Materi

Referensi

Minggu, 08 November 2009

Dosa Pemerintah dalam Kasus Century


Satu-satunya bank yang menikmati Perpu JPSK hanya Bank Century.

Bom waktu itu akhirnya meledak juga. Ya, kasus Bank Century meledak di penghujung masa bakti periode Kabinet Indonesia Bersatu. Jelas kasus ini mencoreng citra kabinet yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono. Ada yang mengatakan kasus ini sebagai BLBI jilid dua, ada juga yang mengatakan mirip dengan kasus cessie Bank Bali.

Terlepas dari itu, kasus ini tentu menjadi cobaan berat buat Sri Mulyani Indrawati di kala puasa masih di pertengahan bulan Ramadhan. Menteri Keuangan itu dianggap orang yang paling bertanggung jawab dalam penggelontoran dana triliunan rupiah ke bank yang pernah dimiliki oleh dinasti Tantular lewat sejumlah perusahaan. Sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di kala itu, Sri Mulyani didaulat sebagai orang terakhir yang menentukan, apakah sebuah bank berdampak sistemik atau tidak, atau apakah bank itu perlu diselamatkan atau dibiarkan kolaps.

Akhirnya, lewat rapat KSSK yang melelahkan, Bank Century dinyatakan sebagai bank gagal yang bisa berdampak sistemik. Opsinya, bank itu harus diselamatkan. Dana pun digelontorkan. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ditunjuk sebagai pihak yang mengambilalih hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk mengganti direksi dan komisaris Bank Century.

Skema penyelamatan pun mulai dirancang. Di sinilah Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) mulai beraksi tepatnya 15 Oktober 2008, selain Peraturan Bank Indonesia No. 10/31/PBI/2008 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat Bagi Bank Umum—pelaksana Perpu JPSK, dan UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS.

Jika ditelusuri Perpu JPSK, ada yang janggal dalam pengambilalihan wewenang RUPS ini. Berdasarkan Pasal 12 a Perpu JPSK, seharusnya yang mengambilalih hak dan kewenangan RUPS adalah Bank Indonesia (BI) sendiri. Namun kenyataannya, LPS lah yang justru bertindak atas arahan Menkeu selaku ketua KSSK. Bisa jadi, BI ingin bermain cantik. Mereka seakan tidak mau disalahkan seperti kasus BLBI, kalau di belakang hari kasus Century meledak. Padahal Perpu JPSK maupun PBI No. 10 memberi ruang aman bagi pejabat bank sentral tersebut untuk bertindak.

Namun, apa mau dikata, keterlibatan Bank Indonesia yang ketika itu dipimpin Boediono, tak bisa lepas dari kasus penggelontoran dana ini. BI justru dianggap sebagai pihak yang memberi ’rekomendasi’ kepada Menkeu supaya Bank Century diselamatkan. Lihat saja pernyataan Sri Mulyani berikut ini. BI mengatakan kondisi Bank Century kritis. "Ada banyak saksi mata. Saya tidak tahu tentang Bank Century, makanya saya minta dikirimi empat lembar, kemudian ada diskusi," kata Sri Mulyani.

Pada tanggal 13 November 2008 Sri Mulyani memang sedang berada di Amerika untuk pertemuan G-20 mendampingi Presiden. Makanya, korespondensi dilakukan lewat teleconference dengan Boediono. Hasil teleconference itu dilaporkan ke Presiden. "Laporan ke Presiden ada satu bank yang bleeding, dan Gubernur BI sudah konsultasi dengan kami, sudah dijelaskan ke dewan," katanya. Usai pertemuan, Sri Mulyani langsung bergegas kembali ke Indonesia, sedangkan Presiden melanjutkan lawatannya ke Brazil.

