Materi

Referensi

Minggu, 08 November 2009

Dosa Pemerintah dalam Kasus Century


Satu-satunya bank yang menikmati Perpu JPSK hanya Bank Century.

Bom waktu itu akhirnya meledak juga. Ya, kasus Bank Century meledak di penghujung masa bakti periode Kabinet Indonesia Bersatu. Jelas kasus ini mencoreng citra kabinet yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono. Ada yang mengatakan kasus ini sebagai BLBI jilid dua, ada juga yang mengatakan mirip dengan kasus cessie Bank Bali.

Terlepas dari itu, kasus ini tentu menjadi cobaan berat buat Sri Mulyani Indrawati di kala puasa masih di pertengahan bulan Ramadhan. Menteri Keuangan itu dianggap orang yang paling bertanggung jawab dalam penggelontoran dana triliunan rupiah ke bank yang pernah dimiliki oleh dinasti Tantular lewat sejumlah perusahaan. Sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di kala itu, Sri Mulyani didaulat sebagai orang terakhir yang menentukan, apakah sebuah bank berdampak sistemik atau tidak, atau apakah bank itu perlu diselamatkan atau dibiarkan kolaps.

Akhirnya, lewat rapat KSSK yang melelahkan, Bank Century dinyatakan sebagai bank gagal yang bisa berdampak sistemik. Opsinya, bank itu harus diselamatkan. Dana pun digelontorkan. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ditunjuk sebagai pihak yang mengambilalih hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk mengganti direksi dan komisaris Bank Century.

Skema penyelamatan pun mulai dirancang. Di sinilah Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) mulai beraksi tepatnya 15 Oktober 2008, selain Peraturan Bank Indonesia No. 10/31/PBI/2008 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat Bagi Bank Umum—pelaksana Perpu JPSK, dan UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS.

Jika ditelusuri Perpu JPSK, ada yang janggal dalam pengambilalihan wewenang RUPS ini. Berdasarkan Pasal 12 a Perpu JPSK, seharusnya yang mengambilalih hak dan kewenangan RUPS adalah Bank Indonesia (BI) sendiri. Namun kenyataannya, LPS lah yang justru bertindak atas arahan Menkeu selaku ketua KSSK. Bisa jadi, BI ingin bermain cantik. Mereka seakan tidak mau disalahkan seperti kasus BLBI, kalau di belakang hari kasus Century meledak. Padahal Perpu JPSK maupun PBI No. 10 memberi ruang aman bagi pejabat bank sentral tersebut untuk bertindak.

Namun, apa mau dikata, keterlibatan Bank Indonesia yang ketika itu dipimpin Boediono, tak bisa lepas dari kasus penggelontoran dana ini. BI justru dianggap sebagai pihak yang memberi ’rekomendasi’ kepada Menkeu supaya Bank Century diselamatkan. Lihat saja pernyataan Sri Mulyani berikut ini. BI mengatakan kondisi Bank Century kritis. "Ada banyak saksi mata. Saya tidak tahu tentang Bank Century, makanya saya minta dikirimi empat lembar, kemudian ada diskusi," kata Sri Mulyani.

Pada tanggal 13 November 2008 Sri Mulyani memang sedang berada di Amerika untuk pertemuan G-20 mendampingi Presiden. Makanya, korespondensi dilakukan lewat teleconference dengan Boediono. Hasil teleconference itu dilaporkan ke Presiden. "Laporan ke Presiden ada satu bank yang bleeding, dan Gubernur BI sudah konsultasi dengan kami, sudah dijelaskan ke dewan," katanya. Usai pertemuan, Sri Mulyani langsung bergegas kembali ke Indonesia, sedangkan Presiden melanjutkan lawatannya ke Brazil.

Lantas, kemana Menkeu harus melapor jika kondisi perbankan makin memburuk sementara Presiden sedang tidak ada di Indonesia? ”Tentu saja ada wakil Presiden,” ujar Sri Mulyani. Pernyataan itu membuat kebingungan di masyarakat. Sebab Wapres Jusuf Kalla mengaku tidak tahu-menahu soal bailout ke Bank Century. Pasal 9 Perpu JPSK tegas mengingatkan, KSSK menyampaikan laporan mengenai pencegahan dan penanganan krisis kepada Presiden. Seharusnya, jika Presiden tidak ada di tempat, tugas kepresidenan dikendalikan oleh wakil presiden lewat Keputusan Presiden.

Entah, apakah ini dosa Bu Ani—Sri Mulyani begitu dia disapa—Bank Indonesia atau hanya masalah miskoordinasi atau transparansi belaka. Yang jelas, Sri Mulyani cukup dilindungi peraturan dalam menyelamatkan Century. Bahkan dia berkeras bahwa dirinya sudah diamanatkan untuk menyelamatkan kondisi Bank Century.

Ya, Century memang ketiban rezeki dari krisis ekonomi yang melanda dunia termasuk dampaknya yang dirasakan oleh Negeri ini. Soalnya, bank hasil peleburan dua bank yang pernah kolaps di tahun 2003—PT Bank Danpac dan PT Bank Pikko ke dalam PT Bank CIC Internasional Tbk—ini, satu-satunya bank yang ’menikmati’ Perpu JPSK. Kabar miring pun berhembus di sejumlah anggota dewan. Perpu ini dianggap sengaja dibuat untuk Bank Century. Kabar itu tentu jangan dipercaya seratus bahkan seribu persen, perlu dibuktikan kebenarannya.

Century Begitu Istimewa
Tapi, lagi-lagi pertanyaannya adalah, mengapa Century begitu istimewa sehingga harus diselamatkan dua kali—saat ini dan masalah surat berharga tahun 2003? Bahkan, walaupun surat pernyataan sanggup (letter of commitment) beberapa kali dilanggar oleh pemegang saham—ketika bank itu mulai mengalami kesulitan likuiditas—Bank Indonesia tetap saja memberikan fasilitas pendanaan jangka pendek buat bank yang berkantor pusat di kawasan Plaza Senayan tersebut.

Buktinya, lihat saja kronologis dakwaan lapis ketiga Jaksa Penuntut Umum dalam kasus pidana perbankan Robert Tantular. Dakwaan ini juga yang dikabulkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam menjerat Robert Tantular ke bui. Diceritakan Jaksa, Robert bersama dengan Rafat Ali Rizfi dan Hesyam Al Waraq (pemegang saham pengendali Bank Century yang statusnya buron) melanggar surat pernyataan kesanggupan tanggal 15 Oktober 2008 dan 16 November 2008.

Letter of commitment 15 Oktober 2008 dibuat lantaran BI menilai surat berharga Bank Century senilai AS$203,4 juta bermasalah. Surat itu dikeluarkan dari perusahaan penerbit di luar negeri, di antaranya JP Morgan Luxembourg Banking Amerika Serikat, Nomura Bank Int'l Plc, London dan First Gulf Asia Holding. BI menilai surat berharga itu tergolong macet karena tidak memiliki rating. BI berkali-kali mengirimkan surat teguran ke Bank Century agar menjual surat berharga itu.

Berdasarkan letter of commitment itu, Bank Century berjanji untuk membayar surat berharga yang jatuh tempo dan menambah modal bank atau mencari investor baru untuk menyelesaikan permasalahan bank paling lambat 31 Maret 2009. Namun Robert, Hesyam dan Rafat tak bisa menepati janjinya sehingga Bank Century tidak bisa memenuhi kewajibannya pada nasabah. Selain itu prosentase giro wajib minimum (GWM) Bank Century berada di bawah yang ditetapkan BI. Dalam Peraturan BI tentang GWM, bank harus memenuhi GWM minimal lima persen dari jumlah dana pihak ketiga (nasabah).

Century makin kesulitan likuiditas. BI lantas memberikan fasilitas pendanaan jangka pendek sebesar Rp502 miliar pada 14 November 2008. BI lalu meminta Robert, Hesyam dan Rafat menepati komitmennya yang dituangkan dalam letter of commitment pada 16 November 2008. Surat itu antara lain berisi komitmen untuk memindahkan surat berharga Bank Century ke bank kustodian di Indonesia, mengembalikan hasil pembayaran surat berharga yang jatuh tempo dan tidak akan menjaminkan surat berharga ke pihak lain.

Parahnya, letter of commitment lagi-lagi tak ditepati. BI kembali mengucurkan fasilitas pendanaan jangka pendek sebesar Rp187 miliar pada 18 November 2008. Kondisi Bank Century makin memburuk. Pada 21 November 2008 penanganan Bank Century diserahkan ke LPS. Dana lalu mengalir deras ke Century. Empat kali dana dikucurkan oleh LPS. Yakni pada 23 Nov 2008 sebesar Rp2,776 triliun, 5 Desember 2008 (Rp2,201 triliun), 3 Februari 2009 (Rp1,155 triliun), dan 21 Juli 2009 (Rp630 miliar). Yang menjadi permasalahan adalah dua pengucuran dana terakhir dilakukan setelah Perpu JPSK ditolak menjadi Undang-Undang oleh DPR pada 18 Desember 2008. Artinya, legalitas terhadap pengucuran dana yang totalnya mencapai Rp1,785 triliun, patut dipertanyakan.

Apalagi, pemerintah mengucurkan dana itu tanpa permisi ke anggota dewan. Jikapun diamini, jumlah yang disepakati cuma Rp1,3 triliun, nyatanya membengkak menjadi Rp6,7 triliun. Kalau saja pemerintah, sowan lebih dulu DPR, mungkin ceritanya lain. Memang, di Perpu JPSK, pemerintah tak perlu meminta izin ke DPR ketika ingin mem-bailout ke sebuah bank. Tapi, ini bukan uang kecil, Bu Ani! Jumlah Rp6,7 triliun tentu bisa membangun ribuan rumah masyarakat yang tidur beratapkan langit berlasakan tikar. Atau paling tidak menyekolahkan ribuan anak-anak jalanan.

Lagi-lagi, Negeri ini dianggap sebagai surganya para deposan besar yang jumlahnya minoritas di Negeri ini. Rumor ini juga yang menyeruak di kalangan media. Diduga, penyelamatan Bank Century ada kaitannya dengan simpanan nasabah dalam jumlah besar di beberapa bank, termasuk di Bank Century. Ingat kasus BLBI? Ratusan triliun uang negara ludes entah kemana? Pejabat BI waktu itu bilang, jika BLBI tidak dikucurkan, mungkin saat ini sudah tidak ada lagi bank di Indonesia. Alasan itu kini kembali menyeruak. BI mengungkapkan biaya penyelamatan perbankan akan jauh lebih besar jika Bank Century ditutup pada saat krisis. Diperkirakan negara harus menanggung beban Rp30 triliun.

