Materi

Referensi

Jumat, 30 Januari 2009

Paradigma Bantuan Hukum Sekarang Harus Banting Setir


Oleh: Frans Hendra Winarta *)
[29/1/09]

Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law).

Persamaan di hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan secara statis. Artinya, kalau ada persamaan di hadapan hukum bagi semua orang maka harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang. Jika ada dua orang bersengketa datang ke hadapan hakim, maka mereka harus diperlakukan sama oleh hakim tersebut (audi et alteram partem).

Persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara dinamis ini dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang tanpa memperdulikan latar belakangnya. Menurut Aristoteles, keadilan harus dibagikan oleh negara kepada semua orang, dan hukum yang mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa kecuali. Apakah orang mampu atau fakir miskin, mereka sama untuk memperoleh akses kepada keadilan.

Perolehan pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang sangat mendasar bagi setiap orang dan oleh karena itu merupakan salah satu syarat untuk memperoleh keadilan bagi semua orang (justice for all). Kalau seorang yang mampu mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seorang atau lebih advokat untuk membela kepentingannya. Sebaliknya seorang yang tergolong tidak mampu juga harus memperoleh jaminan untuk meminta pembelaan dari seorang atau lebih pembela umum (public defender) sebagai pekerja di lembaga bantuan hukum (legal aid institute) untuk membela kepentingannya dalam suatu perkara hukum. Tidak adil kiranya bilamana orang yang mampu saja yang dapat memperoleh pembelaan oleh advokat dalam menghadapi masalah hukum. Sedangkan fakir miskin tidak memperoleh pembelaan hanya karena tidak sanggup membayar uang jasa (fee) seorang advokat yang tidak terjangkau oleh mereka. Kalau ini sampai terjadi maka asas persamaan di hadapan hukum tidak tercapai.

Indonesia sebagai negara hukum telah menjamin asas persamaan di hadapan hukum, yaitu dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Persamaan di hadapan hukum tersebut dapat terwujud di dalam suatu pembelaan perkara hukum, dimana baik orang mampu maupun fakir miskin memiliki hak konstitusional untuk diwakili dan dibela oleh advokat atau pembela umum baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Hak untuk dibela advokat atau pembela umum dikatakan sebagai hak konstitusional mengingat ketentuan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini secara ekstensif dapat ditafsirkan bahwa negara bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak fakir miskin. Hak-hak fakir miskin ini meliputi hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob), sipil, dan politik dari fakir miskin. Dengan melihat kembali pada ketentuan dalam Pasal 27 ayat (1) yang dihubungkan dengan Pasal 34 (1) UUD 1945, negara berkewajiban menjamin fakir miskin memperoleh pembelaan baik dari advokat maupun pembela umum melalui suatu program bantuan hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bantuan hukum merupakan hak konstitusional bagi fakir miskin yang harus dijamin perolehannya oleh negara.

Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 adalah sebesar 37,17 juta (16,58 persen). Data statistik fakir miskin tersebut di atas membuktikan bahwa kehadiran organisasi bantuan hukum sebagai institusi yang secara khusus memberikan jasa bantuan hukum bagi fakir miskin sangat penting, agar fakir miskin memperoleh akses yang tepat untuk memperoleh keadilan. Selain itu fakir miskin yang frustrasi dan tidak puas karena tidak memperoleh pembelaan dari organisasi bantuan hukum akan mudah terperangkap dalam suatu gejolak sosial (social upheaval) antara lain melakukan kekerasan, huru-hara, dan pelanggaran hukum sebagaimana dinyatakan Von Briesen sebagai berikut:

Legal aid was vital because it keeps the poor satisfied, because it establishes and protects their rights; it produces better workingmen and better workingwomen, better house servants; it antagonizes the tendency toward communism; it is the best argument against the socialist who cries that the poor have no rights which the rich are bound to respect.”

Keadaan ini tentunya tidak nyaman bagi semua orang karena masih melihat fakir miskin di sekitarnya yang masih frustrasi. Melihat kepada kondisi sekarang, fakir miskin belum dapat memperoleh bantuan hukum secara memadai, walaupun pada tahun 2003 Undang-Undang Advokat telah diundangkan. Undang-Undang Advokat ini memang mengakui bantuan hukum sebagai suatu kewajiban advokat, namun tidak menguraikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan bantuan hukum dan bagaimana memperolehnya. Yang terjadi selama ini adalah adanya kesemrawutan dalam konsep bantuan hukum dalam bentuk ada kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai lembaga bantuan hukum tetapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut fee, yang menyimpang dari konsep pro bono publico yang sebenarnya merupakan kewajiban dari advokat. Selain kantor advokat mengaku sebagai organisasi bantuan hukum juga ada organisasi bantuan hukum yang berpraktik komersial dengan memungut fee untuk pemberian jasa kepada kliennya dan bukan diberikan kepada fakir miskin secara pro bono publico.

Kesemrawutan pemberian bantuan hukum yang terjadi selama ini adalah karena belum adanya konsep bantuan hukum yang jelas. Untuk mengatasi kesemrawutan tersebut maka perlu dibentuk suatu undang-undang bantuan hukum yang mengatur secara jelas, tegas, dan terperinci mengenai apa fungsi bantuan hukum, organisasi bantuan hukum, tata cara untuk memperoleh bantuan hukum, siapa yang memberikan, siapa yang berhak memperoleh bantuan hukum, dan kewajiban negara untuk menyediakan dana bantuan hukum sebagai tanggung jawab konstitusional. Keberadaan undang-undang bantuan hukum digunakan untuk merekayasa masyarakat c.q. fakir miskin agar mengetahui hak-haknya dan mengetahui cara memperoleh bantuan hukum.

Sedangkan pengetahuan fakir miskin akan hak-haknya, khususnya hak asasi manusianya, baru akan diperoleh kalau ada diseminasi dan penyuluhan tentang hak-hak mereka secara masif yang merupakan gerakan nasional yang didanai oleh negara dan masyarakat. Selain itu organisasi bantuan hukum harus menyediakan upaya-upaya untuk memberdayakan masyarakat seperti penyuluhan hukum, konsultasi hukum, pengendalian konflik dengan pembelaan nyata dalam praktik di pengadilan, dan berpartisipasi dalam pembangunan dan reformasi hukum serta pembentukan hukum yaitu salah satunya dengan memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, dan jelas.

Sebelum era reformasi konsep bantuan hukum ditekankan pada konteks perlawanan fakir miskin terhadap tindakan-tindakan pemerintah yang menindas. Hal ini tampak dari beberapa kasus yang ditangani oleh YLBHI seperti kasus Kedung Ombo, Marsinah, Tanjung Priok, dan Talangsari. Namun demikian dalam pemerintahan era reformasi yang lebih menghargai hak asasi manusia dan demokrasi, gerakan bantuan hukum harus mengubah paradigmanya dari konsep bantuan hukum yang menempatkan organisasi bantuan hukum berseberangan dengan pemerintah menjadi menempatkan negara sebagai mitra organisasi bantuan hukum dalam rangka program pengentasan kemiskinan.