Lantas, kemana Menkeu harus melapor jika kondisi perbankan makin memburuk sementara Presiden sedang tidak ada di Indonesia? ”Tentu saja ada wakil Presiden,” ujar Sri Mulyani. Pernyataan itu membuat kebingungan di masyarakat. Sebab Wapres Jusuf Kalla mengaku tidak tahu-menahu soal bailout ke Bank Century. Pasal 9 Perpu JPSK tegas mengingatkan, KSSK menyampaikan laporan mengenai pencegahan dan penanganan krisis kepada Presiden. Seharusnya, jika Presiden tidak ada di tempat, tugas kepresidenan dikendalikan oleh wakil presiden lewat Keputusan Presiden.

Entah, apakah ini dosa Bu Ani—Sri Mulyani begitu dia disapa—Bank Indonesia atau hanya masalah miskoordinasi atau transparansi belaka. Yang jelas, Sri Mulyani cukup dilindungi peraturan dalam menyelamatkan Century. Bahkan dia berkeras bahwa dirinya sudah diamanatkan untuk menyelamatkan kondisi Bank Century.

Ya, Century memang ketiban rezeki dari krisis ekonomi yang melanda dunia termasuk dampaknya yang dirasakan oleh Negeri ini. Soalnya, bank hasil peleburan dua bank yang pernah kolaps di tahun 2003—PT Bank Danpac dan PT Bank Pikko ke dalam PT Bank CIC Internasional Tbk—ini, satu-satunya bank yang ’menikmati’ Perpu JPSK. Kabar miring pun berhembus di sejumlah anggota dewan. Perpu ini dianggap sengaja dibuat untuk Bank Century. Kabar itu tentu jangan dipercaya seratus bahkan seribu persen, perlu dibuktikan kebenarannya.

Century Begitu Istimewa
Tapi, lagi-lagi pertanyaannya adalah, mengapa Century begitu istimewa sehingga harus diselamatkan dua kali—saat ini dan masalah surat berharga tahun 2003? Bahkan, walaupun surat pernyataan sanggup (letter of commitment) beberapa kali dilanggar oleh pemegang saham—ketika bank itu mulai mengalami kesulitan likuiditas—Bank Indonesia tetap saja memberikan fasilitas pendanaan jangka pendek buat bank yang berkantor pusat di kawasan Plaza Senayan tersebut.

Buktinya, lihat saja kronologis dakwaan lapis ketiga Jaksa Penuntut Umum dalam kasus pidana perbankan Robert Tantular. Dakwaan ini juga yang dikabulkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam menjerat Robert Tantular ke bui. Diceritakan Jaksa, Robert bersama dengan Rafat Ali Rizfi dan Hesyam Al Waraq (pemegang saham pengendali Bank Century yang statusnya buron) melanggar surat pernyataan kesanggupan tanggal 15 Oktober 2008 dan 16 November 2008.

Letter of commitment 15 Oktober 2008 dibuat lantaran BI menilai surat berharga Bank Century senilai AS$203,4 juta bermasalah. Surat itu dikeluarkan dari perusahaan penerbit di luar negeri, di antaranya JP Morgan Luxembourg Banking Amerika Serikat, Nomura Bank Int'l Plc, London dan First Gulf Asia Holding. BI menilai surat berharga itu tergolong macet karena tidak memiliki rating. BI berkali-kali mengirimkan surat teguran ke Bank Century agar menjual surat berharga itu.

Berdasarkan letter of commitment itu, Bank Century berjanji untuk membayar surat berharga yang jatuh tempo dan menambah modal bank atau mencari investor baru untuk menyelesaikan permasalahan bank paling lambat 31 Maret 2009. Namun Robert, Hesyam dan Rafat tak bisa menepati janjinya sehingga Bank Century tidak bisa memenuhi kewajibannya pada nasabah. Selain itu prosentase giro wajib minimum (GWM) Bank Century berada di bawah yang ditetapkan BI. Dalam Peraturan BI tentang GWM, bank harus memenuhi GWM minimal lima persen dari jumlah dana pihak ketiga (nasabah).

