Dalam beberapa kesempatan, akhir-akhir ini kita sering mendengar kata “kolegial”, tanggung jawab “kolegial”, kebijakan yang diputuskan secara “kolegial” di media massa.
Apakah asas kolegial itu?
Secara mudah dapat dimengerti dengan membaca uraian berikut ini, namun dengan menggunakan permisalan sebuah perseroan terbatas. Perlu dipahami terlebih dahulu mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam kacamata hukum bisnis khususnya mengenai tanggung jawab direksi.
Direksi adalah lembaga atau organ Perseroan. Sedangkan individunya adalah direktur. Walaupun dalam struktur terbagi dalam direktur utama, direktur 1, direktur 2, direktur keuangan, direktur kepatuhan, tetapi sebagai lembaga yang merupakan organ Perseroan Terbatas [PT] adalah Direksi. Tanggung jawab direksi adalah kolegial yaitu tanggung jawab yang berimbas kepada tanggung jawab tanggung renteng.
Tanggung jawab tanggung renteng adalah tanggung jawab bersama antar anggota direksi sampai ke harta pribadi, apabila melakukan penyalahgunaan wewenang yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tentu saja sebagai penyeimbang, tanggung jawab kolegial diimbangi dengan adanya tanggung jawab residual.
Tanggung jawab kolegial contohnya adalah sebagai berikut: Dalam satu PT. terdapat organ direksi yang strukturnya terdiri dari Direktur Utama, Direktur 1 dan Direktur 2 dan Direktur Keuangan.
Bila suatu ketika Dirut melakukan sesuatu dengan pihak ketiga, sedangkan direktur 1 dan direktur 2, dan direktur keuangan tidak melakukan sesuatu [berhubungan hukum dengan pihak ketiga], apapun hubungan hukumnya. Bisa perjanjian kredit, pengadaan barang dan lain sebagainya. Diilustrasikan justru pihak ketiga yang mengalami kerugian. Kemudian pihak ketiga akan menuntut kepada PT. selaku badan hukum, dan berhak bertemu dengan anggota direksi manapun.
Yang semula berhubungan hukum adalah dengan direktur utama, lalu direktur utama tersebut tidak ada, maka pihak ketiga dapat berhubungan dengan direktur 1 atau direktur 2 dan dalam rangka tanggung jawab kolegial direktur 1 dan direktur 2 tidak boleh menolak pihak ketiga yang datang dan memiliki hubungan hukum dengan PT. tersebut.
Tanggung jawab residual contohnya adalah: Bahwa apabila direktur 1 yang dahulu tidak setuju atas perbuatan hukum direktur utama yang atas nama PT tadi melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga, secara internal direktur 1 dapat melepaskan tanggung jawab.
Namun, secara ekternal dengan pihak ketiga tetap tidak dapat beralasan demikian.
Bagaimana?
Antara Asas Kolegial dan Vicarious Liability
Penanganan kasus dugaan tindak pidana di bidang perbankan (tipibank) dalam suatu bank yang berbentuk badan hukum berupa Perseroan Terbatas (PT), perlu dipahami oleh penegak hukum mengenai kewenangan dan tanggung jawab masing-masing organ PT, sehingga batasan tanggung jawab di dalam suatu perbuatan hukum yang memenuhi unsur tipibank dapat dipahami secara tepat dan memudahkan di dalam menentukan para pelaku dugaan tipibank.
Ada perbedaan pandangan para penegak hukum terkait penerapan hukum di dalam penanganan suatu kasus, misalnya dalam hal perbuatan hukum yang dilakukan oleh direksi, dengan beberapa direktur di dalamnya, asas dalam hukum pidana yang menyatakan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya akan kontradiktif dengan asas kolegial dalam hukum perusahaan yang termaktub dalam UU No.40. tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Bagi ahli hukum pidana kecenderungan bahwa hanya pelaku yang secara langsung melakukan “kesalahan” yang akan dipidana dan tidak dapat dialihkan atau dibebankan kepada orang lain. Sedangkan dalam hukum perusahaan, secara jelas dan tegas, setiap pihak memiliki kewenangan dan tanggung jawab masing-masing, sehingga dapat dimungkinkan bahwa karena kewenangannya, suatu pihak, misalnya direksi, harus bertanggung jawab atas nama PT. dalam suatu perbuatan hukum yang telah dilakukan.
Berkembangnya wacana pemberlakuan vicarious liability yang menjadi perhatian sekaligus kekuatiran praktisi perbankan, merupakan kajian menarik dan penting dalam penanganan kasus tipibank. Doktrin yang diadopsi dari common law tersebut menyatakan bahwa
“Korporasi/ perusahaan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawai-pegawainya, agen/perantara atau pihak lain yang menjadi tanggung jawab korporasi. Dengan kesalahan yang dilakukan oleh salah satu individu tersebut, kesalahan itu secara otomatis diatribusikan kepada korporasi. Dalam hal ini korporasi dapat dipersalahkan meskipun tindakan yang dialakukan tersebut tidak disadari atau tidak dapat dikontrol (Prof. Dr. Bismar Nasution, “Kejahatan Korporasi dan pertanggungjawabannya”-2006).
Hal tersebut berarti bahwa pemidanaan tidak selalu didasarkan kepada adanya unsur kesalahan, yang berbeda dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”.
Pandangan sebagian besar penegak hukum mengenai asas “Ambelijk bevel” atau perintah jabatan yang termaktub dalam Ps. 51 ayat 1 KUHP, sering digunakan untuk mengintepretasikan perbuatan hukum para pegawai bank yang turut melakukan tipibank atas “tekanan dan paksaan” atasan.
Walaupun sesungguhnya asas tersebut digunakan dalam “perintah untuk melaksanakan suatu peraturan hukum perundang-undangan/ wettelijk voorschrift“, bagi pejabat publik. (Prof. Wirjono Prodjodikoro, “Asas-asas hukum pidana di Indonesia”-1967). Namun, pada umumnya dengan penerapan asas tersebut kurang tepat kiranya di dalam penanganan kasus dugaan tipibank yang dilakukan pada bank umum dan BPR.
Atas beberapa hal yang telah dikemukakan tersebut di atas mengenai adanya perbedaan pandangan, kontradiksi antara penerapan lapanagan hukum pidana dan keperdataan merupakan topik bahasan yang menarik dan perlu dikaji, demi kemajuan yurisprudensi dan ilmu pengetahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar