Materi

Referensi

Sabtu, 16 Agustus 2008

UU PT Lama VS UU PT Baru

Pokok-Pokok Perbedaan antara UUPT No. 1/1995 dengan UUPT No.40/2007

(Rangkaian Pembahasan mengenai UUPT No. 40/2007)

Sudah beberapa kali saya ditanya, apa sih sebenarnya perbedaan mendasar dari UUPT no. 1/1995 dengan UUPT No. 40/2007? memang secara sepintas, masih sama dan banyak kemiripan antara yang lama dan yang baru. Namun, jika dipelajari secara seksama, maka di antara sekian banyak perubahan yang diatur dalam UUPT yang baru, terdapat pokok-pokok perbedaan yang layak untuk dicermati, yaitu:

1. Penyederhanaan anggaran dasar PT

Pada prinsipnya, dalam anggaran dasar PT yang baru tidak “menyalin” apa yang sudah diatur dalam UUPT. Artinya, anggaran dasar PT hanya memuat hal-hal yang dapat diubah atau ditentukan lain oleh pemegang saham (pendiri). Yang sudah merupakan aturan baku, tidak dituangkan lagi dalam Anggaran dasar PT. Contohnya: kewajiban untuk mendapatkan persetujuan RUPS, dalam hal menjaminkan asset Perseroan yang jumlahnya merupakan sebagian besar harta kekayaan Perseroan dalam 1 tahun buku (pasal 102).

2. Proses pengajuan pengesahan, pelaporan dan pemberitahuan melalui sistem elektronik yang diajukan pada Sistem Administrasi Badan Hukum (yang dalam istilah Depkeh FIAN 1 (untuk pendirian), FIAN 2 (untuk perubahan anggaran dasar yang membutuhkan pelaporan, FIAN 3 (untuk perubahan anggaran dasar yang hanya membutuhkan pemberitahuan)

3. RUPS dimungkinkan untuk dilaksanakan secara teleconference, tapi tetap harus mengikuti ketentuan panggilan Rapat sesuai UUPT
Terdapat jangka waktu tertentu yang membatasi, misalnya: untuk melakukan pemesanan nama (60 hari), pengajuan pengesahan(60 hari), pengajuan berkas (30 hari), pengesahan menkeh (14 hari)

5. Pengajuan pengesahan PT baru, harus dilakukan dalam waktu 60 hari, apabila lewat, maka akta pendirian menjadi batal dan perseroan menjadi bubar (ps. 10 ayat 1 & ayat 9) –> berlaku juga untuk pengajuan kembali (ayat 10)

6. Notulen Rapat di bawah tangan, wajib di tuangkan dalam bentuk akta notaris dalam jangka waktu maksimal 30 hari sejak ditanda-tangani. Jika dalam waktu tersebut tidak diajukan, maka Notulen tersebut tidak berlaku (harus di ulang).

7. Saham dengan hak suara khusus tidak ada, yang ada hanyalah saham dengan hak istimewa untuk menunjuk Direksi/Komisaris

8. Direksi atau Komisaris wajib membuat Rencana Kerja yang disetujui RUPS sebelum tahun buku berakhir
Perubahan Direksi/komisaris atau pemegang saham bukan merupakan perubahan AD, jadi sekarang diletakkan pada akhir akta

10. Perubahan AD dari PT biasa menjadi PT Tbk (pasal 25 ayat 1), efektif sejak:
-pernyataan pendaftaran yang diajukan kepada lembaga pengawas pasar modal atau
-pada saat penawaran umum
jika dalam waktu 6 bulan tidak dilaksanakan, maka statusnya otomatis berubah menjadi PT tertutup kembali

11.Khusus untuk perpanjangan jangka waktu berdirinya PT, harus diajukan maksimal 60 hari sebelum tanggal berakhirnya, kalau tidak maka
PT tersebut menjadi bubar

12. PT harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha (operating company, bukan hanya berbentuk investment company

13. Tanggung jawab perseroan tidak hanya sampai pada Direksi saja, melainkan
sampai dengan komisaris.

14. Komisaris tidak dapat bertindak sendiri. Sehingga, walaupun dalam anggaran
dasar disebutkan hanya perlu persetujuan 1 komisaris, maka tetap harus mendapat persetujuan dari seluruh komisaris.