Pemberian bantuan hukum bagi fakir miskin tidak dapat diberikan secara parsial dan sporadis tetapi harus diberikan secara masif dan mengajak negara c.q. pemerintah serta semua unsur masyarakat untuk memperkenalkan dan mendorong bantuan hukum kepada fakir miskin baik yang berada di kota-kota maupun desa-desa. Bantuan hukum responsif memberikan bantuan hukum kepada fakir miskin dalam semua bidang hukum dan semua jenis hak asasi manusia secara cuma-cuma dengan mengajak peran serta masyarakat dan pemerintah sebagai mitra kerja. Peran serta pemerintah ini dapat terwujud dengan memasukkan program bantuan hukum ke dalam program pengentasan kemiskinan melalui pembentukan undang-undang bantuan hukum, dan penyediaan dana bantuan hukum dalam APBN yang diatur dalam undang-undang bantuan hukum.

Selain itu dalam pemberian bantuan hukum, walaupun pembelaan dilakukan untuk semua bidang hukum dan semua jenis hak asasi manusia, akan tetapi dalam praktik sehari-hari terjadi seleksi alam dimana pembelaan dilakukan menurut bidang keahlian dari masing-masing organisasi bantuan hukum, misalnya organisasi bantuan hukum yang memberikan bantuan hukum dalam bidang hukum perdata, atau hukum pidana, atau hukum tata usaha negara, atau bidang hukum lainnya. Suatu organisasi bantuan hukum tidak boleh menolak untuk memberikan bantuan hukum dalam suatu bidang hukum tertentu dan kalau tidak mempunyai keahlian dalam bidang hukum tersebut, maka perkara tersebut dapat dilimpahkan atau bekerjasama dengan organisasi bantuan hukum yang lain.

Begitu juga kalau ada pelanggaran hak asasi manusia, organisasi bantuan hukum diwajibkan membela tanpa membedakan jenis hak asasi manusia yang dilanggar. Ini disebabkan karakteristik dari hak asasi manusia itu sendiri yang bersifat non derogable atau inalienable. Sebagaimana hak politik tidaklah lebih penting dari hak ekonomi, karena dalam konsep hak asasi manusia apabila salah satu hak asasi manusia diabaikan maka semua hak asasi manusia secara keseluruhan diabaikan. Dalam pembelaan hak terhadap fakir miskin tidak boleh dibedakan apakah yang dilanggar itu hak kolektif atau hak individu dari fakir miskin, karena kedua hak tersebut sama pentingnya. Namun demikian secara operasional dimungkinkan suatu organisasi bantuan hukum memfokuskan pelayanan pada suatu bidang tertentu karena kapasitas.

Kalau ada organisasi bantuan hukum bergerak dalam bidang hukum dan hak asasi manusia tertentu, itu adalah karena kompetensi dan prioritas, selain karena adanya kebutuhan setempat. Sebagai contoh, organisasi bantuan hukum Jawa Tengah akan memprioritaskan kepada pembelaan tenaga kerja di Jawa Tengah yang tidak memperoleh perlindungan pembelaan dalam bidang hukum ketenagakerjaan dan pelanggaran hak asasi manusia berupa perlakuan yang tidak manusiawi dan kondisi kerja yang tidak layak, organisasi bantuan hukum di Jawa Barat lebih memprioritaskan kepada pembelaan dalam bidang hukum agraria khususnya hukum tanah adat dan pelanggaran dalam bidang hak asasi manusia berupa hak untuk memperoleh perlindungan atas harta benda.

Diharapkan konsep bantuan hukum responsif ini dapat memperluas jangkauan pemberian bantuan hukum bagi fakir miskin dengan menjadikannya sebagai gerakan nasional agar fakir miskin mengetahui dan dapat menuntut hak-haknya. Dalam melaksanakan gerakan nasional bantuan hukum yang diprakarsai oleh federasi bantuan hukum, perlu dimasukkan suatu program pendidikan dan pencerahan tentang apa itu bantuan hukum, mengapa ada bantuan hukum, untuk siapa bantuan hukum itu disediakan, dan bagaimana memperoleh bantuan hukum. Tanpa dilakukan secara masif program bantuan hukum tidak akan mencapai sasaran.

Program bantuan hukum yang dilaksanakan dengan melibatkan peran serta pemerintah dan masyarakat, diharapkan dapat dijadikan suatu gerakan nasional. Pemberdayaan fakir miskin ini yang dilakukan secara masif diharapkan dapat mencapai sasarannya agar fakir miskin tahu akan hak-haknya, dan diharapkan akan mengangkat harkat dan martabatnya serta kedudukan sosial ekonominya. Oleh karena itu paradigma bantuan hukum sekarang harus menyesuaikan diri atau banting setir agar sesuai dengan situasi dan kondisi sekarang. Pada gilirannya keadilan itu akan berlaku bagi semua orang tanpa membeda-bedakan asal usul dan latar belakangnya.

--------

*) Jakarta, 23 Januari 2009. Penulis adalah Advokat pada Kantor Hukum Frans Winarta & Partners dan Ketua Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia.

()

Pemerintah Terbitkan PP Bantuan Hukum Cuma-Cuma
[19/1/09]

Mekanisme untuk menentukan pencari keadilan yang berhak harus jelas. Jika tidak, orang berpunya pun bisa memanfaatkan bantuan hukum cuma-cuma.

Ini kabar baik bagi para pencari keadilan. Mereka yang tidak punya uang untuk membayar advokat, kini bisa mengurus perkaranya dengan didampingi seorang advokat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. PP ini malah sudah diberi nomor 83 Tahun 2008.

PP ini merupakan amanat dari pasal 22 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal ini mewajibkan advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu. Pemberian bantuan hukum itu bukan merupakan belas kasihan, tetapi lebih merupakan penghargaan terhadap hak asasi manusia dalam mewujudkan keadilan dalam masyarakat.

Lingkup bantuan hukum cuma-cuma bukan hanya yang diberikan pada setiap tingkat persidangan. Berdasarkan pasal 3 ayat (2) PP, bantuan hukum bisa juga meliputi pemberian jasa hukum di luar pengadilan. Pencari keadilan bisa berupa perseorangan, bisa juga beramai-ramai . Pasal 5 PP menyebutkan: “Permohonan bantuan hukum secara cuma-cuma dapat diajukan bersama-sama oleh beberapa pencari keadilan yang mempunyai kepentingan yang sama terhadap persoalan hukum yang bersangkutan”.

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia Denny Kailimang menyambut antusias PP ini. “Kita akan segera kerjasama dengan lembaga-lembaga bantuan dan perguruan tinggi,” ujarnya.

Organisasi Advokat dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) adalah tempat pencari keadilan mengajukan permohonan bantuan hukum cuma-cuma. Permohonan disampaikan secara tertulis berisi identitas dan uraian singkat pokok persoalan yang dimohonkan bantuan hukum. Kalau pencari keadilan tidak bisa menulis, permohonan dapat diajukan secara lisan. Keterangan lisan tersebut lalu dituangkan ke dalam bentuk tertulis oleh advokat atau petugas organisasi advokat atau LBH.