Sri Mulyani bahkan menegaskan bailout terhadap Century adalah langkah yang tepat untuk mengamankan kondisi perbankan dan perekonomian nasional. Dia mencontohkan, kasus Lehman Brother yang terjadi di Amerika Serikat. Ketika Lehman Brothers terpuruk, dalam sehari semuanya runtuh. ”Harga saham anjlok, pasar uang rontok, siapa yang tahu? Dan begitu kejadian, semua baru menyesali, coba kalau waktu itu (Lehman Brother) di-bailout," bela Sri Mulyani.

Namun, benarkah pembelaan Menkeu dan BI itu? Walahu'alam bishawa. Sebab seperti dikatakan pengamat ekonomi Aviliani, tak ada satu orang pun yang tahu kondisi sistemik akan berdampak seperti apa.
(hukumonline)

Selasa, 21 April 2009

Perbedaan Akta Otentik dengan Surat Di bawah tangan


Dalam beberapa kesempatan, saya diminta untuk menjelaskan, apa yang dimaksud dengan akta otentik dan mengapa akta notaris dianggap sebagai akta otentik. Sejak jaman Belanda, memang ada pejabat-pejabat tertentu yang ditugaskan untuk membuat pencatatan-pencatatan serta menerbitkan akta-akta tertentu mengenai keperdataan seseorang, seperti misalnya kelahiran, perkawinan, kematian, wasiat dan perjanjian-perjanjian diantara para pihak, dimana hasil atau kutipan dari catatan-catatan tersebut dianggap sebagai akta yang otentik. Arti sesungguhnya dari akta otentik adalah: akta-akta tersebut harus selalu dianggap benar, kecuali jika dibuktikan sebaliknya di muka pengadilan. Mengenai definisi dari akta otentik dituangkan dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatakan bahwa:

“akta otentik adalah akta yang (dibuat) dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai2 umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya.”

Jadi, apabila di ambil point2nya, maka yang dimaksud sebagai akta otentik harus memenuhi criteria sebagai berikut:
1. Bentuknya sesuai UU
Bentuk dari akta notaris, akta perkawinan, akta kelahiran dll sudah ditentukan format dan isinya oleh Undang-Undang. Namun ada juga akta-akta yang bersifat perjanjian antara kedua belah pihak yang isinya berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak sesuai dengan azas kebebasan berkontrak.
2.Dibuat di hadapan pejabat umum yg berwenang
3.Kekuatan pembuktian yang sempurna
4.Kalau disangkal mengenai kebenarannya, maka penyangkal harus membuktikan
mengenai ketidak benarannya

Apakah yang berhak untuk membuat akta otentik hanyalah Notaris? Tentu saja tidak, karena yang dimaksud dengan “pejabat umum yang berwenang” itu sendiri adalah pejabat yang memang diberikan wewenang dan tugas untuk melakukan pencatatan tersebut, misalnya: Pejabat KUA atau pejabat catatan sipil yang bertugas untuk mencatat perkawinan, kelahiran dan kematian, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan lain sebagainya.

Berbeda dengan akta otentik, akta di bawah tangan memiliki ciri dan kekhasan tersendiri, berupa:
1.Bentuknya yang bebas
2.Pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum
3.Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tdk disangkal oleh pembuatnya
4.Dalam hal harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi juga dengan saksi-saksi & bukti lainnya. Oleh karena itu, biasanya dalam akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan 2 orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian.

Kamis, 16 April 2009

Kelembagaan, Operasional & Pengembangan Produk Bank Syariah

Perspektif Hukum Positif

(Esei Hukum Peri Umar Farouk)

lenyapkan dirimu di hadapan Sang Wujud
agar ribuan dunia berlompatan darimu
dan wujud murnimu memancar dari dirinya sendiri
terus dan terus melahirkan bentuk-bentuk berlainan

berbahagialah ia yang menyerahkan hidupnya demi mengetahui itu!
dia meninggalkan rumah ini demi rumah selanjutnya; yang jauh lebih bercahaya

jika kau tak merasakan sakit, kau takkan mencari kesembuhan
jiwa yang tak hidup dalam Tuhan, tidaklah hidup

(Sultan Walad, mistikus Islam)

Perbankan syariah tumbuh dan dikembangkan sebagai sebuah alternatif bagi praktek perbankan konvensional. Yang dikritik dari bank yang fenomenal di abad modern kapitalis ini oleh konsep perbankan syariah, bukanlah menolak bank dalam fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan, melainkan di dalam karakteristik-karakteristiknya yang lain.
Tulisan ini akan membahas berbagai karakter pokok perbankan syariah, terutama melihatnya dengan perspektif kajian hukum (positif), yang di berbagai isu mungkin berbeda dengan yang berlaku bagi perbankan konvensional. Pembahasan akan terfokus di kelembagaan, operasional serta pengembangan produk perbankan syariah di Indonesia.

Pengaturan Kelembagaan & Operasional

Sejak UU 7/1992 Indonesia telah menganut dual banking system, yang singkatnya berarti memperkenankan dua sistem perbankan secara co-existance. Di masa UU 7/1992 dua sistem perbankan itu adalah Bank Umum dan Bank Berdasarkan Bagi Hasil (yang secara implisit mengakui sistem perbankan berdasarkan prinsip Islam). Baru melalui perubahan dengan UU 10/1998 secara terang-terangan dinyatakan bahwa dua sistem perbankan di Indonesia ini adalah: Konvensional dan Syariah.

Praktek perbankan konvensional dapat dilakukan melalui Bank Umum Konvensional serta Bank Perkreditan Rakyat (Konvensional). Keduanya diberi pengertian sbb:

Bank Umum (Konvensional) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Sedangkan Bank Syariah dapat dilakukan melalui:

  • Bank Umum Syariah
  • BPRS
  • Islamic Windows
  • Office Channeling

Bank Umum Syariah

Bank Umum Syariah adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukum yang diperkenankan adalah Perseroan Terbatas/PT, Koperasi, atau Perusahaan Daerah (Pasal 2 PBI 6/24/PBI/2004 ); dengan modal disetor sekurang-kurangnya satu trilyun rupiah (Pasal 4 PBI 7/35/PBI/2005 )

Bank Perkreditan Rakyat Syariah

Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukumnya dapat berupa: Perseroan Terbatas/PT, Koperasi atau Perusahaan Daerah (Pasal 2 PBI 6/17/PBI/2004 ). Modal disetor BPRS ditetapkan sbb:

Rp 2 milyar

Wilayah DKI Jakarta, Kab/Kota Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi

Rp 1 milyar

Wilayah ibukota propinsi di luar Wilayah DKI Jakarta, Kab/Kota Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi

Rp 500 juta

Wilayah lain

Islamic Windows

Perubahan Pasal 6 huruf m oleh UU 10/1998 terhadap UU 7/1992 menjadi jendela bagi pembukaan kantor bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah oleh Bank Umum Konvensional. Ketentuan terbaru, yakni Pasal 13 (1) PBI 8/3/PBI/2006 menetapkan pembukaan tersebut bisa dilakukan dengan cara:

  • Membuka Kantor Cabang Syariah yang baru;
  • Mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang menjadi Kantor Cabang Syariah;
  • Meningkatkan status Kantor di bawah Kantor Cabang menjadi Kantor Cabang Syariah;
  • Mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang yang sebelumnya telah membuka Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah;
  • Meningkatkan status Kantor Cabang Pembantu yang sebelumnya telah membuka Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah; dan/atau
  • Membuka Kantor Cabang Syariah baru yang berasal dari Unit Syariah dari Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang Pembantu, di lokasi yang sama atau di luar lokasi Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang Pembantu dimana Unit Syariah sebelumnya berada.

Adapun syarat-syarat pembukaan Islamic Windows dapat ditarik dari Pasal 14-16 PBI 8/3/PBI/2006 yakni:

  • menyisihkan modal kerja untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah minimum untuk mengcover biaya operasional awal, antara lain: biaya sewa gedung, gaji karyawan, dan overhead cost;
  • memenuhi rasio Kewajiban Modal Minimum bagi Unit Usaha Syariah;
  • memiliki pencatatan dan pembukuan tersendiri untuk Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
  • menyusun laporan keuangan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah;
  • memasukkan laporan keuangan di atas dalam laporan keuangan gabungan;
  • wajib mencantumkan kata “Syariah” pada setiap penulisan nama kantornya.

Office Channelling

Office Channelling merupakan istilah yang diberikan guna menandai dimungkinkannya melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah di Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang Pembantu Bank Umum Konvensional. Sebelumnya berdasarkan prinsip Islamic Windows versi PBI 4/1/PBI/2002 , praktek demikian tidak dimungkinkan. Praktek perbankan syariah tidak diperkenankan dilakukan bersama-sama dalam satu kantor yang berpraktek konvensional.

Pasal 38 (2) PBI 8/3/PBI/2006 memberi kesempatan Layanan Syariah dibuka:

  • dalam satu wilayah kerja Kantor Bank Indonesia dengan Kantor Cabang Syariah induknya;
  • dengan menggunakan pola kerjasama antara Kantor Cabang Syariah induknya dengan Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang Pembantu; dan
  • dengan mempergunakan sumber daya manusia sendiri bank konvensional yang telah memiliki pengetahuan mengenai produk dan operasional Bank Syariah.

Alasan bagi dimungkinkannya office channelling, dapat dilihat di Bagian Umum Penjelasan PBI 8/3/PBI/2006, yakni: mendorong percepatan pertumbuhan jaringan kantor Bank Umum Konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam rangka memperluas jangkauan layanan kepada masyarakat. Sekaligus dengan ini, lanjut Penjelasan tersebut memungkinkan Kantor Cabang yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri berperan serta dalam perbankan syariah.

Praktek perbankan syariah diatur lebih leluasa, karena dimungkinkannya untuk melakukan kegiatannya di Bank Umum Konvensional. Kesempatan demikian tidak diberikan peraturan perundang-undangan kepada Bank Umum Syariah untuk melakukan kegiatan usaha konvensional. Pasal 39 PBI 6/24/PBI/2004 dengan tegas melarang Bank Syariah melakukan kegiatan usaha perbankan secara konvensional; atau mengubah kegiatan usahanya menjadi bank konvensional. Sehingga beberapa kalangan menyebut bahwa ideal perbankan Indonesia adalah Perbankan Syariah.