15. Perseroan dilarang mengeluarkan saham baik untuk memiliki sendiri maupun untuk dimiliki Perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perseroan (larangan cross holding), pasal 36 UUPT.

16. Daftar Perusahaan yang dulunya bersifat tertutup dan tidak terlalu mudah diakses oleh khalayak umum, sekarang terbuka untuk umum (pasal 29 ayat 5) dan pelaksanaannya diselenggarakan oleh Menteri terkait (pasal 29 ayat 1)

17. Pengumuman anggaran dasar Perseroan pada Berita Negara RI yang meliputi pendirian dan perubahan anggaran dasar lainnya dilakukan oleh Menteri sedangkan dahulu dilakukan oleh Notaris. (pasal 30 ayat 1)

Sekilas Tentang Fidusia

Jaminan Fidusia dan Potensinya dalam Mendorong Laju Ekonomi
[19/10/00]

Praktek fidusia telah lama dikenal sebagai salah satu instrumen jaminan kebendaan bergerak yang bersifat non-possessory. Berbeda dengan jaminan kebendaan bergerak yang bersifat possessory, seperti gadai, jaminan fidusia memungkinkan sang debitur sebagai pemberi jaminan untuk tetap menguasai dan mengambil manfaat atas benda bergerak yang telah dijaminkan tersebut.

Sebelum diundangkannya UU No. 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia, keberadaan praktek fidusia di Indonesia dilandaskan kepada yurisprudensi dari Hoge Raad Belanda yang dikenal sebagai putusan Bier Brouwerij Arrest, di mana hakim untuk pertama kali mengesahkan adanya mekanisme penjaminan seperti tersebut.

Sebelum UU No. 42 Tahun 1999 sedikit sekali panduan yang dapat dipegang sebagai referensi bagi keberlakuan instrumen fidusia. Yang patut dicatat adalah beberapa yurisprudensi seperti putusan Mahkamah Agung (MA) No. 372 K/Sip/1970 atas perkara BNI cabang Semarang vs. Lo Ding Siang, serta putusan No. 1500K/ Sip/1978 atas perkara BNI 1946 melawan Fa Megaria yang mengakui fidusia sebagai suatu instrumen jaminan.

Ada juga beberapa ketentuan perundang-undangan yang menyinggung fidusia sebagai suatu instrumen jaminan. Meskipun begitu, secara umum tidak ada panduan teknis mengenai pelaksanaan instrumen fidusia tersebut. Lahirnya jaminan fidusia merupakan murni didasarkan pada ketentuan Pasal 1320 jo.1338 KUH Perdata mengenai kebebasan berkontrak.

Tidak ada suatu standar baku mengenai syarat formal penjaminan fidusia. Juga tidak ada feature lain yang umumnya terdapat pada suatu instrumen jaminan. Tidak ada hak prioritas yang dimiliki oleh kreditur penerima fidusia. Lebih fatal lagi, tidak ada institusi pendaftaran yang bertanggung jawab untuk melakukan pencatatan terhadap setiap pembebanan fidusia, sehingga pada masa itu fidusia benar-benar merupakan instrumen yang kurang dapat diandalkan di mata para kreditur.

Suatu barang dapat difidusiakan berkali-kali kepada kreditur yang berbeda, sehingga menyulitkan pada saat eksekusi hendak dilakukan, atau barang lainnya yang dijamin sudah dijual kepada pihak ketiga yang beritikad baik. Sementara rezim hukum jaminan Indonesia pada saat itu tidak memberikan kekuatan hukum bagi penerima fidusia yang syah untuk mengambilnya kembali.

Praktis tidak terdapat suatu kerangka hukum yang kuat bagi fidusia sebagai jenis jaminan non-possessory atas benda bergerak. Hal ini menjadikan fidusia kurang begitu populer dalam penggunaannya. Selanjutnya, para pelaku usaha berusaha menutupi kebutuhan tersebut dengan pemakaian instrumen lain secara ekstensif, yaitu hipotik dan hak tanggungan. Sementara kekurangannya ditutupi dengan menempatkan instrumen kepercayaan berupa jaminan pribadi (Personal Guarantee-PG) atau jaminan perusahaan (Corporate Guarantee-CG) sebagai upaya untuk memperoleh komitmen debitur atas berbagai barang yang secara umum tanpa memberikan hak preferensi apapun.

