejelasan mengenai cakupan eksekusi. Kejelasan ini dapat berupa barang tertentu atau sejumlah nilai uang tertentu. Kejelasan akan obyek dan/atau besaran uang yang diperjanjikan, bahkan telah dijadikan sebagai syarat pembuatan akta hipotek/hak tanggungan/pengakuan utang. Namun demikian, dalam literatur dan putusan banyak diperdebatkan definisi “tertentu” atau “pasti” tersebut. Terlebih lagi, apabila di kemudian hari kreditur melaksanakan eksekusi, bukan tidak mungkin debitur telah memenuhi sebagian utangnya yang tercantum dalam akta terkait. Bukankah nilainya bisa jadi tidak lagi sesuai dengan yang tercantum dalam akta?
Dalam sebuah kasus, Mahkamah Agung mempunyai pendapat yang cukup menarik tentang menentukan besarnya nilai tertentu tersebut, yaitu “berdasar atas rasa keadilan dengan berpedoman pada kreditur (pembukuan bank) pada saat kreditur mengajukan permohonan lelang eksekusi grosse akta hipotek kepada Ketua Pengadilan Negeri” (Putusan MARI No. 2702.K/Pdt/1995, 28 Oktober 1998). Perselisihan mengenai besarnya nilai utang sebenarnya tidak akan menjadi hambatan serius terhadap eksekusi, apabila pada saat pembuatan juga dicantumkan keterangan yang jelas mengenai cara menghitung obyek eksekusi yang bersumber dari isi akta itu sendiri. Lalu bagaimana eksekusi itu sendiri dilakukan?
Untuk permasalahan eksekusi, sebenarnya hasil temuan juga tidak kalah menarik. Akibat dari pendapat pengadilan untuk selalu memeriksa dan menguji dulu grosse akta yang dimintakan eksekusi, pada akhirnya hak penerima hak tanggungan/pemegang hipotek untuk melakukan penjualan langsung (parate executie) juga menjadi terbatas. Namun demikian, hal ini bukan permasalahan dalam level praktek saja. Kesalahpahaman mengenai pengertian eksekusi telah muncul akibat dari peraturan perundang-undangan yang dalam penjelasannya menyatukan parate executie dan eksekusi dengan menggunakan grosse akta. Sudah ada beberapa literatur membahasnya dan meluruskan hal ini. Namun karena keterbatasan ruang dan waktu, sementara ini tulisan mengenai grosse akta harus penulis akhiri di sini. Dalam waktu dekat akan ada dokumen yang memaparkan permasalahan ini dengan lebih komprehensif lagi.
Sementara dapat disimpulkan bahwa grosse akta yang berkekuatan eksekutorial adalah salinan pertama akta-akta tertentu yang diatur dengan undang-undang memiliki kekuatan eksekutorial, yaitu meliputi salinan pertama akta pengakuan utang, salinan akta hipotek (kapal), dan sertifikat hak tanggungan. Syarat keabsahan surat-surat yang demikian, pada intinya diatur secara formal dengan menetapkan pejabat yang berwenang untuk membuat surat-surat tersebut. Selain itu ada pula syarat-syarat materiil yang ditentukan oleh undang-undang yang seharusnya dipastikan pemenuhannya oleh pejabat terkait. Pada intinya syarat-syarat tersebut ditetapkan untuk menjamin terlaksananya eksekusi. Dan jika dalam prakteknya nama Tuhan tidak lagi bermakna, pasti bukan karena kesalahan Tuhan, namun karena kesalahan pejabat terkait yang menjalankan tugas dan tanggung jawab Atas Nama-Nya. Masalah ini tentu tidak akan terselesaikan hanya dengan perubahan irah-irah atau penegasan kekuatan eksekutorial saja.
*) Penulis adalah peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)