Gambar 1: Skema Operasional Bank Syariah di Indonesia

Kegitan Usaha

Kegiatan usaha perbankan syariah diatur dalam Pasal 36 – 37 PBI 6/24/PBI/2004. Agar memudahkan pemahaman, secara garis besar kegiatan usaha perbankan syariah meliputi 9 fungsi:

(1) penghimpunan dana

Melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan (giro dan tabungan berdasar prinsip Wadi’ah) serta investasi (giro, tabungan dan deposito berdasar prinsip Mudharabah).

(2) penyaluran dana (langsung dan tidak langsung)

Pembiayaan langsung (berdasar prinsip jual beli, bagi hasil, sewa menyewa dan pinjam meminjam) serta tidak langsung/indirect finance (Bank Garansi, Letter of Credit).

(3) jasa pelayanan perbankan

Jasa pelayanan perbankan berdasarkan wakalah, hawalah, kafalah dan rahn.
Menyediakan tempat menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadi’ah yad amanah (Safe Deposit Box).

Melakukan kegiatan penitipan, termasuk penatausahaannya untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah (kustodian).

(4) berkaitan surat berharga

Membeli, menjual dan/atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan prinsip syariah.
Membeli surat berharga berdasarkan prinsip syraih yang diterbitkan Pemerintah dan/atau BI (SWBI).
Menerbitkan surat berharga berdasarkan prinsip syariah.

(5) lalu lintas keuangan dan pembayaran

Money transfer, inkaso, kartu debet/charge card, valuta asing (Sharf).

(6) berkaitan pasar modal

Wali amanat (wakalah).

(7) investasi

Penyertaan modal di bank atau perusahaan lain bidang keuangan berdasarkan prinsip syariah, seperti: sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan.

Penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan BI.

(8) dana pensiun

Pendiri dan pengurus dana pensiun (DPLK) berdasarkan prinsip syariah.

(9) sosial

Penerima dan penyalur dana sosial (Zakat, Infak, Shadaqah, Waqaf, Hibah).

Gambar 2: Kegiatan Usaha Bank Syariah

Pengembangan Produk

Di bawah merupakan lingkungan isu pengembangan produk perbankan syariah yang erat kaitannya dengan dengan berbagai aspek hukum, terutama hukum ekonomi bisnis di Indonesia:

…akad wajib dibuat sesuai ketentuan PBI 7/46/PBI/2005;

PBI 7/46/PBI/2005 telah menetapkan syarat untuk berbagai produk perbankan syariah, baik berupa penghimpunan maupun penyaluran dana. Di bidang penghimpunan dana, telah diatur simpanan yang bersifat titipan, yakni: Giro Wadi’ah dan Tabungan Wadi’ah. Juga simpanan yang bersifat investasi, yakni: Giro Mudharabah, Tabungan Mudharabah dan Deposito Mudharabah.

Di bidang penyaluran dana, PBI dimaksud telah mengatur di Bagian Kedua – Penyaluran Dana (Pasal 6 – 18 PBI 7/46/PBI/2005): Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah, Ijarah Muntahiya Bit Tamlik, dan Qardh.

Ganti Rugi

Penting dikemukakan dalam PBI 7/46/PBI/2005 berkenaan dengan pengaturan ganti kerugian (ta’widh) dalam Pembiayaan. Hal ini mengingat bahwa secara tradisional setiap bentuk penambahan apapun terhadap pokok pembiayaan merupakan bentuk-bentuk Riba’. Namun PBI dimaksud memberi kemungkinan pengenaan ganti kerugian dalam hal dan dengan syarat-syarat sbb:

  • Bank dapat mengenakan ganti rugi (ta`widh) hanya atas kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas kepada nasabah yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan Akad dan mengakibatkan kerugian pada Bank;
  • Besar ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan Bank adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang berkaitan dengan upaya Bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss/al-furshah al-dha-i’ah);
  • ganti rugi hanya boleh dikenakan pada Akad Ijarah dan Akad yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti Salam, Istishna’ serta Murabahah, yang pembayarannya dilakukan tidak secara tunai;
  • ganti rugi dalam Akad Mudharabah dan Musyarakah, hanya boleh dikenakan Bank sebagai shahibul maal apabila bagian keuntungan Bank yang sudah jelas tidak dibayarkan oleh nasabah sebagai mudharib;
  • klausul pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara jelas dalam Akad dan dipahami oleh nasabah; dan
  • Besarnya ganti rugi atas kerugian riil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Bank dengan nasabah.

Agunan/Jaminan

Hal penting lainnya yang perlu disinggung adalah berkenaan dengan jaminan. Pasal 8 UU 10/1998 menyatakan kewajiban bagi bank –dalam memberikan pembiayaan syariah, mempunyai keyakinan berdasarkan analisis mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur mengembalikan pembiayaan. Terdapat lima pokok yang perlu dikaji seksama oleh Bank sebelum memberi fasilitas pembiayaan terhadap nasabahnya, yakni: watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha.

Agunan merupakan salah satu kewajiban yang dipersyaratkan Undang-undang untuk diperjanjikan antara Bank dengan Nasabahnya dalam pembiayaan. Agunan sendiri ditetapkan menjadi 2 jenis, yang wajib serta agunan tambahan. Agunan wajib dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan pembiayaan. Sedangkan agunan tambahan adalah barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai.

Dalam perspektif syariah, pengambilan jaminan diperkenankan. Prinsip Rahn, dalam prakteknya biasa dipergunakan baik sebagai perjanjian untuk menggadaikan barang atau sebagai jaminan. Secara tradisional, pengecualian hanya ditentukan atas akad yang bersifat bagi hasil, yakni: Mudharabah dan Musyarakah. Artinya untuk Mudharabah dan Musyarakah, jaminan bagi pengembalian modal merupakan hal yang tidak sah. Namun perkembangan di dalam praktek perbankan syariah, dan telah masuk ke dalam peraturan perundangan-undangan, jaminan bagi Mudharabah dan Musyarakah pun diperkenankan. Fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) menyatakan pada Ketetapan Pertama: Ketentuan Pembiayaan butir 7:
Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.

Kemudian di Ketentuan nomor 3 huruf a butir 3 Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah, menyatakan:

Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.

Begitu pun dalam PBI 7/46/PBI/2005 Pasal 6 huruf o untuk Mudharabah dan Pasal 8 huruf o untuk Musyarakah, menetapkan:

Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad karena kelalaian dan/atau kecurangan.

Kesimpulan dari ketentuan-ketentuan tersebut adalah Bank dalam memberikan pembiayaan Mudharabah atau Musyarakah diperkenankan mengambil jaminan, tetapi pencairannya hanya dapat dilakukan bilamana Nasabah:

  • terbukti melakukan pelanggaran (penyimpangan) terhadap syarat dan kondisi akad;
  • lalai; dan/atau
  • curang.

Hal ini berarti, khusus untuk pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah, jaminan tidak berfungsi sebagai Second Way-Out, pengganti pengembalian modal yang ditanamkan Bank di usaha/proyek Nasabah. Tetapi sebagai ganti rugi adanya pelanggaran, kelalaian dan kecurangan Nasabah. Faktor analisis resiko inilah yang membedakan fungsi jaminan dalam pembiayaan Mudharabah/Musyarakah dengan pembiayaan lain terutama yang berbasis jual beli (Murabahah, Salam, Istishna’) atau Kredit. Murabahah atau Kredit misalnya, bilamana pengembalian macet dengan alasan apapun, bank dapat meminta pengganti dana yang dikeluarkannya dengan pencairan jaminan/agunan.

Selebihnya berkenaan dengan penjaminan, terutama permasalahan administrasi pendaftaran serta pencatatan (security attachment), adalah sama sebagaimana penjaminan pada umumnya.

Gambar 3: Benda & Jaminan

Penyelesaian Sengketa

Pasal 20 ayat (2) PBI 7/46/PBI/2005 menyatakan bilamana musyawarah demi menyelesaikan sengketa/perselisihan tidak tercapai, maka penyelesaian selanjutnya ‘dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa atau badan arbitrase syariah’. Frasa PBI tersebut, hemat penulis lebih baik, lebih adil dan mewakili perkembangan yang terjadi dalam bidang penyelesaian sengketa saat ini dan ke depan, dibanding dengan yang digunakan dalam fatwa-fatwa DSN. Hampir di semua fatwa DSN yang mengandung ketentuan penyelesaian sengketa, kalimat yang dipergunakan adalah sbb:

Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Kalimat dimaksud cenderung menutup peluang penggunaan forum lain yang telah dan mungkin akan tersedia untuk diakses masyarakat dalam memproses keadilannya di bidang ekonomi syariah.
Saat ini yang erat dihubungkan sebagai potensi forum untuk penyelesaian sengketa di bidang ekonomi syariah, disamping Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang secara implisit ditunjuk sebagai Badan Arbitrase Syariah dalam fatwa-fawta DSN, juga ada Peradilan Agama. Melalui perubahan UU 3/2006 terhadap Pasal 49 UU 7/1989 tentang Peradilan Agama ditentukan bahwa:

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) perkawinan; (b) waris; (c) wasiat; (d) hibah; (e) wakaf; (f) zakat; (g) infaq; (h) shadaqah; dan (i) ekonomi syariah .

Dengan Pasal tersebut, Pengadilan Agama mempunyai kompetensi absolut sebagai forum litigasi menyelesaikan perkara bidang ekonomi syariah, yang termasuk di dalamnya isu-isu perbankan syariah.

Disamping itu, terdapat lingkungan lain penyelesaian sengketa yang terus berkembang di Indonesia yang potensial lebih diakses masyarakat ekonomi bisnis, yakni melalui Penyelesaian Sengketa Alternatif (PSA). Sebagai contoh adalah adanya pengaturan ‘Mediasi Perbankan’ sebagai inisiatif BI melalui PBI 8/5/PBI/2006 . Mediasi model ini rencananya akan dilakukan oleh lembaga mediasi perbankan independen yang dibentuk asosiasi perbankan. Pembentukannya diharapkan selesai sebelum 31 Desember 2007. Selama belum terbentuk, BI menyediakan fasilitas bagi Bank dan/atau Nasabah untuk melakukan mediasi, hanya terbatas pada ‘upaya membantu Nasabah dan Bank mengkaji ulang sengketanya secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan’.