Kehadiran UU Fidusia

Krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi beberapa tahun yang silam telah memberikan pelajaran yang amat berharga bagi pelaku usaha Indonesia akan pentingnya peran instrumen jaminan yang mampu mengamankan nilai piutang dengan memberikan hak preferensi atas piutang tersebut.

Gagalnya eksekusi terhadap banyak aset debitur dan kenyataan bahwa banyak sekali aset kosong yang diberikan lewat instrumen PG maupun CG menunjukkan bahwa pelaku ekonomi lebih membutuhkan suatu bentuk jaminan yang secara fleksibel mampu memberikan akses pendanaan bagi para debitur tanpa melepaskan aspek kepastian hukum. Sementara di sisi lainnya, kebutuhan tersebut berhadapan dengan fakta bahwa pada umumnya resources debitur yang dapat dijaminkan amat terbatas, khususnya bagi pengusaha lemah dan menengah.

Kehadiran UU Fidusia pada umumnya memang ditujukan untuk menjawab hal ini. UU mendefinisikan perjanjian fidusia sebagai hak jaminan atas benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya (Pasal 1 ayat (2)).

Dengan UU ini, maka pembebanan hak jaminan pada benda bergerak secara non-possessory menjadi lebih memiliki kepastian hukum. Pasalnya, status kreditur dijamin dengan adanya institusi pendaftaran yang berfungsi untuk mendata pembebanan fidusia guna mencegah terjadinya pembebanan ulang fidusia atas barang yang sama tanpa sepengetahuan penerima fidusia yang pertama (Pasal 17).

Instrumen yang mampu memberi nilai tambah

Sebagai salah satu suatu rezim hukum jaminan atas benda bergerak, UU Fidusia membuka peluang seluas-luasnya bagi pembebanan jaminan terhadap benda bergerak, yang berwujud maupun tidak berwujud, serta benda tidak bergerak, yang tidak dapat dibebani oleh hak tanggungan.

Dengan instrumen ini, kreditur dapat membuka tangannya untuk memberikan fasilitas pinjaman kepada debitur hanya dengan jaminan berupa benda bergerak seperti mesin-mesin, inventaris seperti meja, kursi, alat elektronik, atau bahkan bahan baku yang disimpan dalam gudang debitur yang selagi dijaminkan tetap dapat digunakan oleh debitur untuk menjalankan proses produksi. Atau lainnya, pinjaman yang dijamin dengan tagihan yang baru akan diperoleh pada masa yang akan datang.

Tidak perlu ada kekhawatiran bagi kreditur. Karena selain memiliki hak preferensi sebagai kreditur separatis, UU juga telah memberikan penerima fidusia hak untuk melakukan parate eksekusi jika terjadi wanprestasi. Sertifikat fidusia yang dikeluarkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia telah dilengkapi dengan irah-irah "Demi Keadilan yang berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa" yang memiliki kekuatan sama dengan keputusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Oleh karenanya, penerima fidusia dapat melakukan eksekusi terhadap barang yang dijaminkan atas kekuasaannya sendiri sebagai kreditur melalui pelelangan umum (lihat Pasal 15 ayat (2) jo.(3)).

Hal ini membuat fidusia merupakan alternatif metode penjaminan atas pembiayaan yang cukup menjanjikan di masa yang akan datang. Apalagi jika features yang diberikan oleh instrumen fidusia merupakan features yang enforceable, dapat dibayangkan betapa di masa yang akan datang fidusia akan banyak sekali memainkan peranan dalam konstelasi pembiayaan.

Seorang pengusaha penggilingan padi misalnya, dapat menjaminkan mesin penggilingnya dan juga suatu nilai tertentu dari stok padi yang ada pada gudangnya untuk memperoleh pembiayaan tambahan guna memperbesar kapasitas pabriknya. Makin besarnya kapasitas, tentu makin besar pula pendapatan yang diperoleh. Atau seorang Bapak dapat mengajukan permohonan pembiayaan untuk studi lanjutan bagi putranya dengan jaminan uang pensiunnya yang akan diterimanya di masa yang akan datang. Kesemuanya itu membuka begitu banyak pintu kemungkinan bagi masyarakat untuk memperoleh peningkatan taraf kemakmuran.