Selain menegaskan kewajiban advokat memberikan bantuan hukum probono, PP ini mengharuskan organisasi advokat/LBH menyediakan atau membentuk unit kerja khusus yang menangani bantuan hukum cuma-cuma. Menurut Denny, keharusan itu tidak menyulitkan karena pada dasarnya sudah ada kewajiban probono bagi seorang advokat sesuai amanat UU No. 18/2003. Perhimpunan Advokat Indonesia siap melaksanakan amanat itu hingga ke daerah-daerah.

Dalam catatan akhir tahun 2008, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai peradilan yang fair dan tidak memihak sudah mengalami kemajuan tetapi dalam beberapa masih terkendala. Salah satu faktor karena masih belum cukup terimplementasinya kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma sebagai mandat dari UU Advokat.

Berdasarkan penilaian YLBHI, organisasi advokat yang ada saat ini pun belum menunjukkan menciptakan program-program yang konkrit untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat yang tidak mampu. Kini, PP yang mengatur tata cara pemberian bantuan hukum cuma-cuma sudah lahir. Tinggal bagaimana organisasi advokat, LBH dan pencari keadilan mengimplementasikannya.

Direktur LBH Jakarta Asfinawati mengatakan bahwa selama ini LBH sudah berada pada tugas bantuan hukum cuma-cuma. Ia justru mengkritik PP ini karena seolah memperkecil lingkup bantuan hukum. Idealnya, bantuan hukum dibentuk lewat undang-undang, dan dimasukkan ke dalam bagian undang-undang peradilan semisal KUHAP dan UU Kekuasaan Kehakiman. “Bantuan hukum harusnya menjadi spirit dalam peraturan perundang-undangan bidang peradilan,” ujarnya.

(Mys)

Mekanisme Penentuan Penerima Bantuan Hukum Probono Harus Jelas
[20/1/09]

Berdasarkan PP, pencari keadilan yang berhak mendapat bantuan hukum cuma-cuma adalah orang yang tidak mampu secara ekonomis. Praktiknya, LBH menerima klien yang tidak mampu secara politik atau miskin akses terhadap peradilan.

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Beleid yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada penghujung tahun 2008 itu mendorong advokat, organisasi advokat, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk memberikan bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu.

Namun, anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Frans Hendra Winarta berpendapat PP No. 83/2008 mestinya tidak melupakan esensi dasar pemberian bantuan hukum cuma-cuma atau probono, yaitu orang miskin atau kaum dhuafa. Mestinya, mekanisme penentuan penerima bantuan hukum probono, misalnya siapa yang masuk kategori tidak miskin, diperjelas.

PP 83 menggunakan istilah Pencari Keadilan yang Tidak Mampu. Yang masuk kategori ini adalah perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum advokat untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum.

Frans Hendra Winarta pernah menulis disertasi tentang “Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional” pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (2007). Dalam disertasinya, Frans antara lain menyimpulkan bahwa implementasi hak konstitusional fakir miskin untuk memperoleh bantuan hukum dalam praktik peradilan selama ini belum memperlihatkan kemajuan yang berarti. Secara umum, bantuan hukum belum dapat dijangkau oleh fakir miskin, baik di kota maupun di kawasan pedesaan.

Menurut Frans, bantuan hukum probono harus tepat sasaran. Karena itu perlu ada mekanisme untuk memastikan seseorang ‘tidak mampu’ sehingga berhak mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma. Jangan sampai terjadi penyelundupan, dimana orang mampu pura-pura menjadi orang tak mampu untuk mendapatkan bantuan hukum gratis. “Harus dipastikan untuk orang yang dhuafa, orang yang miskin. Nggak boleh untuk orang yang tidak miskin. Itu harus dipastikan dulu,” tandas Frans.

Direktur LBH Jakarta Asfinawati sepakat bahwa bantuan hukum probono diberikan kepada orang tak mampu. Namun, dalam praktiknya selama ini, LBH tak melulu memberikan bantuan kepada mereka yang miskin secara ekonomi. Ada kalanya bantuan hukum diberikan kepada orang yang ‘miskin’ akses politik seperti yang pernah dialami Sri Bintang Pamungkas. Bisa juga bantuan hukum diberikan mereka yang miskin akses terhadap keadilan dan peradilan seperti para pedagang pasar yang digusur Pemda DKI Jakarta.

Advokat senior Denny Kailimang meyakini bahwa organisasi advokat akan mampu menjalankan amanat PP untuk memberikan bantuan hukum probono kepada kalangan tidak mampu. Organisasi advokat segera menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada.

Sebaliknya, Frans Hendra Winarta masih meragukan kemampuan organisasi advokat dan LBH untuk memverifikasi dan memastikan seorang atau beberapa pencari keadilan masuk kategori tidak mampu atau bukan. Ia menyarankan sebaiknya ada peran RT, RW, Lurah atau Camat setempat. “Karena mereka yang lebih dekat dan tahu (tentang pencari keadilan –red),” ujarnya.

(Mys)

Mekanisme Penentuan Penerima Bantuan Hukum Probono Harus Jelas
[20/1/09]

Berdasarkan PP, pencari keadilan yang berhak mendapat bantuan hukum cuma-cuma adalah orang yang tidak mampu secara ekonomis. Praktiknya, LBH menerima klien yang tidak mampu secara politik atau miskin akses terhadap peradilan.

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Beleid yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada penghujung tahun 2008 itu mendorong advokat, organisasi advokat, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk memberikan bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu.

Namun, anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Frans Hendra Winarta berpendapat PP No. 83/2008 mestinya tidak melupakan esensi dasar pemberian bantuan hukum cuma-cuma atau probono, yaitu orang miskin atau kaum dhuafa. Mestinya, mekanisme penentuan penerima bantuan hukum probono, misalnya siapa yang masuk kategori tidak miskin, diperjelas.

PP 83 menggunakan istilah Pencari Keadilan yang Tidak Mampu. Yang masuk kategori ini adalah perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum advokat untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum.

Frans Hendra Winarta pernah menulis disertasi tentang “Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional” pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (2007). Dalam disertasinya, Frans antara lain menyimpulkan bahwa implementasi hak konstitusional fakir miskin untuk memperoleh bantuan hukum dalam praktik peradilan selama ini belum memperlihatkan kemajuan yang berarti. Secara umum, bantuan hukum belum dapat dijangkau oleh fakir miskin, baik di kota maupun di kawasan pedesaan.

Menurut Frans, bantuan hukum probono harus tepat sasaran. Karena itu perlu ada mekanisme untuk memastikan seseorang ‘tidak mampu’ sehingga berhak mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma. Jangan sampai terjadi penyelundupan, dimana orang mampu pura-pura menjadi orang tak mampu untuk mendapatkan bantuan hukum gratis. “Harus dipastikan untuk orang yang dhuafa, orang yang miskin. Nggak boleh untuk orang yang tidak miskin. Itu harus dipastikan dulu,” tandas Frans.