…wajib menegaskan jenis transaksi syariah yang digunakan;

Tidak seperti jenis-jenis simpanan di bank konvensional, yang disepakati dalam formulir pembukaan rekeningnya bersifat titipan namun dijanjikan keuntungan bunga; atau kredit, yang semuanya bisa ditampung dalam bentuk perjanjian yang serupa: Perjanjian Kredit, transaksi perbankan Syariah karena berbasis pada transaksi-transaksi tradisional yang diperkenankan Islam, setiap kebutuhan dana atau pembiayaan membawa pilihan terhadap jenis transaksi syariah tertentu. Secara umum jenis-jenis transaksi itu dinamakan Prinsip Syariah. Dengan pilihan itu kemudian akan dipahami posisi para pihak dalam perjanjian, apa peruntukannya, manfaat apa yang boleh diambil, resiko apa yang mungkin dihadapi, serta penanganan ganti rugi dan jaminan.

Agar lebih tergambar konsekuensi hukumnya, secara pokok Syariah membagi akad menjadi yang bersifat komersil (Tijarah) dan non komersil (Tabarru’). Tijarah pada hakekatnya memang diperuntukkan untuk mengambil keuntungan, sedangkan Tabarru’ lebih sebagai media mempermudah pelayanan/kebaikan antar manusia. Pendapat dominan para terpelajar bidang keuangan syariah berpendirian bahwa akad Tijarah hanyalah akad-akad yang berbasis jual beli (Murabahah, Salam, Istishna); bagi hasil (Mudharabah, Musyarakah); dan sewa menyewa (Ijarah, IMBT). Selebihnya: qardh, wadiah, rahn, kafalah, hawalah, wakalah, sharf merupakan akad-akad yang Tabarru’.

Gambar 4: Prinsip Syariah

…tidak boleh mengandung unsur Gharar, Maysir, Riba, Zalim, Riswah, serta Barang Haram & Maksiat;

Aspek pertama yang mendapat kritikan keras dari konsep perbankan syariah adalah konsep bunga sebagai dasar manfaat transaksi bank. Bunga dipandang tidak adil, mengingat ia menghilangkan keterkaitan antara untung rugi dengan resiko. Dalam konsep konvensional, Bank harus menanggung keuntungan Nasabah Penyimpan apapun yang terjadi dengan kinerja usahanya. Resiko kegagalan usaha yang menyebabkan bank merugi misalnya tidak dapat dijadikan rasio untuk tidak membayar bunga Simpanan sebagaimana dijanjikan sebelumnya. Dan sebaliknya Nasabah Debitur dengan kebutuhan apapun yang telah difasilitasi dengan Kredit harus tetap membayar kewajiban bunga kepada Bank, tanpa dapat mengemukakakan alasan apapun berkenaan dengan resiko untung rugi bisnisnya.

Perbankan syariah berkehendak mengembalikan transaksi-transaksi tersebut pada hakikatnya. Niat menyimpan akan dijawab oleh transaksi yang sifatnya non komersial. Niat pemilikan/konsumtif akan dilayani dengan transaksi komersial jual beli. Dan investasi akan diupayakan dalam fasilitas-fasilitas yang diproyeksikan menguntungkan. Dengan demikian para pihak akan terdidik dengan pilihan transaksinya, yang dengan itu juga sadar mengenai ada tidaknya manfaat serta macam resiko yang dihadapinya.

Pertanyaannya kemudian: bilamana bunga merupakan model manfaat yang tidak diperkenankan secara syariah, maka manfaat apakah yang bisa diambil para pihak dalam transaksi perbankan?
Peraturan perundang-undangan Indonesia di bidang perbankan memang tidak sekaligus mengatur mengenai penghapusan bunga, melainkan telah memberi tempat tumbuhnya alternatif selain bunga. Butir 12 Pasal 1 UU 10/1998 eksplisit menyatakan adanya frasa ‘imbalan atau bagi hasil’ sebagai manfaat yang bisa diambil Bank dari skema Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. Frasa tersebut seperti menggantikan manfaat yang biasa diambil Bank dari skema Kredit sebagaimana diatur di butir sebelumnya Pasal bersangkutan. Lengkapnya sbb:

Butir 11 UU 10/1998:

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga;

Butir 12 UU 10/1998:

Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil;

Imbalan atau bagi hasil sendiri bila dijelaskan kemudian adalah merupakan frasa yang mewakili berbagai bentuk manfaat tradisional dari jenis-jenis perjanjian yang dibolehkan secara Islam (Mu’amalat). Bila dibandingkan lengkap dengan kredit, maka tampak sbb:

PRINSIP

MANFAAT

PERHITUNGAN

Kredit/Simpanan

Bunga

Persentase dari pokok

Jual Beli (Murabahah, Salam. Istishna)

Marjin

Mark-up/Persentase dari pokok

Bagi Hasil (Mudharabah, Musyarakah)

Nisbah Bagi Hasil

Persentase dari keuntungan

Sewa menyewa (Ijarah, IMBT)

Sewa/Ujrah

x

Pinjam Meminjam (Qardh)

Biaya Adminsitrasi

x

Wadi’ah, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, Sharf

Biaya Administrasi

x

Perkembangan kemudian di Indonesia, hukum positif sebagaimana berdasarkan Pasal 2 (3) PBI 7/46/PBI/2005 menyatakan bahwa bukan saja sistem bunga (yang sering secara umum dipersamakan dengan Riba’) yang tidak boleh ada dalam transaksi syariah, melainkan juga:

Gharar

Transaksi yang mengandung tipuan dari salah satu pihak sehingga pihak yang lain dirugikan

Maysir

Transaksi yang mengandung unsur perjudian, untung-untungan atau spekulatif yang tinggi

Riba

Transaksi dengan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan ajaran Islam

Zalim

Tindakan atau perbuatan yang mengakibatkan kerugian

Risywah

Tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau bentuk lainnya yang melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam suatu transaksi

Barang Haram & Maksiat

Barang atau fasilitas yang dilarang dimanfaatkan atau digunakan menurut hukum Islam

MENGENAL LEGAL DUE DILIGENCE

PENDAHULUAN

Legal Due Diliegence atau Uji Tuntas Dari Segi Hukum merupakan pemeriksaan atau audit menyeluruh terhadap suatu badan hukum dilihat dari sisi legalitas badan hukum tersebut. Dalam keseharian, kita lebih mengenal audit dari segi keuangan yang biasa dilakukan oleh akuntan untuk membuat laporan keuangan pada akhir tahun buku suatu badan hukum.

Menurut Standar Profesi Konsultan Hukum Pasar Modal yang dikeluarkan oleh Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal tertanggal 18 Februari 2005, Uji Tuntas Dari Segi Hukum (Legal Due Diligence) untuk selanjutnya disebut Uji Tuntas adalah kegiatan pemeriksaan secara seksama dari segi hukum yang dilakukan oleh Konsultan Hukum terhadap suatu perusahaan atau obyek transaksi sesuai dengan tujuan transaksi, untuk memperoleh informasi atau fakta material yang dapat menggambarkan kondisi suatu perusahaan atau obyek transaksi.

Dalam kenyataannya Uji Tuntas tidak hanya berguna untuk kegiatan transaksi di Pasar Modal saja, akan tetapi juga untuk transaksi di luar pasar modal, seperti akuisisi suatu perusahaan oleh investor, pemberian kredit oleh kreditur maupun bagi internal perusahaan sendiri.


MANFAAT UJI TUNTAS

Secara singkat, manfaat uji tuntas adalah :

1. secara umum adalah untuk mengetahui riwayat perusahaan dari segi hukum atas perusahaan dari mulai pendirian sampai dengan kondisi terakhir perusahaan tersebut, terutama dari segi riwayat permodalan, riwayat pemegang saham, izin-izin yang dimiliki, aset-aset yang dimiliki perusahaan, hutang-hutang perusahaan beserta pembatasan-pembatasan yang dikenakan kepada perusahaan karena adanya hutang, aset yang dijaminkan amuapun perkara yang sedang dihadapai oleh perusahaan.

2. Bagi investor adalah untuk mengetahui riwayat perusahaan dari segi hukum atas perusahaan target dari mulai pendirian sampai dengan kondisi terakhir perusahaan target tersebut.

3. Bagi kreditur adalah untuk mengetahui kondisi legalitas perusahaan yang akan menjadi debiturnya, termasuk aset-aset yang dimiliki baik yang berupa benda bergerak maupun tidak bergerak, dan aset yang telah dijaminkan kepada kreditur lainnya, kondisi perjanjian hutang dengan kreditur lainnya.

4. Bagi internal perusahaan adalah sebagai kontrol atas jangka waktu izin-izin yang dimiliki oleh perusahaan, jangka waktu sertifikat kepemilikan aset seperti sertifikat tanah atau asuransi, tindakan-tinbdakan yang harus mendapat izin kreditur jika perusahaan mempunyai perjanjian kredit serta koreksi atas hal-hal yang masih harus dilengkapi oleh perusahaan.

5. Bagi Konsultan hukum adalah sebagai dasar untuk membuat legal opini atas perusahaan yang di uji tuntas tersebut, sesuai dengan tujuan dan keperluan dibuatnya uji tuntas.

6. Bagi masyarakat umum, adalah sebagai bahan informasi tentang perusahaan (tentunya perusahaan publik saja) dan bahan pertimbangan untuk membeli saham atau produk lainnya jika ingin berinvestasi di pasar modal.