Peran jaminan benda bergerak di negara maju

Akan tetapi, peran fidusia tidak hanya sebatas itu. Di Amerika Serikat, di mana rejim hukum jaminan atas benda bergeraknya telah melangkah jauh lebih maju dari Indonesia, fidusia merupakan bagian penting dalam keseharian hidup masyarakat disana. Rezim hukum yang mendasari hukum jaminan memungkinkan jaminan atas benda bergerak dapat dilahirkan secara cepat, murah, dan sederhana.

Sebuah kantor registrasi jaminan mencatat seluruh pembebanan jaminan tersebut dengan biaya minimum. Informasi yang ada di kantor tersebut dapat diakses pada seluruh negara bagian untuk menghindari terjadinya duplikasi. Eksekusi dilakukan hanya dengan menunjukkan slip pendaftaran jaminan tersebut.

Kelebihan ini telah mendorong kepada perkembangan bahwa pembiayaan yang dijamin dengan suatu instrumen jaminan tidak hanya dimonopoli oleh lembaga keuangan yang berada pada rantai pembiayaan, sebagaimana dikenal secara umum. Antara pelaku usaha pada rantai distribusi atau produksi juga dapat terjadi semacam skema pembiayaan antar mereka. Tanpa melibatkan lembaga pembiayaan, pelaku usaha dapat memberikan fasilitas kredit berupa suplai barang di muka (advancement), kepada retailer-nya dengan jaminan fidusia atas inventaris retailer tersebut.

Mekanisme ini terbukti banyak sekali membantu aliran pembiayaan secara makro. Karena dengan begitu, jaminan yang diterima oleh kreditur dapat lebih cepat dipindahtangankan kembali sebagai jaminan lebih jauh oleh kepada kreditur pada tingkat yang lebih tinggi dan seterusnya, sehingga secara langsung akan mendorong kuantitas lalu lintas kredit yang diberikan.

Hal ini telah mendorong porsi pembiayaan yang dilakukan oleh kalangan non-perbankan meningkat menjadi 60% dari total nilai kredit yang ada di negeri tersebut. Bersamaan dengan itu, nilai omzet kredit di Amerika Serikat naik sampai tingkat 200% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB), di mana 40% dari jaminan tersebut merupakan pembiayaan yang murni dijamin hanya oleh benda bergerak.

Adalah rezim hukum jaminan yang cepat, mudah, dan murah lah yang membuat hal itu dapat terjadi. Kemudahan dan kepastian hukum dalam membebankan jaminan atas benda bergerak telah mendorong sektor non-bank untuk juga mampu melakukan pembiayaan penjualan produknya yang justru pada akhirnya mampu melewati kapasitas perbankan.

Aplikasi jaminan benda bergerak di Indonesia

Aplikasi rezim hukum jaminan masih menunggu hasil implementasi dari UU No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia. Selama ini dalam memandang instrumen fidusia, masyarakat masih berpatokan kepada kerangka hukum lama, sehingga belum banyak pelajaran yang dapat diambil dari implementasinya.

Penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerjasama dengan Harvard Law School Program on International Financial System di bawah skema Regional Technical Assistance oleh ADB pada tahun 1999 menunjukkan, bahwa di Indonesia perbankan masih memegang porsi dominan dalam skema pembiayaan secara keseluruhan.

Hal ini disebabkan utamanya, karena tidak ada kepastian hukum atas jaminan fidusia. Kreditur harus mengambil jaminan benda tetap, seperti hipotek/hak tanggungan, atau mengambil jaminan yang bersifat kepercayaan berupa klaim umum terhadap harta kekayaan debitur seperti jaminan pribadi, atau jaminan perusahaan. Kedua jenis jaminan ini memiliki kekurangan.

Hipotek dan hak tanggungan merupakan jaminan yang mahal, sedangkan jaminan pribadi dan perusahaan merupakan jaminan yang penuh risiko. Kalangan perbankan dan pelaku usaha beranggapan bahwa hanya kalangan perbankan lah yang mampu membiayai dan memiliki kapabilitas mengatur risiko yang muncul dari jaminan semacam itu, yaitu eksekusi, biaya tinggi, dan lain sebagainya.