Direktur LBH Jakarta Asfinawati sepakat bahwa bantuan hukum probono diberikan kepada orang tak mampu. Namun, dalam praktiknya selama ini, LBH tak melulu memberikan bantuan kepada mereka yang miskin secara ekonomi. Ada kalanya bantuan hukum diberikan kepada orang yang ‘miskin’ akses politik seperti yang pernah dialami Sri Bintang Pamungkas. Bisa juga bantuan hukum diberikan mereka yang miskin akses terhadap keadilan dan peradilan seperti para pedagang pasar yang digusur Pemda DKI Jakarta.

Advokat senior Denny Kailimang meyakini bahwa organisasi advokat akan mampu menjalankan amanat PP untuk memberikan bantuan hukum probono kepada kalangan tidak mampu. Organisasi advokat segera menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada.

Sebaliknya, Frans Hendra Winarta masih meragukan kemampuan organisasi advokat dan LBH untuk memverifikasi dan memastikan seorang atau beberapa pencari keadilan masuk kategori tidak mampu atau bukan. Ia menyarankan sebaiknya ada peran RT, RW, Lurah atau Camat setempat. “Karena mereka yang lebih dekat dan tahu (tentang pencari keadilan –red),” ujarnya.

(Mys)

Kamis, 29 Januari 2009

Budaya Korporat Lokal - Kisah Robby Membangun Bank Niaga

Budaya Korporat Lokal - Kisah Robby Membangun Bank Niaga


Robby Djohan adalah figur yang tak terlepaskan dari serangkaian keberhasilan Bank Niaga, termasuk sebagai bank dengan kualitas manajemen dan budaya korporat yang cukup tangguh.

Setelah 8 tahun malang-melintang di Citibank dan berkontribusi besar dalam meletakkan fondasi bisnis Citibank di Indonesia, menjelang usia 40 tahun ia memutuskan untuk meninggalkan Citibank. Ada dua pilihan yang tersedia baginya saat meninggalkan Citibank, yaitu bekerja sebagai agen (semacam manajer) di BDN dan direktur Bank Niaga. Waktu itu, BDN sebagai bank pemerintah sudah menjadi organisasi yang besar sementara Bank Niaga hanya sebuah bank kecil yang berdiri 26 September 1955.

"Kalau saya pilih BDN dengan sendirinya terbuka peluang bagi saya menjadi orang besar karena saya bekerja pada suatu organisasi besar. Tapi, saya mengkhawatirkan birokrasi di BDN. Akhirnya saya memilih Bank Niaga, sebuah bank pribumi yang kecil dan apabila menjadi besar andil saya akan sangat menonjol," tulisnya dalam buku Robby Djohan, the Art of Turnaround.

Masuk sebagai GM cabang Jakarta- selevel direktur- Bank Niaga tahun 1976, Robby dipercaya menjadi Presiden Direktur 1 Januari 1984 menggantikan Idham. Sejak awal, Bank Niaga memang ingin menjadi bank profesional seperti Citibank. Tatkala masuk Bank Niaga, bank ini sudah menjalin kerjasama dengan Citibank di bidang retail banking. Hanya saja, Citibank bermaksud menghentikan kerjasama itu sejalan dengan strategi global Citibank yang waktu itu lebih fokus di bidang perbankan korporasi. Robby berhasil meyakinkan Citibank Indonesia untuk tidak menghentikan kerjasama itu serta merta. Kebetulan, beberapa orang Citibank yang ditempatkan di Bank Niaga masih mau berkarir di Bank Niaga.

Sebagai eks Citibanker dan latar belakang kerjasama Bank Niaga dengan Citibank, maka wajar bila Bank Niaga dianggap sebagai Citibank mini atau Citibanknya Indonesia. Toh tidak semua hal yang diterapkan di Bank Niaga adalah konsep Citibank. "Kami hanya mengambil mana yang baik saja," ujarnya. Salah satunya, bagaimana Citibank mempersiapkan orang-orangnya. Seperti rekrutmen, pendidikan, pengembangan karir, deskripsi pekerjaan, tujuan, program dan evaluasi kinerja. Juga kebiasaan rapat yang tidak berlama-lama dan selalu disiplin dengan waktu.

Ketika berdiri hingga awal 70-an, belum terpikir oleh manajemen pembentukan budaya korporat Bank Niaga. Saat itu, ujar Robby, orang belum mengenal apalagi memahami budaya korporat. Kalau pun ada, perilaku pemilik Bank Niaga bisa dianggap sebagai budaya korporat. Sehingga yang terjadi saat itu, para bawahan meniru apa yang dilakukan atasan. Oleh sebab itu, budaya korporat Bank Niaga banyak sekali dipengaruhi oleh contoh yang kuat dari para komisaris dan CEO Bank Niaga, khususnya oleh Soedarpo Sastrosatomo, Julius Tahija, M. Idham, dan Robby. Kebetulan, menurut Robby, keempatnya memiliki cara yang sama.

Sifat yang menonjol adalah, pertama sikap konservatif dan mengutamakan kualitas. Kedua, manusia adalah asset utama. Ketiga, citra dan integritas. Sifat-sifat ini ada pada keempat orang itu karena latar belakang pendidikan Belanda, keluarga yang intelektual, lingkungan pergaulan, dan pekerjaan.

Keseragaman sifat itu memang tidak melahirkan dinamika, tetapi menjamin munculnya satu fondasi yang kokoh untuk mengembangkan Bank Niaga. Karakter Soedarpo, Tahija, dan Idham yang sangat konservatif dan Robby sebagai CEO yang cukup agresif menghasilkan sinergi yang sangat baik.

Dengan sinergi ini, lanjut Robby, esensi budaya yang berkembang di Bank Niaga adalah mengutamakan stakeholders. Selalu berorientasi pada pasar, manusia menjadi asset utama, dan senantiasa mementingkan kualitas dalam semua hal yang dikerjakan. Setiap penyimpangan tidak bisa ditoleransi dan secara otomatis dikoreksi oleh budaya perusahaan yang berkembang. Robby juga tergolong sangat keras- namun tanpan dendam- terhadap anak buahnya yang melakukan penyimpangan.

Pernah seorang staf Bank Niaga cabang Medan melakukan manipulasi. Waktu berkunjung ke Medan, meski marah Robby mengatakan kepada orang itu untuk mencari pekerjaan di luar bank. Ia menilai, orang itu tidak cocok bekerja di bank karena tidak tahan godaan uang. Akhirnya, orang itu mundur dari Bank Niaga dan sesuai saran Robby mencari pekerjaan di bidang lain.

Mereka yang ingin maju di Bank Niaga harus patuh kepada budaya korporat agar dia tidak menjadi orang asing di Bank Niaga. Penentuan dan pengangkatan eksekutif sangat ditentukan oleh rank and file, sehingga sulit bagi yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan budaya korporat itu untuk berkembang. "Oleh sebab itu, rekrutmen kader dari luar sangat dibatasi," katanya.

Robby mengakui, visi dan strategi usaha yang terpikir waktu itu sangat sederhana. Ia ingin Bank Niaga menjadi bank yang berkualitas, menguntungkan, dan masuk lima besar di antara bank swasta. Keinginan itu jelas sangat ambisius karena Bank Niaga saat itu merupakan bank terkecil di antara sekitar 65 bank swasta. Yang berkembang justru bank milik WNI keturunan karena praktis sudah menguasai seluruh perdagangan. Sedangkan Bank Niaga adalah bank milik pengusaha pribumi yang sangat konservatif.