MATERI UJI TUNTAS

Sesuai dengan Standar yang dikeluarkan oleh HKHPM, secara umum materi Uji Tuntas secara menyeluruh adalah sebagai berikut:

a. Anggaran dasar Perusahaan
a.1. Pemeriksaan terhadap anggaran dasar meliputi antara lain:
i. akta pendirian Perusahaan;
ii. seluruh perubahan anggaran dasar.

a.2. Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai anggaran dasar adalah:
iii. kegiatan usaha Perusahaan;
iv. ketentuan mengenai pengangkatan direksi dan komisaris; dan
v. pengaturan dan tata cara mengenai pelaksanaan rapat-rapat umum baik RUPS Tahunan maupun RUPS Luar Biasa dan apakah putusan RUPS telah diambil sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar.

b. Notulen rapat
b.1. Pemeriksaan terhadap notulen rapat meliputi antara lain:
i. notulen Rapat Direksi;
ii. notulen Rapat Komisaris; dan
iii. notulen Rapat Umum Pemegang Saham.

b.2. Notulen rapat sebagaimana tersebut pada huruf b.1. adalah notulen rapat yang diselenggarakan dalam lima tahun terakhir, dengan memperhatikan jangka waktu penyimpanan dokumen oleh Perusahaan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b.3. Khusus untuk notulen rapat yang berhubungan dengan perubahan ketentuan anggaran dasar dan pengalihan saham, diperlukan pemeriksaan sejak pendirian Perusahaan.


c. Saham dan permodalan
c.1. Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai saham adalah:
i. jenis saham yang telah dikeluarkan oleh Perusahaan dan hak-hak yang melekat pada masing-masing jenis saham tersebut.
ii. sejarah kepemilikan saham Perusahaan sejak didirikan hingga dibuatnya Laporan Uji Tuntas, serta apakah perubahan tersebut telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c.2. Hal yang perlu diperiksa mengenai permodalan adalah:
iii. sejarah permodalan Perusahaan sejak didirikan hingga dibuatnya Laporan Uji Tuntas,
iv. apabila terdapat perubahan dalam permodalan, apakah perubahan tersebut telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam anggaran dasar Perusahaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c.3. Pemeriksaan atas saham dan permodalan dapat dilakukan dengan melihat Buku Daftar Saham dan Buku Daftar Khusus dari Perusahaan.


d. Direksi dan dewan komisaris
d.1. Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai direksi dan dewan komisaris:
i. susunan direksi dan dewan komisaris yang sedang menjabat;
ii. identitas diri.

d.2. Konsultan Hukum wajib memperoleh surat pernyataan masing-masing anggota direksi dan dewan komisaris Perusahaan mengenai apakah masing-masing dari mereka terlibat atau tidak dalam perkara pidana, perdata, kepailitan, pajak, perburuhan, arbitrase atau perkara lainnya.

e. Ijin dan persetujuan
e.1. Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai ijin dan persetujuan:
i. jenis;
ii. jangka waktu;
iii. instansi yang menerbitkan;
iv. pemegang ijin;
v. hak, kewajiban, dan larangan;
vi. sanksi; dan
vii. pentaatan.

e.2. Konsultan Hukum wajib melakukan pemeriksaan atas ijin dan persetujuan material yang berhubungan dengan kegiatan usaha, kepemilikan aset tertentu, dan pengelolaan lingkungan dari instansi yang berwenang yang disyaratkan agar Perusahaan dapat melakukan kegiatan usahanya atau memiliki, menguasai, menempati, dan menggunakan aset yang dimiliki. Banyaknya jenis ijin dan persetujuan yang harus dilihat disesuaikan dengan kegiatan usaha Perusahaan.


f. Aset

f.1. Pemeriksaan atas aset meliputi aset bergerak dan tidak bergerak.
f.2 Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai aset:
i. status kepemilikan atau penguasaan atas aset;
ii. sengketa atas aset yang dimiliki atau dikuasai Perusahaan, apabila ada; dan
iii. pembebanan atas aset yang dimiliki atau dikuasai Perusahaan.

g. Asuransi
g.1. Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai asuransi:
i. penanggung;
ii. jenis asuransi;
iii. resiko yang ditanggung;
iv. obyek yang diasuransikan;
v. jumlah pertanggungan;
vi. jangka waktu asuransi; dan
vii. klausula bank, bila ada.

g.2. Konsultan Hukum wajib memperoleh pernyataan dari direksi mengenai apakah seluruh aset material Perusahaan telah diasuransikan dan apakah jumlah pertanggungan adalah memadai untuk mengganti obyek yang diasuransikan atau menutup resiko yang dipertanggungkan.

h. KetenagakerjaanHal-hal yang perlu diperiksa mengenai ketenagakerjaan:
i. bukti pendaftaran tenaga kerja perusahaan;
ii. Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau peraturan perusahaan;
iii. penggunaan tenaga kerja asing;
iv. jaminan sosial karyawan dan keikutsertaan dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK);
v. program dana pensiun untuk karyawan;
vi. pemenuhan ketentuan Upah Minimum Regional (UMR); dan
vii. izin-izin khusus di bidang ketenagakerjaan (misalnya untuk mempekerjakan karyawan di malam hari).

i. Perjanjian-perjanjian material yang mengikat Perusahaan, termasuk perjanjian yang mengandung unsur benturan kepentingan dan perjanjian-perjanjian sehubungan dengan transaksi yang akan dilakukan.
Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai perjanjian tersebut adalah:
i. pihak dalam perjanjian;
ii. obyek perjanjian;
iii. nilai perjanjian;
iv. hak dan kewajiban para pihak;
v. pembatasan-pembatasan bagi para pihak sesuai dengan transaksi yang akan dilakukan;
vi. klausula pengakhiran
vii. kalusula cidera janji
viii. pentaatan.


j. Pemeriksaan atas perkara yang melibatkan Perusahaan

j.1. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan atas perkara, sengketa lainnya atau klaim yang mungkin timbul yang melibatkan Perusahaan dan secara material dapat mempengaruhi keadaan keuangan Perusahaan.

j.2. Konsultan Hukum wajib memperoleh surat keterangan dari badan peradilan yang berwenang apakah Perusahaan terlibat perkara di muka pengadilan, pengadilan niaga, arbitrase, pajak atau sengketa lainnya.

j.3. Konsultan Hukum wajib memperoleh surat pernyataan dari direksi apakah Perusahaan terlibat perkara di muka pengadilan, pengadilan niaga, arbitrase, pajak atau sengketa lainnya atau klaim yang mungkin timbul, yang secara material dapat mempengaruhi kelangsungan usaha Perusahaan.

k. Laporan keuangan dan management letter. Sebagai sumber informasi tambahan, Konsultan Hukum wajib mempelajari laporan keuangan Perusahaan yang telah diaudit beserta management letter yang telah dikeluarkan oleh auditor terkait untuk lima tahun terakhir.

RESTRUKTURISASI HUTANG

Muchammad Alfarisi, SH., M.Hum.

Restrukturisasi hutang merupakan salah satu alternatif untuk menyelesaikan kredit macet yang terjadi. Program Restrukturisasi hutang biasanya diberikan kepada Debitur yang kreditnya macet bukan karena Debitur tersebut nakal atau sengaja tidak mau membayar Hutangnya tersebut. Biasanya ada dua syarat yang dilihat oleh kreditur untuk merestrukturisasi hutang Debitur. Yang pertama Debitur tersebut adalah Debitur Bonafide artinya Debitur tersebut adalah orang yang dikenal dalam dunia usaha dan kredibilitasnya dapat dipercaya. Syarat yang kedua adalah adanya penilaian dari kreditur bahwa Usaha Debitur termasuk usaha yang "Going Concern" atau usaha tersebut masih dianggap berprospek dan menguntungkan untuk tetap dilanjutkan.
Dalam rangka proses restrukturisasi hutang, biasanya Kreditur akan memberikan konsesi atau keringanan kepada Debitur yang diberikan secara bertahap. Adapun bentuk-bentuk konsesi tersebut antara lain :

1. Perubahan isi perjanjian kredit asal. Biasanya perubahan ini dalam bentuk perubahan jenis mata uang yang digunakan. Jika digunakan klausula single curency loan maka biasany dirubah menjadi multi curency loans . Fasilitas ini diberikan untuk memberikan keringanan jumlah yang harus dibayar oleh Debitur kepada Kreditur dalam bentuk mata uang asing lainya yang mempunyai kurs lebih menguntungkan jika di bandingkan dengan nilai mara uang rupiah.
2. Penurunan tingkat suku bunga dalam hal Interest basis atau Bunga pokok. Misalnya dari 10% diturunkan menjadi 7,5%.
3. Penurunan tingkat suku bunga dalam hal Cost basis, yaitu suku bunga yang ada dalam SIBOR atau LIBOR. Contoh : Bunga LIBOR/SIBOR + Margin 2%,. Dalam hal ini margin sebesar 2% di hapus.
4. Klausula Default Interest besarnya dikurangi sebagian.
5. Klausula Default Interest besarnya dikurangi seluruhnya.
6. Bunga yang telah jatuh tempo di hapus sebagian.
7. Bunga yang telah jatuh tempo di hapus seluruhnya
8. Bunga yang belum jatuh tempo di hapus sebagian.
9. Bunga yang belum jatuh tempo di hapus seluruhnya
10. Hutang pokok dihapus sebagian (hair cut).
11. Resechedulling atas grace periode, yaitu Debitur tidak wajib membayar hutang pokok terlebih dahulu.
12. Resechedulling Installment yaitu penjadwalan kembali pembayaran hutang pokok.
13. Refinancing atau pengalihan hutang, dari satu bank ke bank yang lainya.

Restrukturisasi Hutang biasanya dituangkan dalam bentuk perjanjian. Dalam perjanjian restrukturisasi itulah akan diatur pola-pola restrukturisi hutang Debitur, beserta tata cara pembayarannya. Dalam perjanjian restrukturisasi biasanya akan dicantumkan klausula pengaman yang bertujuan untuk mencegah Debitur kembali wansprestasi atas Perjanjian Restrukturisai. Klausula pengaman tersebut dinamakan "Recapture Clause". Klausula ini berisi pernyataan bahwa konsesi-konsesei yang telah diberikan oleh Kreditur kepada Debitur akan dicabut jika ternyata Debitur melakukan Wanprestasi lagi atas Perjanjian Restrukturisasi tersebut, dan terhadap Debitur akan diberlakukan kembali klausula-klausula seperti yang tertera pada perjanjian kredit awal sebelum restrukturisasi.

Dalam hal setelah dilakukan restrukturisasi hutang, debitur tetap tidak mampu membayar hutangnya, dan ketidak mampuan tersebut bukan karena I’tikad yang buruk, maka biasanya hutang tersebut akan dikonversikan menjadi asset tertentu seperti saham ataupun asset berupa barang lainnya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut dikenal tiga pola penukaran asset yaitu :

1. Debt to Asset Swap (hutang ditukar dengan asset), pola ini berupa pembayaran hutang dengan cara debitur menyerahkan asset-aset yang dimilikinya, diluar asset jaminan kepada kreditur. Dimana nantinya saet-saet tersebut biasanya akan di lelang oleh Kreditur untuk mendapat pelunasan.

2. Debt to Equity Swap (hutang ditukar dengan saham milik perusahaan yang berhutang). Pola ini berupa konversi hutang menjadi saham Debitur, sehingga setelah konversi kreditur akan menjadi pemegang saham debitur.