Pandangan ini merupakan pandangan yang diwariskan sejak berpuluh-puluh tahun lamanya. Perbankan Indonesia umumnya hanya memandang sebelah mata terhadap jaminan kebendaan non-possessory seperti fidusia dan hanya mau menerima fidusia sebagai jaminan komplementer hanya apabila ada jaminan benda tidak bergerak yang dijaminkan sebagai jaminan utama. Beberapa Bank pemerintah justru menempuh skema yang lebih unik, karena misinya menyalurkan kredit kepada usaha kecil, maka skema jaminan menjadi tidak riil dan seringkali mengabaikan aspek jaminan.

UU No. 42 Tahun 1999

Mampukah UU Fidusia menyamai prestasi rezim hukum jaminan di negara maju, di mana pada akhirnya justru jaminan benda bergerak menduduki posisi dominan dalam aktivitas ekonomi secara nasional?

Pertanyaan ini perlu dijawab dengan memperhatikan beberapa kriteria, yaitu sejauh mana UU Fidusia mampu mendorong aktivitas ekonomi itu sendiri. Dengan kata lain, apakah UU Fidusia mampu menjamin bahwa pembuatan jaminan fidusia memenuhi azas kemudahan, kecepatan, kesederhanaan, biaya, dan juga penegakan atas hak penerima fidusia. Makin terpenuhinya jawaban atas tuntutan aaas-aaas tersebut, makin besar kemungkinan bahwa fidusia akan mampu mendorong roda perekonomian nasional.

Sejauh ini ketentuan dalam UU Fidusia berusaha untuk menjamin aaas-azas tersebut. Ketentuan dalam UU No. 42 Tahun 1999 dan PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, pada umumnya tidak bisa dikatakan tidak cukup dalam memperhatikan hal-hal tersebut.

Hanya saja ada beberapa hal perlu diperhatikan. Peran notaris misalnya, dengan adanya kantor pendaftaran fidusia yang telah mengambil alih sebagian besar peran notaris, membuat peran notaris tidak begitu signifikan. Dikhawatirkan justru akan menjadi disinsentif bagi azas sederhana dan biaya murah. Lagi pula jeda waktu antara pembuatan akta notaris dan aplikasi ke kantor registrasi juga menjadi potensi masalah. Sementara hanya fidusia yang pertama kali didaftarkan ke kantor registrasi yang merupakan fidusia yang diakui.

Lebih jauh lagi, catatan pada notaris yang berkenaan dengan lahirnya pembebanan fidusia tidak dapat diakses oleh publik. Berbeda dengan catatan pada kantor registrasi yang dinyatakan pada Pasal 18 UU No. 42 Tahun 1999 sebagai terbuka untuk umum yang pada kelanjutannya tidak dapat dimanfaatkan sama sekali oleh publik untuk mengetahui status pembebanan jaminan atas suatu barang.

Masih banyak hal-hal yang perlu dikaji lebih jauh sehubungan dengan berlakunya UU No. 42 Tahun 1999, dan kita telah mendiskusikan betapa rezim hukum jaminan dapat menjadi amat berguna bagi ekonomi nasional secara makro. Oleh karena itu, perlu kiranya ada suatu komitmen yang kuat dari pihak-pihak terkait, seperti Menteri Kehakiman dan HAM dalam menjalankan administrasi kantor registrasi fidusia. Juga Mahkamah Agung agar memiliki persepsi yang sama atas visi dan misi UU fidusia ini, sehingga fidusia dapat diterima luas sebagai suatu instrumen jaminan yang diterima luas.

Aria Suyudi adalah peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)

(Aria Suyudi)


11/04/2008

Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia dengan Akta di Bawah Tangan
Oleh: Grace P. Nugroho, SH*)
[10/10/07]

Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan.

Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

Lalu, bagaimana dengan perjanjian fidusia yang tidak di buatkan akta notaris dan didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia alias dibuat dibawah tangan? Pengertian akta di bawah tangan adalah sebuah akta yang dibuat antara pihak-pihak dimana pembuatanya tidak di hadapan pejabat pembuat akta yang sah yang ditetapkan oleh undang-undang (notaris, PPAT dll).

Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Untuk akta yang dilakukan di bawah tangan biasanya harus diotentikan ulang oleh para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah, misalnya di pengadilan. Pertanyaannya adalah apakah sah dan memiliki kekuatan bukti hukum suatu akta di bawah tangan? Menurut pendapat penulis, sah-sah saja digunakan asalkan para pihak mengakui keberadaan dan isi akta tersebut. Dalam prakteknya, di kampung atau karena kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum dikuatkan lewat akta di bawah tangan seperti dalam proses jual beli dan utang piutang. Namun, agar akta tersebut kuat, tetap harus dilegalisir para pihak kepada pejabat yang berwenang.

Saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia. Prakteknya lembaga pembiayaan menyediakan barang bergerak yang diminta konsumen (semisal motor atau mesin industri) kemudian diatasnamakan konsumen sebagai debitur (penerima kredit/pinjaman). Konsekuensinya debitur menyerahkan kepada kreditur (pemberi kredit) secara fidusia. Artinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia kepada kreditur yang dalam posisi sebagai penerima fidusia. Praktek sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur/pihak yang punya barang mengajukan pembiayaan kepada kreditor, lalu kedua belah sama-sama sepakat mengunakan jaminan fidusia terhadap benda milik debitor dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia, dan salinannya diberikan kepada debitur. Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan.

Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat surat penetapan permohonan bantuan pengamanan eksekusi. Bantuan pengamanan eksekusi ini bisa ditujukan kepada aparat kepolisian, pamong praja dan pamong desa/kelurahan dimana benda objek jaminan fidusia berada. Dengan demikian bahwa pembuatan sertifikat jaminan fidusia melindungi penerima fidusia jika pemberi fidusia gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kedua belah pihak.

Akibat Hukum

Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditor bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari kreditor. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitor dan sebagian milik kreditor. Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dapat digugat ganti kerugian.

Dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Pasal ini menyebutkan:

  1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
  2. Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.

Situasi ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia. Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor.

Bahkan apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia, karena tidak syah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat. Mungkin saja debitor yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai

Pasal 372 KUHPidana menandaskan: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Oleh kreditor, tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditor dan debitor, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukan porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak. Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk rugi waktu dan pemikiran.

Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal. Poblem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan customer service yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat perkembangan zaman. Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat di hadapan notaris sementara lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi fidusia di lapangan dalam waktu yang relatif cepat.

Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah terhadap kreditor sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah. Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.

Penulis juga mengkhawatirkan adanya dugaan pengemplangan pendapatan negara non pajak sesuai UU No. 20 Tahun 1997 Tentang Pendapatan Negara Non Pajak, karena jutaan pembiayaan (konsumsi, manufaktur dan industri) dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan dan mempunyai potensi besar merugikan keuangan pendapatan negara.

Proses Eksekusi

Bahwa asas perjanjian “pacta sun servanda” yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang prosedural hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang dikandungnya.

Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak menggunakan semua upaya hukum yang tersedia. Biaya yang musti dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak. Masyarakat yang umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum adalah penting.

EKSEKUSI OBYEK JAMINAN FIDUSIA DALAM HAL DEBITOR PAILIT

Oleh: WIBAWANI, SUSANTI ARSI
Email: library@lib.unair.ac.id; library@unair.ac.id
Post Graduate Airlangga University
Dibuat: 2007-02-07


Keywords: FIDUCIA; BANKRUPTCY
Subject: FIDUCIA; BANKRUPTCY
Call Number: KKB KK-2 THB 34/05 Wib e

Kebutuhan akan lembaga jaminan yang praktis bagi benda bergerak sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis sekarang ini. Lembaga Jaminan Fidusia merupakan alternatif yang baik bagi pelaku bisnis dimana obyek jaminannya tetap berada ditangan debitor sehingga masih dapat dipergunakan untuk menjalankan usahanya. Lembaga Jaminan Fidusia merupakan salah satu lembaga jaminan kebendaan sehingga kreditor penerima jaminan fidusia merupakan kreditor preferen. Dalam hal debitor mengalami kepailitan maka kedudukan kreditor pemegang jaminan fidusia adalah juga sebagai kreditor separatis.
Dalam tesis ini penyusun memfokuskan pada karakter eksekusi obyek jaminan fidusia menurut Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sebagaimana diatur dalam pasal 29 serta kedudukan obyek jaminan fidusia apabila debitor jatuh pailit.
Undang-undang fidusia mengatur pelaksanaan eksekusi obyek jaminan dalam pasal 29 UUF adalah melalui 3 (tiga) cara yaitu : pertama, pelaksanaan titel eksekutorial seperti yang dimaksud dalam pasal 15 ayat (2) UUF yang menentukan bahwa pelaksanaan eksekusi adalah langsung tanpa melalui pengadilan, kedua, penjualan langsung melalui pelelangan umum, ketiga, penjualan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan. Apabila diperhatikan cara yang pertama dengan cara yang kedua adalah sama yaitu kreditor langsung melaksanakan eksekusi melalui pelelangan umum, sehingga sebetulnya pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia dalam undang-undang fidusia ini adalah 2 (dua) cara yaitu langsung melalui pelelangan umum dan penjualan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan.
Dalam hal debitor pemberi jaminan fidusia mengalami kepailitan ternyata oleh UU Kepailitan obyek jaminan fidusia tersebut masuk dalam boedel pailit sehingga mengurangi hak-hak kreditor penerima jaminan fidusia dalam mengeksekusi obyek jaminan fidusia tersebut

Copyrights:

Copyright © 2005 by Airlangga University Library, Surabaya

Fidusia, Jaminan Berdasar Kepercayaan
Oleh WIRAWAN, S.H., Sp.N (LBH Bandung)

Dalam kehidupan sehari-hari, melakukan pinjaman dana untuk memenuhi kebutuhan tertentu sudah merupakan suatu hal yang wajar. Lembaga keuangan yang memberikan pinjaman dana juga telah sangat banyak, mulai dari bank (pemerintah dan swasta), lembaga pegadaian, dan lembaga keuangan bukan bank lainnya. Bahkan dalam praktik, transaksi pinjam meminjam dana dalam jumlah besar sering juga terjadi antar individu, misalnya sesama rekan bisnis.

Agar transaksi pinjam meminjam ini dapat berlangsung dengan baik, maka dalam praktik dikenal adanya "jaminan/agunan" dari pihak yang berhutang kepada pihak yang berpiutang.

Hal ini dilakukan untuk menjamin agar hutang tersebut akan dibayar sesuai dengan perjanjian dan jika yang berhutang ingkar janji maka benda yang dijadikan jaminan dapat dijual oleh pihak yang berpiutang untuk menggantikan hutang yang tidak dibayarkan tersebut.

Pada praktiknya, hal yang berkaitan dengan pemberian jaminan/agunan tersebut telah dilembagakan dan diatur secara lengkap. Salah satu lembaga jaminan yang mulai sering kita dengar akhir-akhir ini adalah Fidusia.

Berdasar kepercayaan

Berdasarkan Undang Undang No. 42 Tahun 1999, fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda dari satu pihak kepada pihak lain, atas dasar kepercayaan. Dikatakan berdasarkan kepercayaan, karena benda yang dijadikan jaminan tersebut tetap berada di tangan atau di bawah penguasaan pemilik benda, yaitu pihak yang berhutang.

Benda yang sering dijadikan jaminan Fidusia adalah antara lain

- benda bergerak baik yang berwujud (misalnya kendaraan bermotor) maupun yang tidak berwujud (misalnya surat berharga) - benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (misalnya kapal dengan bobot tertentu).

Semua pihak dapat memanfaatkan Fidusia. Untuk mendapatkan keamanan dalam bertransaksi pinjam meminjam ini, maka pihak yang dapat memanfaatkan lembaga fidusia tidak hanya terbatas pada lembaga seperti bank atau pegadaian. Dalam Undang Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dinyatakan bahwa pemberi fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan penerima fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.

Membuat perjanjian fidusia

Jika dalam perjanjian pinjam meminjam kita menghendaki agar barang agunan dijadikan jaminan fidusia, maka caranya adalah dengan membuat perjanjian fidusia terlebih dahulu. Bentuk perjanjian fidusia wajib dibuat dalam bentuk akta otentik, yang dibuat di hadapan notaris. Akta tersebut dinamakan juga dengan Akta Jaminan Fidusia, yang sekurang-kurangnya memuat:

  1. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia
  2. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia
  3. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia
  4. Nilai penjaminan
  5. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Dengan bantuan Notaris, benda yang dibebani dengan jaminan fidusia akan didaftarkan atas nama penerima fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman.