Untuk mewujudkan keinginan itu, tahun 1976 Bank Niaga menyusun lima tahapan sebagai strategi untuk mencapai visi itu. Pertama, memiliki manajemen yang professional, terdiri dari sedikitnya 10 orang yang kompeten dan siap ditempatkan di pusat dan di cabang. Kedua, mengembangkan program rekrutmen dan pendidikan yang akan menghasilkan kader-kader Bank Niaga. Ketiga, memiliki prasarana, baik berupa kantor yang modern dan jasa perbankan serta sistem operasi seperti Citibank. Keempat, fokus pada retail banking dan commercial banking dalam pemasaran. Kelima, menjadi bank yang menguntungkan sehingga lebih mudah mendapatkan modal dari investor maupun dari laba ditahan.

Impelementasi dari strategi itu diakui Robby sangat sederhana. "Namun, karena kami konsisten dan penuh komitmen menjalankannya, ia berjalan mirip bola salju. Hasilnya bisa dilihat dalam waktu yang cukup singkat." Tahun 1988, Bank Niaga sudah menjadi bank swasta kedua terbesar di bawah BCA, yang dimiliki Liem Sioe Liong kerabat Presiden Soeharto dan dipimpin oleh Mochtar Riyadi. Bank lain yang menjadi saingan adalah Bank Duta, yang banyak dibantu Bulog; Bank Umum Nasional milik Bob Hasan yang disebut Robby sebagai "Anak Raja Republik" BDNI dan BII- milik dua konglomerat.

Robby menilai, cepatnya perkembangan Bank Niaga karena faktor citra yang secara cepat dapat diciptakan karena bank ini memiliki orang-orang yang selalu ingin melakukan hal-hal terbaik untuk nasabah dan Bank Niaga, di samping memiliki integritas. Semua orang di Bank Niaga ingin menjadikan bank ini sebagai bank modern dan mempunyai sistem perbankan yang lebih baik dibandingkan bank lain.

Kalau datang ke cabang, maka laporan pemimpin cabang bukanlah apa yang sudah dikerjakan tetapi apa yang menjadi masalah dan berapa besar kontribusi profit yang mereka capai. Budaya Citibank terasa sekali di sini. Tidaklah populer di Bank Niaga apabila pemimpin cabang melaporkan apa yang sudah ia lakukan ataupun keberhasilannya. Karena Robby dengan ketus akan menjawab: "Anda sudah dibayar untuk itu. Laporkan kepada saya apa yang menjadi masalah ataupun tantangan, dan bagaimana Anda akan menghadapinya."

Sikap Robby ini merupakan cerminan budaya yang berkembang di kalangan eksekutif Bank Niaga, yang selalu tertantang untuk memecahkan masalah. Mereka sadar bahwa Bank Niaga berdiri sendiri dan tidak dibantu oleh fasilitas maupun kemudahan dari pasar karena bank ini bank pribumi. Kunci keberhasilan Bank Niaga di mata Robby karena menciptakan dan memiliki professional yang baik. Mereka memiliki keahlian, jiwa kepemimpinan, dan motivasi bekerja yang tinggi. "Kalau di seluruh dunia orang-orang Citibank ada di mana-mana, di Indonesia juga dapat dikatakan orang-orang Bank Niaga ada di mana-mana," gumamnya bangga.

Sebagian besar direksi Bank Niaga saat ini adalah lulusan Program Pengembangan Eksekutif yang dulu dikembangkan oleh Robby Djohan. Program ini meniru program serupa di Citibank. Kendati ikut dirundung masalah karena krisis ekonomi, Bank Niaga tetap memiliki nilai berharga untuk dipertahankan dari kemungkinan ditutup dan diminati oleh investor. Sebuah bukti bahwa Robby memang hebat.

Kasasi atas Vonis Bebas, Yurisprudensi yang Menerobos KUHAP

Kasasi atas Vonis Bebas, Yurisprudensi yang Menerobos KUHAP
[26/1/09]

Pihak yang pertama kali menerobos pasal 244 KUHAP justru eksekutif, dalam hal ini Menteri Kehakiman. Menteri mengeluarkan pedoman KUHAP yang dalam lampirannya menyebut kasasi atas vonis bebas dapat diajukan demi hukum, keadilan dan kebenaran.

Rombongan pengacara dipimpin Mahendradatta menyambangi Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis, 15 Januari lalu. Anggota tim penasihat hukum Muchdi Purwoprandjono itu rencananya hendak bertemu Zahrul Rabain, Ketua Pengadilan. Tuan rumah sedang tak di tempat, sehingga rombongan pengacara tadi hanya diterima Panitera Pengadilan, Lilies Djuaningsih.

Maksud kedatangan rombongan tersebut jelas. Menurut Mahendradatta, mereka ingin meminta Ketua Pengadilan tak meneruskan kasasi yang diajukan jaksa. Kalau upaya hukum tetap dilakukan, sama saja pengadilan menabrak undang-undang yang rumusannya sudah jelas. “Kami minta ketua pengadilan tidak mengirimkan berkas kasasi JPU,” tandasnya.

Wet yang ditabrak tak lain adalah pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal ini merumuskan bahwa terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan kasasi. Logikanya, pihak yang mengajukan kasasi jika terdakwa dibebaskan adalah penuntut umum. Rumusan pasal 244 sangat jelas. Sehingga, menurut Mahendratta, tidak ada alasan bagi PN Jakarta Selatan untuk meneruskan berkas permohonan kasasi dari JPU. Kalaupun diteruskan, terlebih dahulu ada pendapat hukum dari Mahkamah Agung (MA).

Singkatnya, berdasarkan pasal 244 KUHAP, putusan hakim tingkat pertama yang membebaskan terdakwa dari segala dakwaan tidak bisa dikasasi ke Mahkamah Agung. Amar itu pula yang belum lama diputus majelis hakim PN Jakarta Selatan terhadap terdakwa Muchdi Purwoprandjono, terdakwa penganjur pembunuhan aktivis HAM, Munir. “Menyatakan terdakwa H. Muchdi Purwoprandjono tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan kepadanya,” tegas ketua majelis hakim, Suharto.

Muchdi bukan hanya dibebaskan dari segala dakwaan, tetapi juga harus segera dilepas dari tahanan. “Memerintahkan agar terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan,” begitu antara lain amar yang dibuat majelis hakim Suharto, Achmad Yusak, dan Haswandi.

Vonis bebas itu sontak menuai kontroversi. Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum), komite yang selama ini mengadvokasi kematian Munir, mengecam putusan majelis. Suciwati, isteri almarhum Munir, langsung tertundu lesu dan menitikkan air mata mendengar vonis bebas itu. Sebaliknya, terdakwa Muchdi tak bisa menutup kegembiraan. Seusai sidang, ia langsung mengucapkan syukur. Pendukungnya pun langsung berteriak “hidup Muchdi”, lalu menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Lonceng perlawanan terhadap vonis itu datang dari Kejaksaan Agung. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan, M. Jasman Panjaitan menyatakan penuntut umum mengajukan kasasi. Pernyataan Jasman disusul aksi Cirus Sinaga, penuntut umum perkara Muchdi, menandatangani akta kasasi di Kepaniteraan PN Jakarta Selatan tiga hari sebelum rombongan Mahendradatta datang.

Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga memastikan penuntut umum Cirus Sinaga sudah menyampaikan memori kasasi ke Kepaniteraan PN Jakarta Selatan, Jum’at (23/01) pagi. Jaksa memutuskan kasasi karena beberapa hal. Pertama, kata Ritonga, ada ketentuan hukum yang tidak dilaksanakan majelis sebagaimana mestinya. Kedua, ada proses peradilan yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, atau hakim melampaui wewenang. “Apakah alasan-alasan itu ditemukan dalam keputusan yang ada, menurut jaksanya dapat ditemukan,” tegas Ritonga.

Ditambahkan Jasman Panjaitan, JPU akan mempersoalkan penerapan hukum. Kejaksaan menilai hakim salah menerapkan hukum. Meskipun tak menjelaskan detail kesalahan penerapan hukum dimaksud, tekad Kejaksaan untuk kasasi sudah bulat. Pasal 244 KUHAP bukan halangan yuridis karena --di mata Kejaksaan—vonis bebas Muchdi bukan bebas murni. “Putusan PN Jakarta Selatan itu bukan bebas murni,” ujarnya.

Bebas: Murni atau Tidak?

Kontroversi dan perdebatan hukum akhirnya bergeser pada isu ini: bebas murni atau bebas tidak murni. Dari enam poin amar majelis tak satu pun yang menyebut sifat vonis tersebut. Majelis hanya menyatakan “membebaskan terdakwa dari semua dakwaan”.

Pengamat hukum acara pidana, T. Nasrullah, juga memastikan istilah bebas murni dan bebas tidak murni tidak dikenal dalam KUHAP. Pasal 244 KUHAP pun hanya menggunakan kata ‘bebas’. “KUHAP tidak mengenal putusan bebas murni atau tidak murni,” ujarnya kepada hukumonline.

Lalu darimana jaksa mengartikan vonis bebas Muchdi adalah bukan bebas murni? Subjektivitas jaksa sangat berperan. JPU sering mengartikan sendiri suatu vonis bebas adalah bukan bebas murni tanpa argumentasi yang jelas dan kuat. “Hanya sebagai tangga untuk mengajukan kasasi,” kata Nasrullah.

Menurut Nasrullah, rezim bebas murni dan tidak bebas murni itu berasal dari yurisprudensi dan doktrin. Pada 15 Desember 1983, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan No. 275 K/Pid/1983 (dikenal sebagai kasus Natalegawa). Inilah yurisprudensi pertama yang menerobos larangan kasasi atas vonis bebas. Dalam putusan perkara ini, MA menerima permohonan kasasi jaksa atas vonis bebas terdakwa Natalegawa yang dijatuhkan PN Jakarta Pusat. Pertimbangan MA: demi hukum, keadilan dan kebenaran maka terhadap putusan bebas dapat dimintakan pemeriksaan pada tingkat kasasi. Nanti, MA-lah yang memutuskan apakah suatu putusan bebas murni atau bebas tidak murni.

Namun, menurut mantan hakim agung M. Yahya Harahap, penerobosan pasal 244 KUHAP pertama kali datang bukan dari MA, melainkan dari Pemerintah (eksekutif). MA justeru menyambut positif kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah kala itu. Dalam bukunya Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP (edisi kedua), Yahya Harahap menunjuk Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan lampiran. Pada angka 19 Lampiran tersebut terdapat penegasan berikut: (i) terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; (ii) tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.

Sebagaimana diketahui, lima hari setelah SK Menteri Kehakiman itu keluar, MA menyambutnya dengan menerima permohonan kasasi JPU dalam perkara Natalegawa. Berdasarkan yurisprudensi itulah muncul istilah bebas murni dan bebas tidak murni. Suatu putusan ditafsirkan bebas murni jika kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak didukung alat bukti yang sah. “Putusan bebas murni artinya sama sekali tidak terbukti tindak pidananya,” jelas Nasrullah.

Sebaliknya, dijelaskan Yahya Harahap, suatu putusan dikatakan bebas tidak murni –lazim juga disebut pembebasan terselubung (verkapte vrispraak)—apabila suatu putusan bebas didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana dalam dakwaan. Bisa juga kalau dalam menjatuhkan putusan pengadilan terbukti melampui wewenangnya.

Satu hal yang jelas, penuntut umum sudah mengajukan kasasi. Kini, semua pihak menunggu MA bekerja sesuai dengan wewenangnya. Apakah argumentasi JPU cukup kuat, tentu saja MA yang akan menilai.

Tidak Dapat Diterima

Agar permohonannya diterima, mau tidak mau, Kejaksaan harus menguraikan secara jelas alasan-alasan permohonan kasasi. Menurut T. Nasrullah, memori kasasi thd putusan bebas tidak murni harus memuat: (i) jangka waktu menyatakan kasasi dan jangka waktu penyerahan memori kasasi; (ii) argumentasi tentang bebas tidak murni; dan alasan-alasan kasasi sebagaimana ditentukan KUHAP

Kalau argumentasi jaksa tidak kuat dan salah satu syarat permohonan kasasi tidak lengkap, menurut Nasrullah, permohonan jaksa tidak akan diterima. Ini pula yang mengkhawatirkan anggota tim penyusun revisi KUHAP itu. “Penuntut umum biasanya tidak mampu menguraikan alasan kasasi terhadap putusan bebas tidak murni,” ujarnya.

Bisa jadi kekhawatiran Nasrullah beralasan. Ada beberapa putusan MA yang menyatakan permohonan kasasi JPU atas vonis bebas tidak dapat diterima. Sebab, berdasarkan penilaian MA, selaku pemohon kasasi JPU “tidak dapat membuktikan bahwa putusan PN merupakan pembebasan yang tidak murni”. Dengan kata lain, pemohon kasasi tidak dapat mengajukan alasan-alasan yang dijadikan dasar pertimbangan tentang dimana letak sifat tidak murni dari suatu putusan bebas.

Pertimbangan seperti itu pernah dipakai MA ketika menolak kasasi jaksa dalam perkara Herizal bin Arsyad Nashyur (putusan no. 1871 K/Pid/2005). Singkatnya, Herizal didakwa melanggar UU Psikotropika. Jaksa menuntutnya enam bulan penjara atas tindak pidana ‘secara tidak sah tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan atau pemilikan psikotropika. Namun, dalam putusannya, PN Jambi menyatakan terdakwa Herizal tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana baik pada dakwaan pertama, kedua, atau ketiga. Karena itu, majelis hakim membebaskan terdakwa dari segala dakwaan.

JPU perkara ini mengajukan kasasi dengan dalih antara lain majelis hakim PN Jambi telah melakukan kekeliruan menerapkan hukum. Tetapi oleh MA, argumentasi JPU ditepis. Majelis hakim agung – Iskandar Kamil, Djoko Sarwoko, dan Moegihardjo-- menilai tidak ada argumentasi pemohon kasasi yang menguatkan bahwa putusan bebas dari PN Jambi adalah putusan bebas tidak murni.