3. Debt to Quasy Equity Swap (hutang ditukar dengan saham perusahaan lain yang dipunyai oleh Debitur). Pola ini berupa konversi hutang menjadi saham-saham di anak perusahaan atau perusahaan terafiliasi Debitur, sehingga setelah konversi kreditur akan menjadi pemegang saham di anak perusahaan atau perusahaan afiliasi debitur

Minggu, 05 April 2009

Komparasi Risiko Bank Syariah versus Bank Konvensional

Bisnis adalah suatu aktifitas yang selalu berhadapan dengan resiko dan return. Bank syari’ah dan bank konvensional adalah salah satu unit bisnis. Oleh karena itu, bank syari’ah dan bank konvensional juga menghadapi risiko yang ada dalam industri perbankan yaitu risiko pasar, kredit, likuiditas, operasional, hukum, reputasi, strategi dan ekuitas. Komponen risiko pasar dapat di kelompokkan sebagai risiko tingkat suku bunga, risiko nilai tukar dan risiko harga. Namun, karena karakteristik yang spesifik dari transaksi bank syari’ah yang kontrak transaksinya tidak didasarkan tingkat suku bunga, maka risiko perubahan tingkat suku bunga bukan merupakan komponen risiko pasar yang dihadapi bank syari’ah. Oleh karena itu artikel ini akan membahas perbandingan risiko pada bank syariah dengan bank konvensional.

Pada Bab II pasal 4 butir 1 PBI No. 5/8/PBI/2003 disebutkan bahwa risiko-risiko yang terdapat pada perbankan, antara lain :

a. Risiko Kredit (credit risk)

Adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak memenuhi kewajibannya. Pada bank umum, pembiayaan disebut pinjaman, sementara di bank syariah disebut pembiayaan, sedangkan untuk balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam persentase yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada bank syariah, tingkat balas jasa terukur oleh sistem bagi hasil dari usaha. Selain itu, persyaratan pengajuan kredit pada perbankan syariah lebih ketat dari perbankan konvensional sehingga risiko kredit dari perbankan syariah lebih kecil dari perbankan konvensional.

Oleh sebab itu pada sisi kredit, dalam aturan syariah, bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli murabahah.

Mekanisme seperti itu, akan mencegah kemungkinan dana kredit digunakan untuk transaksi spekulasi, atau untuk jual beli valas. Jika terjadi default, bank mudah mendapatkan dananya kembali karena ada aset yang nilainya jelas berupa sejumlah kredit yang dikucurkan. Dalam bank syariah, karakter nasabah (personal garansi) lebih dinomorsatukan, ketimbang cover guarantee berupa aset (Karim, 2003).

Dengan demikian debitor yang dinilai tidak cacat hukum dan kegiatan usahanya berjalan baik akan mendapat prioritas. Oleh sebab itu, risiko bank syariah sebetulnya lebih kecil dibanding bank konvensional. Bank syariah tidak akan mengalami negative spread, karena dari dana yang dikucurkan untuk pembiayaan akan diperoleh pendapatan, bukan bunga seperti di bank biasa.

b. Risiko Pasar

Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar antara lain adalah suku bunga dan nilai tukar. Pada perbankan syariah tidak terdapat risiko pasar dikarenakan perbankan syariah tidak melandaskan operasionalnya berdasar risiko pasar.

c. Risiko Likuiditas

Risiko antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. Bank memiliki dua sumber utama bagi likuiditasnya, yaitu aset dan liabilitas. Apabila bank menahan aset seperti surat-surat berharga yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan dananya, maka resiko likuiditasnya bisa lebih rendah. Sementara menahan aset dalam bentuk surat- surat berharga membatasi pendapatan, karena tidak dapat memperoleh tingkat penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan pembiayaan.

Faktor kuncinya adalah bank tidak dapat leluasa memaksimumkan pendapatan karena adanya desakan kebutuhan likuiditas. Oleh karena itu bank harus memperhatikan jumlah likuiditas yang tepat. Terlalu banyak likuiditas akan mengorbankan tingkat pendapatan dan terlalu sedikit akan berpotensi untuk meminjam dana dengan harga yang tidak dapat diketahui sebelumnya, yang akan berakibat meningkatnya biaya dan akhirnya menurunkan profitabilitas. (Zaenal Arifin, :66)

Pada bank syariah, dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana.

Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko.

d. Resiko Operasional (operational risk)

Menurut definisi Basle Committe, resiko operasional adalah resiko akibat dari kurangnya sistem informasi atau sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak diharapkan. Resiko ini lebih dekat dengan keasalahan manusiawi (human error), adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko operasional .

e. Risiko Hukum

Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau lemahnya perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat sahnya kontrak. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko hukum.

f. Risiko Reputasi

Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko reputasi.

g. Risiko Stratejik

Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko stratejik.

h. Risiko Kepatuhan

Risiko yang disebabkan bank tidak memenuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko kepatuhan.

Minggu, 01 Februari 2009

Hakim Akui Inkonsistensi UU Hak Tanggungan

Hakim Akui Inkonsistensi UU Hak Tanggungan

Pada umumnya hakim berpendapat bahwa eksekusi hak tanggungan harus melalui pengadilan.
Keluhan atas materi Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU Hak Tanggungan) ternyata bukan hanya datang dari akademisi dan perbankan, tetapi juga hakim. Hakim Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, Elang Prakoso, mengakui inkonsistensi tersebut, dan dalam praktik menimbulkan masalah. “(Inkonsistensi) inilah yang menimbulkan persoalan di lapangan,” ujarnya.

Pernyataan itu disampaikan Elang Prakoso saat tampil sebagai pembicara dalam Seminar Nasional “Quo Vadis Eksekusi Hak Tanggungan” di Jakarta, 20 Januari lalu. Seminar ini merupakan kerjasama Pengkajian dan Studi Hukum (LPSH/HILC) dan Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta, dengan hukumonline. Sebelumnya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sahid, St. Laksanto Utomo mengatakan bahwa prosedur eksekusi hak tanggungan menyulitkan.

Kesulitan seperti dilansir Laksanto diamini Prakoso. Salah satu penyebabnya karena materi UU Hak Tanggungan sendiri terkesan saling bertentangan. Berdasarkan pasal 20 UU Hak Tanggungan, pada prinsipnya ada tiga cara eksekusi hak tanggungan. Pertama, eksekusi berdasarkan janji untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri. Kedua, eksekusi berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan. Ketiga, eksekusi melalui penjualan objek hak tanggungan dilaksanakan di bawah tangan berdasarkan ksepakatan yang dibuat antara pembeli dan pemegang hak tanggungan. Dari ketiga cara eksekusi itu, cara pertama yang relatif menimbulkan masalah.

Berdasarkan pasal 6 UU Hak Tanggungan, jika debitur cedera janji atau wanprestasi, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum. Pelunasan piutang diambil dari hasil lelang. Inilah yang lazim disebut parate eksekusi. Rumusan ini berasal dari pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata.

Merujuk rumusan pasal 6, proses eksekusi dilakukan tanpa campur tangan atau melalui pengadilan. Dengan kata lain, tak perlu meminta fiat eksekusi dari ketua pengadilan negeri. Mengapa? “Hak dari pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri adalah hak berdasarkan Undang-Undang”. Jadi, tanpa perjanjian pun, hak itu sudah lahir.

Coba bandingkan dengan ketentuan pasal 11 ayat (2) huruf e UU Hak Tanggungan. Berdasarkan aturan ini, akta pemberian hak tanggungan dapat dicantumkan janji-janji. Misalnya janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek hak tanggungan jika debitur cedera janji. Suatu janji belum ada jika kedua belah pihak belum bersepakat.

Inilah yang dimaksud Elang Prakoso inkonsisten dan dalam praktik bisa membingungkan. Memang, Prakoso yakin sebagian besar ketua pengadilan menganut prinsip eksekusi harus melalui fiat ketua pengadilan –yang berarti mengesampingkan rumusan pasal 6. Tetapi, tetap saja sering timbul hambatan dan persoalan hukum di lapangan. Salah satu penyebab adalah putusan MA No. 3021/K/Pdt/1984 tertanggal 30 Januari 1986 yang menyatakan parate eksekusi yang dilakukan dengan meminta persetujuan ketua pengadilan negeri meskipun didasarkan pasal pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata adalah perbuatan melawan hukum dan lelang yang dilakukan menjadi batal.

Apabila rasio pertimbangan MA dalam putusan tadi diikuti, kata Prakoso, maka fungsi dari janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri ---yang menyangkut hak tanggungan eks pasal 6 jo pasal 11 ayat (2) huruf e UU Hak Tanggungan—menjadi kehilangan makna. Sebab, ciri pokok dari parate eksekusi berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri adalah eksekusi dilakukan tanpa fiat ketua pengadilan. Kalau tetap harus ada fiat, parate eksekusi sama saja dengan eksekusi pada grosse akte hipotik dan surat utang yang mempunya titel eksekutorial.

Untuk menyiasati hal itu, Prakoso memberi solusi. Sebaiknya ketentuan pasal 11 ayat (2) huruf e UU Hak Tanggungan tidak ditujukan kepada pemegang hak tanggungan pertama karena dia sudah diberikan hak oleh Undang-Undang. “Sebaiknya diberikan kepada pemegang hak tanggungan kedua dan seterusnya,” pungkas hak tinggi itu.

Anggota Komisi III DPR, Gayus Lumbuun mengakui telah terjadi pergeseran pengertian parate eksekusi menurut doktrin. Namun pelaksanaan eksekusi objek hak tanggungan yang masih memerlukan fiat ketua pengadilan bukanlah merujuk pada putusan MA tadi, melainkan tersirat dari pasal 26 UU Hak Tanggungan dan penjelasannya. Untuk memberikan kepastian hukum, kata Gayus, pembuat undang-undang tetap harus memperhatikan kepentingan semua pihak. “Asas parate eksekusi yang praktis dan sederhana seperti yang diharapkan oleh kreditor perlu mendapat perhatian. Namun tidak mengabaikan perlindungan hukum terhadap debitor dan pihak-pihak terkait,” ujarnya.
UU No.4/1996 Tentang Hak Tanggungan

Jumat, 30 Januari 2009

Paradigma Bantuan Hukum Sekarang Harus Banting Setir


Oleh: Frans Hendra Winarta *)
[29/1/09]

Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law).

Persamaan di hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan secara statis. Artinya, kalau ada persamaan di hadapan hukum bagi semua orang maka harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang. Jika ada dua orang bersengketa datang ke hadapan hakim, maka mereka harus diperlakukan sama oleh hakim tersebut (audi et alteram partem).

Persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara dinamis ini dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang tanpa memperdulikan latar belakangnya. Menurut Aristoteles, keadilan harus dibagikan oleh negara kepada semua orang, dan hukum yang mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa kecuali. Apakah orang mampu atau fakir miskin, mereka sama untuk memperoleh akses kepada keadilan.