Adapun yang dicantumkan dalam pendaftaran fidusia adalah :

  1. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia
  2. Tanggal, nomor Akta Jaminan Fidusia, nama, dan tempat kedudukan notaris yang membuat Akta Jaminan Fidusia
  3. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia
  4. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia
  5. Nilai penjaminan

Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Setelah proses pendaftaran selesai, maka kantor pendaftaran fidusia akan menerbitkan dan menyerahkan Sertifikat Jaminan Fidusia kepada pihak penerima fidusia.

Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia akan tercantum kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".

Makna dari pencantuman kata-kata tersebut adalah bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Maksudnya adalah, apabila pihak yang berhutang atau debitur ingkar janji, maka penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.

Dalam praktiknya, apabila debitur atau pemberi fidusia ingkar janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia biasanya dilakukan dengan cara:

1. Penjualan objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan

2. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia. Akan tetapi, apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.

Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak adanya pemberitahuan (secara tertulis) oleh pemberi dan atau penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.

Ketentuan pidana dalam Fidusia

Untuk memberikan kepastian hukum terhadap para pihak yang membuat perjanjian, maka undang-undang telah mengatur ancaman pidana terhadap pihak yang beritikad buruk dalam perjanjian jaminan fidusia . Ketentuan pidana tersebut adalah :

1. Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak akan melahirkan perjanjian jaminan fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

2. Pemberi fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi objek jaminan fidusia tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah.

Demikian catatan hukum dari penulis dan semoga bermanfaat.***

Jaminan & Penagihan Hutang Fidusia (lgabz_neltjet)

Pertanyaan :

Apakah jaminan fidusia yang dibuat tidak sesuai dengan UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia yaitu masih menggunakan konsep fidusia yang lama (fiduciarie eigendom overdracht) dan tidak didaftarkan adalah tidak sah atau tidak berlaku?

Jawaban :

Setiap perjanjian penjaminan pada dasarnya masuk dalam rejim hukum perikatan walaupun memiliki dimensi hukum kebendaan. Salah satu ciri hukum perikatan, adalah sifatnya fakultatif. Sesuai azas kebebasan berkontrak masing-masing pihak bebas saling mengikatkan diri selama syarat sahnya perjanjian terpenuhi. Sebaliknya, hukum kebendaan lebih banyak berciri imperatif alias bersifat memaksa karena berlaku umum untuk semua pihak.

Nah, suatu perjanjian penjaminan hak kebendaan memiliki kedua ciri tersebut. Walaupun para pihak bebas menyusun klausulanya, perjanjian itu wajib memuat beberapa unsur yang ditentukan undang-undang. Hal ini jelas terlihat dalam UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia (“UU Fidusia”).

Tidka terpenuhinya unsur-unsur wajib/imperatif dalam undang-undang penjaminan tidak berakibat perjanjian itu sendiri batal. Namun, pihak yang memiliki hak atas perjanjian itu tidak bisa menikmati haknya sebagaimana diberikan dalam undang-undang yang bersangkutan. Jaminan fidusia yang tidak memenuhi syarat imperatif dalam UU Fidusia (misalnya syarat akta jaminan fidusia dalam Pasal 6 UU Fidusia) tidak akan dapat didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Akibatnya sang kreditur tidak menikmati hak mendahului yang lazimnya didapat dari perjanjian penjaminan sesuai UU Fidusia.

Kesimpulannya, perjanjian yang disusun dengan konsep fidusia yang lama (fiduciairie eigendom overdracht atau biasa disingkat FEO) tetap sah dan berlaku mengikat pada kedua belah pihak. Namun, perjanjian itu tidak memberikan hak mendahului pada sang kreditur untuk mengambil pelunasan terlebih dahulu dibanding kreditur lainnnya. Kreditur hanya berhak atas pelunasan pari pasu atau bersama-sama dengan kreditur konkuren lainnya.

Cara meminta eksekusinya pun berbeda. Kreditur tidak bisa menggunakan titel eksekutorial yang lazimnya dinikmati kreditur pemegang fidusia (lihat Pasal 29 UU Fidusia). Ia hanya dapat mengajukan gugatan perdata terhadap debitur.