Setahun setelah putusan perkara Herizal, MA kembali mengeluarkan sikap serupa. Dalam perkara terdakwa Henry Salim alias Asin (putusan No. 2016 K/Pid/2006) MA menyatakan permohonan kasasi JPU atas vonis bebas tidak dapat diterima. Jaksa mengajukan kasasi setelah PN Palembang membebaskan Henry Salim dari dakwaan melanggar UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. JPU beralasan hakim salah menerapkan hukum pembuktian.

Tetapi, dalam putusan yang diucapkan pada 14 Februari 2007 silam, majelis hakim agung –Iskandar Kamil, Djoko Sarwoko, dan Bahauddin Qaudry—menilai JPU tidak dapat membuktikan putusan bebas judex facti merupakan pembebasan yang tidak murni. Sifat tidak murni dari putusan tidak digambarkan pemohon kasasi secara jelas melalui argumentasi. Selain itu, berdasarkan wewenang pengawasannya, MA juga tidak melihat hakim PN Palembang yang menjatuhkan putusan bebas telah melampaui wewenang mereka. Karena itu, kata majelis, permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Kini, putusan Muchdi, menjadi satu lagi contoh dimana jaksa mengajukan kasasi atas vonis bebas yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama. Para pihak tentu saja harap-harap menunggu dengan perasaan campur aduk: bebas, dihukum, tidak dapat diterima, atau kemungkinan lain. Kuncinya kini ada di tangan MA. (Hukumonline)

Minggu, 11 Januari 2009

Perseroan Terbatas (PT) Syariah (?)

Perseroan Terbatas (PT) Syariah (?

Oleh: Andi Syafrani

Salah satu ‘terobosan’ UU Perseoran Terbatas (PT) yang baru saja disahkan dan diundangkan dengan Nomor 40 tahun 2007 adalah diakomodasinya secara hukum Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagai salah satu organ perseroan bagi perusahaan yang menjalankan usahanya berdasar prinsip syariah (Pasal 109). Pengakomodasian ini mengingatkan memori kita pada proses awal pengakomodasian perbankan syariah dalam sistem perbankan nasional pada awal 1990-an.

Pada awalnya perbankan syariah hanyalah “prinsip ikutan” yang ditempelkan pada sistem perbankan nasional. Dalam perjalanannya kemudian perbankan syariah berhasil menegaskan identitas dirinya sebagai satu entitas perbankan tersendiri, berdampingan dengan sistem konvensional yang telah dikenal.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah roda politik-hukum akomodasi DPS ini akan bergulir menuju usaha pendemarkasian identitas yang tegas antara PT label Islam dan non-Islam seperti yang terjadi pada perbankan Islam yang sedang dalam proses pengesahan RUU Perbankan Syariah di parlemen? Dengan kata lain apakah dimungkinkan akan muncul RUU PT Syariah seperti RUU Perbankan Syariah di masa akan datang?

Menjawab pertanyaan di atas tidak akan bisa dilakukan tanpa mengetahui bagaimana sesungguhnya wacana PT dalam khazanah keislaman.

Tidak Ada PT dalam Islam
Secara prinsip, Islam tidak mengenal konsep perseroan dalam pengertian perseroan sebagai sebuah legal entity. Lima karakter utama sebuah korporasi seperti yang dikemukakan oleh Henry Hansmann and Reinier Kraakman (2004) yaitu legal personality, limited liability, transferable shares, delegated management with a board structure dan investor ownership adalah karakter hukum yang sangat asing bagi Islam.

Untuk mengambil salah satu contoh saja, legal personality adalah konsep yang ahistoris dan tidak ditemukan presedennya dalam tradisi hukum Islam. Dalam Islam relasi hukum yang berlaku hanyalah relasi antar pribadi (natural person) (hablumminannas) dan pribadi dengan Tuhannya (hablumminallah). Atas dasar ini pulalah, keyakinan pendirian negara sebagai sebuah entitas hukum tidak memiliki pijakan yuridis maupun historis dalam Islam.

Jika pun ada tradisi kelembagaan ekonomi yang berkembang dalam sejarah Islam seperti lembaga Wakaf yang disebut Marshall Hodgson (1974) sebagai “vehicle for financing Islam as society”, institusinya tidak bisa memiliki kapasitas hukum yang mutlak sebagaimana kapasitas hukum yang dimiliki oleh seseorang pribadi. Lembaga Wakaf misalnya tidak dapat melakukan kontrak atas dirinya dengan orang atau lembaga lain. Segala tindakan hukum dalam kelembagaan wakaf hanya dapat dilakukan atas nama pribadi sang Mutawwali/Nazir (pengelola wakaf).

Absennya diskursus legal personality, dan lebih umum lagi masalah PT dalam Islam pada dasarnya amat dimaklumi mengingat inovasi hukum ini baru muncul pada masa modern di belahan dunia Barat. Tingginya arus perdagangan antar negara sejak tahun 1600-an, sebagaimana dicatat oleh Timur Kuran (2005), mengawali masa terinstitusionalisasinya bisnis-bisnis di Eropa. Dan di pertengahan akhir abad ke-19, Inggris memelopori pengembangan hukum korporasi dengan pertama kali melegislasi undang-undang perseroan Companies Act 1844. Konsep legal personality sendiri baru muncul belakangan dalam kasus klasik yang sangat terkenal yaitu Solomon v. Solomon &Co.Ltd. pada tahun 1897, juga di Inggris (John Farrar, 2005).

Dari kronologis sejarah di atas, tidak mengherankan kemudian jika dalam khazanah klasik intelektual Islam tidak ditemukan pergulatan wacana seputar PT dan juga konsep derivatif darinya seperti legal personality. Catatan historis atas perseroan yang didirikan pertama kali dalam dinasti Islam adalah perseroan yang didirikan oleh Sultan Abdulmecit pada masa Ottoman pada tahun 1851 yang bernama Sirket-i Hayriye. Mengikuti pendirian perusahaan ini, pada tahun 1908, Parlemen Ottoman mengeluarkan undang-undang tentang korporasi yang merupakan produk hukum tentang korporasi yang pertama dalam tradisi Islam (Timur Kuran, 2005).

Yang mengherankan adalah pasca Dinasti Ottoman melakukan transplantasi hukum PT dari Eropa, diskursus PT dalam Islam sama sekali tidak berkembang, untuk tidak mengatakan sama sekali tidak ada. Kejumudan ijtihad dalam Islam yang sudah terjadi jauh hari sebelum keruntuhan khilafah Islam terakhir tersebut tampaknya membuat kekosongan literature Islam dalam masalah PT bertahan hingga saat ini.