Century makin kesulitan likuiditas. BI lantas memberikan fasilitas pendanaan jangka pendek sebesar Rp502 miliar pada 14 November 2008. BI lalu meminta Robert, Hesyam dan Rafat menepati komitmennya yang dituangkan dalam letter of commitment pada 16 November 2008. Surat itu antara lain berisi komitmen untuk memindahkan surat berharga Bank Century ke bank kustodian di Indonesia, mengembalikan hasil pembayaran surat berharga yang jatuh tempo dan tidak akan menjaminkan surat berharga ke pihak lain.

Parahnya, letter of commitment lagi-lagi tak ditepati. BI kembali mengucurkan fasilitas pendanaan jangka pendek sebesar Rp187 miliar pada 18 November 2008. Kondisi Bank Century makin memburuk. Pada 21 November 2008 penanganan Bank Century diserahkan ke LPS. Dana lalu mengalir deras ke Century. Empat kali dana dikucurkan oleh LPS. Yakni pada 23 Nov 2008 sebesar Rp2,776 triliun, 5 Desember 2008 (Rp2,201 triliun), 3 Februari 2009 (Rp1,155 triliun), dan 21 Juli 2009 (Rp630 miliar). Yang menjadi permasalahan adalah dua pengucuran dana terakhir dilakukan setelah Perpu JPSK ditolak menjadi Undang-Undang oleh DPR pada 18 Desember 2008. Artinya, legalitas terhadap pengucuran dana yang totalnya mencapai Rp1,785 triliun, patut dipertanyakan.

Apalagi, pemerintah mengucurkan dana itu tanpa permisi ke anggota dewan. Jikapun diamini, jumlah yang disepakati cuma Rp1,3 triliun, nyatanya membengkak menjadi Rp6,7 triliun. Kalau saja pemerintah, sowan lebih dulu DPR, mungkin ceritanya lain. Memang, di Perpu JPSK, pemerintah tak perlu meminta izin ke DPR ketika ingin mem-bailout ke sebuah bank. Tapi, ini bukan uang kecil, Bu Ani! Jumlah Rp6,7 triliun tentu bisa membangun ribuan rumah masyarakat yang tidur beratapkan langit berlasakan tikar. Atau paling tidak menyekolahkan ribuan anak-anak jalanan.

Lagi-lagi, Negeri ini dianggap sebagai surganya para deposan besar yang jumlahnya minoritas di Negeri ini. Rumor ini juga yang menyeruak di kalangan media. Diduga, penyelamatan Bank Century ada kaitannya dengan simpanan nasabah dalam jumlah besar di beberapa bank, termasuk di Bank Century. Ingat kasus BLBI? Ratusan triliun uang negara ludes entah kemana? Pejabat BI waktu itu bilang, jika BLBI tidak dikucurkan, mungkin saat ini sudah tidak ada lagi bank di Indonesia. Alasan itu kini kembali menyeruak. BI mengungkapkan biaya penyelamatan perbankan akan jauh lebih besar jika Bank Century ditutup pada saat krisis. Diperkirakan negara harus menanggung beban Rp30 triliun.

Sri Mulyani bahkan menegaskan bailout terhadap Century adalah langkah yang tepat untuk mengamankan kondisi perbankan dan perekonomian nasional. Dia mencontohkan, kasus Lehman Brother yang terjadi di Amerika Serikat. Ketika Lehman Brothers terpuruk, dalam sehari semuanya runtuh. ”Harga saham anjlok, pasar uang rontok, siapa yang tahu? Dan begitu kejadian, semua baru menyesali, coba kalau waktu itu (Lehman Brother) di-bailout," bela Sri Mulyani.

Namun, benarkah pembelaan Menkeu dan BI itu? Walahu'alam bishawa. Sebab seperti dikatakan pengamat ekonomi Aviliani, tak ada satu orang pun yang tahu kondisi sistemik akan berdampak seperti apa.
(hukumonline)

1 komentar:

Awang Long mengatakan...

century.. oh century ...