Perolehan pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang sangat mendasar bagi setiap orang dan oleh karena itu merupakan salah satu syarat untuk memperoleh keadilan bagi semua orang (justice for all). Kalau seorang yang mampu mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seorang atau lebih advokat untuk membela kepentingannya. Sebaliknya seorang yang tergolong tidak mampu juga harus memperoleh jaminan untuk meminta pembelaan dari seorang atau lebih pembela umum (public defender) sebagai pekerja di lembaga bantuan hukum (legal aid institute) untuk membela kepentingannya dalam suatu perkara hukum. Tidak adil kiranya bilamana orang yang mampu saja yang dapat memperoleh pembelaan oleh advokat dalam menghadapi masalah hukum. Sedangkan fakir miskin tidak memperoleh pembelaan hanya karena tidak sanggup membayar uang jasa (fee) seorang advokat yang tidak terjangkau oleh mereka. Kalau ini sampai terjadi maka asas persamaan di hadapan hukum tidak tercapai.

Indonesia sebagai negara hukum telah menjamin asas persamaan di hadapan hukum, yaitu dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Persamaan di hadapan hukum tersebut dapat terwujud di dalam suatu pembelaan perkara hukum, dimana baik orang mampu maupun fakir miskin memiliki hak konstitusional untuk diwakili dan dibela oleh advokat atau pembela umum baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Hak untuk dibela advokat atau pembela umum dikatakan sebagai hak konstitusional mengingat ketentuan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini secara ekstensif dapat ditafsirkan bahwa negara bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak fakir miskin. Hak-hak fakir miskin ini meliputi hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob), sipil, dan politik dari fakir miskin. Dengan melihat kembali pada ketentuan dalam Pasal 27 ayat (1) yang dihubungkan dengan Pasal 34 (1) UUD 1945, negara berkewajiban menjamin fakir miskin memperoleh pembelaan baik dari advokat maupun pembela umum melalui suatu program bantuan hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bantuan hukum merupakan hak konstitusional bagi fakir miskin yang harus dijamin perolehannya oleh negara.

Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 adalah sebesar 37,17 juta (16,58 persen). Data statistik fakir miskin tersebut di atas membuktikan bahwa kehadiran organisasi bantuan hukum sebagai institusi yang secara khusus memberikan jasa bantuan hukum bagi fakir miskin sangat penting, agar fakir miskin memperoleh akses yang tepat untuk memperoleh keadilan. Selain itu fakir miskin yang frustrasi dan tidak puas karena tidak memperoleh pembelaan dari organisasi bantuan hukum akan mudah terperangkap dalam suatu gejolak sosial (social upheaval) antara lain melakukan kekerasan, huru-hara, dan pelanggaran hukum sebagaimana dinyatakan Von Briesen sebagai berikut:

Legal aid was vital because it keeps the poor satisfied, because it establishes and protects their rights; it produces better workingmen and better workingwomen, better house servants; it antagonizes the tendency toward communism; it is the best argument against the socialist who cries that the poor have no rights which the rich are bound to respect.”

Keadaan ini tentunya tidak nyaman bagi semua orang karena masih melihat fakir miskin di sekitarnya yang masih frustrasi. Melihat kepada kondisi sekarang, fakir miskin belum dapat memperoleh bantuan hukum secara memadai, walaupun pada tahun 2003 Undang-Undang Advokat telah diundangkan. Undang-Undang Advokat ini memang mengakui bantuan hukum sebagai suatu kewajiban advokat, namun tidak menguraikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan bantuan hukum dan bagaimana memperolehnya. Yang terjadi selama ini adalah adanya kesemrawutan dalam konsep bantuan hukum dalam bentuk ada kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai lembaga bantuan hukum tetapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut fee, yang menyimpang dari konsep pro bono publico yang sebenarnya merupakan kewajiban dari advokat. Selain kantor advokat mengaku sebagai organisasi bantuan hukum juga ada organisasi bantuan hukum yang berpraktik komersial dengan memungut fee untuk pemberian jasa kepada kliennya dan bukan diberikan kepada fakir miskin secara pro bono publico.

Kesemrawutan pemberian bantuan hukum yang terjadi selama ini adalah karena belum adanya konsep bantuan hukum yang jelas. Untuk mengatasi kesemrawutan tersebut maka perlu dibentuk suatu undang-undang bantuan hukum yang mengatur secara jelas, tegas, dan terperinci mengenai apa fungsi bantuan hukum, organisasi bantuan hukum, tata cara untuk memperoleh bantuan hukum, siapa yang memberikan, siapa yang berhak memperoleh bantuan hukum, dan kewajiban negara untuk menyediakan dana bantuan hukum sebagai tanggung jawab konstitusional. Keberadaan undang-undang bantuan hukum digunakan untuk merekayasa masyarakat c.q. fakir miskin agar mengetahui hak-haknya dan mengetahui cara memperoleh bantuan hukum.

Sedangkan pengetahuan fakir miskin akan hak-haknya, khususnya hak asasi manusianya, baru akan diperoleh kalau ada diseminasi dan penyuluhan tentang hak-hak mereka secara masif yang merupakan gerakan nasional yang didanai oleh negara dan masyarakat. Selain itu organisasi bantuan hukum harus menyediakan upaya-upaya untuk memberdayakan masyarakat seperti penyuluhan hukum, konsultasi hukum, pengendalian konflik dengan pembelaan nyata dalam praktik di pengadilan, dan berpartisipasi dalam pembangunan dan reformasi hukum serta pembentukan hukum yaitu salah satunya dengan memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, dan jelas.

Sebelum era reformasi konsep bantuan hukum ditekankan pada konteks perlawanan fakir miskin terhadap tindakan-tindakan pemerintah yang menindas. Hal ini tampak dari beberapa kasus yang ditangani oleh YLBHI seperti kasus Kedung Ombo, Marsinah, Tanjung Priok, dan Talangsari. Namun demikian dalam pemerintahan era reformasi yang lebih menghargai hak asasi manusia dan demokrasi, gerakan bantuan hukum harus mengubah paradigmanya dari konsep bantuan hukum yang menempatkan organisasi bantuan hukum berseberangan dengan pemerintah menjadi menempatkan negara sebagai mitra organisasi bantuan hukum dalam rangka program pengentasan kemiskinan.

Pemberian bantuan hukum bagi fakir miskin tidak dapat diberikan secara parsial dan sporadis tetapi harus diberikan secara masif dan mengajak negara c.q. pemerintah serta semua unsur masyarakat untuk memperkenalkan dan mendorong bantuan hukum kepada fakir miskin baik yang berada di kota-kota maupun desa-desa. Bantuan hukum responsif memberikan bantuan hukum kepada fakir miskin dalam semua bidang hukum dan semua jenis hak asasi manusia secara cuma-cuma dengan mengajak peran serta masyarakat dan pemerintah sebagai mitra kerja. Peran serta pemerintah ini dapat terwujud dengan memasukkan program bantuan hukum ke dalam program pengentasan kemiskinan melalui pembentukan undang-undang bantuan hukum, dan penyediaan dana bantuan hukum dalam APBN yang diatur dalam undang-undang bantuan hukum.

Selain itu dalam pemberian bantuan hukum, walaupun pembelaan dilakukan untuk semua bidang hukum dan semua jenis hak asasi manusia, akan tetapi dalam praktik sehari-hari terjadi seleksi alam dimana pembelaan dilakukan menurut bidang keahlian dari masing-masing organisasi bantuan hukum, misalnya organisasi bantuan hukum yang memberikan bantuan hukum dalam bidang hukum perdata, atau hukum pidana, atau hukum tata usaha negara, atau bidang hukum lainnya. Suatu organisasi bantuan hukum tidak boleh menolak untuk memberikan bantuan hukum dalam suatu bidang hukum tertentu dan kalau tidak mempunyai keahlian dalam bidang hukum tersebut, maka perkara tersebut dapat dilimpahkan atau bekerjasama dengan organisasi bantuan hukum yang lain.

Begitu juga kalau ada pelanggaran hak asasi manusia, organisasi bantuan hukum diwajibkan membela tanpa membedakan jenis hak asasi manusia yang dilanggar. Ini disebabkan karakteristik dari hak asasi manusia itu sendiri yang bersifat non derogable atau inalienable. Sebagaimana hak politik tidaklah lebih penting dari hak ekonomi, karena dalam konsep hak asasi manusia apabila salah satu hak asasi manusia diabaikan maka semua hak asasi manusia secara keseluruhan diabaikan. Dalam pembelaan hak terhadap fakir miskin tidak boleh dibedakan apakah yang dilanggar itu hak kolektif atau hak individu dari fakir miskin, karena kedua hak tersebut sama pentingnya. Namun demikian secara operasional dimungkinkan suatu organisasi bantuan hukum memfokuskan pelayanan pada suatu bidang tertentu karena kapasitas.

Kalau ada organisasi bantuan hukum bergerak dalam bidang hukum dan hak asasi manusia tertentu, itu adalah karena kompetensi dan prioritas, selain karena adanya kebutuhan setempat. Sebagai contoh, organisasi bantuan hukum Jawa Tengah akan memprioritaskan kepada pembelaan tenaga kerja di Jawa Tengah yang tidak memperoleh perlindungan pembelaan dalam bidang hukum ketenagakerjaan dan pelanggaran hak asasi manusia berupa perlakuan yang tidak manusiawi dan kondisi kerja yang tidak layak, organisasi bantuan hukum di Jawa Barat lebih memprioritaskan kepada pembelaan dalam bidang hukum agraria khususnya hukum tanah adat dan pelanggaran dalam bidang hak asasi manusia berupa hak untuk memperoleh perlindungan atas harta benda.

Diharapkan konsep bantuan hukum responsif ini dapat memperluas jangkauan pemberian bantuan hukum bagi fakir miskin dengan menjadikannya sebagai gerakan nasional agar fakir miskin mengetahui dan dapat menuntut hak-haknya. Dalam melaksanakan gerakan nasional bantuan hukum yang diprakarsai oleh federasi bantuan hukum, perlu dimasukkan suatu program pendidikan dan pencerahan tentang apa itu bantuan hukum, mengapa ada bantuan hukum, untuk siapa bantuan hukum itu disediakan, dan bagaimana memperoleh bantuan hukum. Tanpa dilakukan secara masif program bantuan hukum tidak akan mencapai sasaran.

Program bantuan hukum yang dilaksanakan dengan melibatkan peran serta pemerintah dan masyarakat, diharapkan dapat dijadikan suatu gerakan nasional. Pemberdayaan fakir miskin ini yang dilakukan secara masif diharapkan dapat mencapai sasarannya agar fakir miskin tahu akan hak-haknya, dan diharapkan akan mengangkat harkat dan martabatnya serta kedudukan sosial ekonominya. Oleh karena itu paradigma bantuan hukum sekarang harus menyesuaikan diri atau banting setir agar sesuai dengan situasi dan kondisi sekarang. Pada gilirannya keadilan itu akan berlaku bagi semua orang tanpa membeda-bedakan asal usul dan latar belakangnya.

--------

*) Jakarta, 23 Januari 2009. Penulis adalah Advokat pada Kantor Hukum Frans Winarta & Partners dan Ketua Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia.

()

Pemerintah Terbitkan PP Bantuan Hukum Cuma-Cuma
[19/1/09]

Mekanisme untuk menentukan pencari keadilan yang berhak harus jelas. Jika tidak, orang berpunya pun bisa memanfaatkan bantuan hukum cuma-cuma.

Ini kabar baik bagi para pencari keadilan. Mereka yang tidak punya uang untuk membayar advokat, kini bisa mengurus perkaranya dengan didampingi seorang advokat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. PP ini malah sudah diberi nomor 83 Tahun 2008.

PP ini merupakan amanat dari pasal 22 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal ini mewajibkan advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu. Pemberian bantuan hukum itu bukan merupakan belas kasihan, tetapi lebih merupakan penghargaan terhadap hak asasi manusia dalam mewujudkan keadilan dalam masyarakat.

Lingkup bantuan hukum cuma-cuma bukan hanya yang diberikan pada setiap tingkat persidangan. Berdasarkan pasal 3 ayat (2) PP, bantuan hukum bisa juga meliputi pemberian jasa hukum di luar pengadilan. Pencari keadilan bisa berupa perseorangan, bisa juga beramai-ramai . Pasal 5 PP menyebutkan: “Permohonan bantuan hukum secara cuma-cuma dapat diajukan bersama-sama oleh beberapa pencari keadilan yang mempunyai kepentingan yang sama terhadap persoalan hukum yang bersangkutan”.

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia Denny Kailimang menyambut antusias PP ini. “Kita akan segera kerjasama dengan lembaga-lembaga bantuan dan perguruan tinggi,” ujarnya.

Organisasi Advokat dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) adalah tempat pencari keadilan mengajukan permohonan bantuan hukum cuma-cuma. Permohonan disampaikan secara tertulis berisi identitas dan uraian singkat pokok persoalan yang dimohonkan bantuan hukum. Kalau pencari keadilan tidak bisa menulis, permohonan dapat diajukan secara lisan. Keterangan lisan tersebut lalu dituangkan ke dalam bentuk tertulis oleh advokat atau petugas organisasi advokat atau LBH.

Selain menegaskan kewajiban advokat memberikan bantuan hukum probono, PP ini mengharuskan organisasi advokat/LBH menyediakan atau membentuk unit kerja khusus yang menangani bantuan hukum cuma-cuma. Menurut Denny, keharusan itu tidak menyulitkan karena pada dasarnya sudah ada kewajiban probono bagi seorang advokat sesuai amanat UU No. 18/2003. Perhimpunan Advokat Indonesia siap melaksanakan amanat itu hingga ke daerah-daerah.

Dalam catatan akhir tahun 2008, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai peradilan yang fair dan tidak memihak sudah mengalami kemajuan tetapi dalam beberapa masih terkendala. Salah satu faktor karena masih belum cukup terimplementasinya kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma sebagai mandat dari UU Advokat.

Berdasarkan penilaian YLBHI, organisasi advokat yang ada saat ini pun belum menunjukkan menciptakan program-program yang konkrit untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat yang tidak mampu. Kini, PP yang mengatur tata cara pemberian bantuan hukum cuma-cuma sudah lahir. Tinggal bagaimana organisasi advokat, LBH dan pencari keadilan mengimplementasikannya.

Direktur LBH Jakarta Asfinawati mengatakan bahwa selama ini LBH sudah berada pada tugas bantuan hukum cuma-cuma. Ia justru mengkritik PP ini karena seolah memperkecil lingkup bantuan hukum. Idealnya, bantuan hukum dibentuk lewat undang-undang, dan dimasukkan ke dalam bagian undang-undang peradilan semisal KUHAP dan UU Kekuasaan Kehakiman. “Bantuan hukum harusnya menjadi spirit dalam peraturan perundang-undangan bidang peradilan,” ujarnya.

(Mys)

Mekanisme Penentuan Penerima Bantuan Hukum Probono Harus Jelas
[20/1/09]

Berdasarkan PP, pencari keadilan yang berhak mendapat bantuan hukum cuma-cuma adalah orang yang tidak mampu secara ekonomis. Praktiknya, LBH menerima klien yang tidak mampu secara politik atau miskin akses terhadap peradilan.

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Beleid yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada penghujung tahun 2008 itu mendorong advokat, organisasi advokat, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk memberikan bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu.

Namun, anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Frans Hendra Winarta berpendapat PP No. 83/2008 mestinya tidak melupakan esensi dasar pemberian bantuan hukum cuma-cuma atau probono, yaitu orang miskin atau kaum dhuafa. Mestinya, mekanisme penentuan penerima bantuan hukum probono, misalnya siapa yang masuk kategori tidak miskin, diperjelas.

PP 83 menggunakan istilah Pencari Keadilan yang Tidak Mampu. Yang masuk kategori ini adalah perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum advokat untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum.

Frans Hendra Winarta pernah menulis disertasi tentang “Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional” pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (2007). Dalam disertasinya, Frans antara lain menyimpulkan bahwa implementasi hak konstitusional fakir miskin untuk memperoleh bantuan hukum dalam praktik peradilan selama ini belum memperlihatkan kemajuan yang berarti. Secara umum, bantuan hukum belum dapat dijangkau oleh fakir miskin, baik di kota maupun di kawasan pedesaan.

Menurut Frans, bantuan hukum probono harus tepat sasaran. Karena itu perlu ada mekanisme untuk memastikan seseorang ‘tidak mampu’ sehingga berhak mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma. Jangan sampai terjadi penyelundupan, dimana orang mampu pura-pura menjadi orang tak mampu untuk mendapatkan bantuan hukum gratis. “Harus dipastikan untuk orang yang dhuafa, orang yang miskin. Nggak boleh untuk orang yang tidak miskin. Itu harus dipastikan dulu,” tandas Frans.

Direktur LBH Jakarta Asfinawati sepakat bahwa bantuan hukum probono diberikan kepada orang tak mampu. Namun, dalam praktiknya selama ini, LBH tak melulu memberikan bantuan kepada mereka yang miskin secara ekonomi. Ada kalanya bantuan hukum diberikan kepada orang yang ‘miskin’ akses politik seperti yang pernah dialami Sri Bintang Pamungkas. Bisa juga bantuan hukum diberikan mereka yang miskin akses terhadap keadilan dan peradilan seperti para pedagang pasar yang digusur Pemda DKI Jakarta.

Advokat senior Denny Kailimang meyakini bahwa organisasi advokat akan mampu menjalankan amanat PP untuk memberikan bantuan hukum probono kepada kalangan tidak mampu. Organisasi advokat segera menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada.

Sebaliknya, Frans Hendra Winarta masih meragukan kemampuan organisasi advokat dan LBH untuk memverifikasi dan memastikan seorang atau beberapa pencari keadilan masuk kategori tidak mampu atau bukan. Ia menyarankan sebaiknya ada peran RT, RW, Lurah atau Camat setempat. “Karena mereka yang lebih dekat dan tahu (tentang pencari keadilan –red),” ujarnya.

(Mys)

Mekanisme Penentuan Penerima Bantuan Hukum Probono Harus Jelas
[20/1/09]

Berdasarkan PP, pencari keadilan yang berhak mendapat bantuan hukum cuma-cuma adalah orang yang tidak mampu secara ekonomis. Praktiknya, LBH menerima klien yang tidak mampu secara politik atau miskin akses terhadap peradilan.

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Beleid yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada penghujung tahun 2008 itu mendorong advokat, organisasi advokat, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk memberikan bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu.

Namun, anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Frans Hendra Winarta berpendapat PP No. 83/2008 mestinya tidak melupakan esensi dasar pemberian bantuan hukum cuma-cuma atau probono, yaitu orang miskin atau kaum dhuafa. Mestinya, mekanisme penentuan penerima bantuan hukum probono, misalnya siapa yang masuk kategori tidak miskin, diperjelas.

PP 83 menggunakan istilah Pencari Keadilan yang Tidak Mampu. Yang masuk kategori ini adalah perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum advokat untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum.

Frans Hendra Winarta pernah menulis disertasi tentang “Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional” pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (2007). Dalam disertasinya, Frans antara lain menyimpulkan bahwa implementasi hak konstitusional fakir miskin untuk memperoleh bantuan hukum dalam praktik peradilan selama ini belum memperlihatkan kemajuan yang berarti. Secara umum, bantuan hukum belum dapat dijangkau oleh fakir miskin, baik di kota maupun di kawasan pedesaan.

Menurut Frans, bantuan hukum probono harus tepat sasaran. Karena itu perlu ada mekanisme untuk memastikan seseorang ‘tidak mampu’ sehingga berhak mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma. Jangan sampai terjadi penyelundupan, dimana orang mampu pura-pura menjadi orang tak mampu untuk mendapatkan bantuan hukum gratis. “Harus dipastikan untuk orang yang dhuafa, orang yang miskin. Nggak boleh untuk orang yang tidak miskin. Itu harus dipastikan dulu,” tandas Frans.

Direktur LBH Jakarta Asfinawati sepakat bahwa bantuan hukum probono diberikan kepada orang tak mampu. Namun, dalam praktiknya selama ini, LBH tak melulu memberikan bantuan kepada mereka yang miskin secara ekonomi. Ada kalanya bantuan hukum diberikan kepada orang yang ‘miskin’ akses politik seperti yang pernah dialami Sri Bintang Pamungkas. Bisa juga bantuan hukum diberikan mereka yang miskin akses terhadap keadilan dan peradilan seperti para pedagang pasar yang digusur Pemda DKI Jakarta.

Advokat senior Denny Kailimang meyakini bahwa organisasi advokat akan mampu menjalankan amanat PP untuk memberikan bantuan hukum probono kepada kalangan tidak mampu. Organisasi advokat segera menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada.

Sebaliknya, Frans Hendra Winarta masih meragukan kemampuan organisasi advokat dan LBH untuk memverifikasi dan memastikan seorang atau beberapa pencari keadilan masuk kategori tidak mampu atau bukan. Ia menyarankan sebaiknya ada peran RT, RW, Lurah atau Camat setempat. “Karena mereka yang lebih dekat dan tahu (tentang pencari keadilan –red),” ujarnya.

(Mys)