Masa Depan PT Syariah
Karena konsep PT bukanlah sesuatu yang intrinsik dan berkembang dalam Islam, maka sinyal pasal 109 UU PT No.40/2007 tidaklah dapat dipahami sebagai sebuah lonceng kebangkitan atau batu loncatan bagi munculnya gerakan islamisasi atau syari’ahihasi PT sebagaimana yang terjadi pada dunia perbankan. Jika pun ada kelompok yang mencoba untuk menggulirkan ide syari’ahisasi PT, maka sejak mula gerakan itu akan mengalami kesulitan. Kesulitan dalam menggali literature keislaman tentang masalah hukum PT dan kelembagaan ekonomi hukum lainnya, dan terlebih akan terjebak dalam upaya kebuntuan untuk mencari alternatif lain untuk model hukum korporasi. Karena saat ini kiblat inovasi hukum korporasi hanya berporos pada satu sumbu yaitu American Model.

Meski terdapat beberapa variasi model hukum korporasi yang berkembang di dunia saat ini seperti model Jepang, Jerman, Inggris, Kanada, dan juga Australia, model yang menjadi mainstream dalam dunia hukum perseroan adalah model yang bersumber dari negeri Paman Sam. Atas dasar inilah, dalam salah satu artikelnya yang cukup kontroversial, Henry Hansmann dan Reinier Kraakman (2001)memproklamirkan telah terjadi “the End of History for Corporate Law”. Dan Islam, jika pun ingin menjadi pemain dalam diskursus tema-tema hukum korporasi hanya akan lebih banyak mengikuti prinsip-prinsip utama yang sudah jamak berlaku.

Pengakomodasi DPS dalam UU PT karenanya, sekali lagi, tidak akan menjadi menjadi pintu masuk bagi bergulirnya ide syari’ahisasi hukum PT di kemudian hari yang bisa melahirkan produk hukum seperti RUU Perbankan Syariah. Masuknya pasal 109 dalam UU PT tidak lebih untuk menghargai eksistensi DPS yang memang sudah beroperasi dalam perseroan yang berbasis syariah.

Dus, kehadiran DPS sebagai sebuah entitas hukum diberikan cantolan payung hukum yang lebih kuat agar perusahaan yang menjalankan prinsip syariah betul-betul menjalankan sesuai prinsip yang telah disepakati dan dipantau oleh lembaga atau individu yang kompeten.

DPS dan Good Corporate Governance
Yang menjadi tantangan ke depan dengan diakomodasinya eksistensi korporasi berasas syariah dalam UU PT adalah pembuktian bahwa perusahaan berlabel Islam dapat menjadi contoh dalam pewujudan Good Corporate Governance (GCG). Sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan UU bahwa tujuan utama dari reformasi hukum perseroan salah satunya adalah untuk menciptakan iklim perusahaan yang sehat yang menjalankan tata kelola yang baik (GCG).

Keberadaan DPS sebagai lembaga pengawas perseroan karenanya tidak hanya terbatas sebagai pengawal prinsip-prinsip syariah dalam perusahaan dan produk-produk bisnisnya. DPS semestinya dapat menjadi agen dalam mentransformasikan nilai-nilai syariah yang berlaku dalam bisnis sebagai pedoman (code of conducts) yang sejalan dengan prinsip-prinsip GCG. Dengan demikian, peran DPS akan lebih dihargai eksistensinya, dan tidak akan dilihat hanya sebagai lembaga stempel ‘penghalalan’ semata. Jika hal ini dapat dipraktekkan, maka prinsip-prinsip Islam bisa mengambil peran dalam proses inkorporasi hukum korporasi sebagai nilai-nilai fundamental, meski tidak sebagai prinsip hukum positif yang mengikat.

[Penulis (Andi Syafrani) adalah Mahasiswa program Master of Comparative Commercial Law (MCCL) di Victoria University, Melbourne. Penulis dapat dihubungi di asyafrani@yahoo.com]

Praktek Pembiayaan Dalam Perbankan Syariah

Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari – hari, masyarakat memiliki kebutuhan – kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Ada kalanya masyarakat tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya, dalam perkembangan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat muncullah jasa pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank.

Lembaga perbankan merupakan salah satu aspek yang diatur dalam syariah Islam, yakni bagian muamalah sebagai bagian yang mengatur hubungan sesama manusia. Pengaturan lembaga perbankan dalam syariah Islam dilandaskan pada kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan bahwa “ maa laa yatimm al – wajib illa bihi fa huwa wajib “, yakni sesuatu yang harus ada untuk menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah ( yakni melakukan kegiatan ekonomi ) adalah wajib diadakan. Oleh karena pada zaman modern ini kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga perbankan ini pun menjadi wajib untuk diadakan.[1]

Lembaga pembiayaan merupakan salah satu fungsi bank, selain fungsi menghimpun dana dari masyarakat. Fungsi inilah yang lazim disebut sebagai intermediasi keuangan (financial intermediary function). Hal ini diatur dalam pasal 1 ayat (1) UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Pembiayaan dikucurkan melalui dua jenis bank, yaitu Bank Konvensional maupun Bank Syariah. Sistem bunga yang diterapkan dalam perbankan konvensional telah mengganggu hati nurani umat Islam di dunia tanpa kecuali umat Islam di Indonesia. Bunga uang dalam fiqih dikategorikan sebagai riba yang demikian merupakan sesuatu yang dilarang oleh syariah ( haram ). Alasan mendasar inilah yang melatarbelakangi lahirnya lembaga keuangan bebas bunga, salah satunya adalah Bank Syariah.

Perbedaan signifikan pembiayaan antara Bank Konvensional dengan Bank Syariah menurut M. Syafii Antonio adalah sebagai berikut :[2]

Bank Syariah

Bank Konvensional

  1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja
  2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa
  3. Profit dan falah oriented
  4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan
  5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatma Dewan Pengawas Syariah
  1. Investasi yang halal dan haram

  1. Memakai perangkat bunga

  1. Profit oriented
  2. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur

Tidak terdapat dewan sejenis

Dalam operasionalnya, Bank Syariah memberi jasa-jasa dalam bentuk yang terbagi menjadi :

  1. Musyarakkah

Adalah pembiayaan sebagian dari modal usaha, yang mana pihak bank dapat dilibatkan dalam proses manajemennya.

  1. Murabahah

Adalah Akad jual beli atas barang tertentu dengan memperoleh keuntungan.

  1. Mudharabah

Adalah bank menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja secara penuh berdasarkan prinsip bagi hasil dan,

  1. Ijarah ( sewa – menyewa )

Pengertian Ijarah (sewa-menyewa) yang terdapat dalam perbankan syariah berbeda dengan pengertian sewa-menyewa dalam praktek umum sehari – hari. Sewa – menyewa dalam praktek sehari-hari mempunyai tiga unsur essensialia yaitu :

a. Harga sewa

b. Jangka waktu / masa sewa

c. Obyek sewa

Dalam transaksi sewa – menyewa ini tidak ada peralihan hak milik, artinya jika masa sewa berakhir maka barang obyek sewa dikembalikan pada pemilik sewa sehingga pada umumnya tidak membutuhkan jasa suatu lembaga pembiayaan. Akan tetapi lain halnya dalam praktek perbankan Syariah karena dikenal Pembiayaan Berdasarkan Akad Sewa – Menyewa yang disebut Ijarah. Oleh karenanya timbul pertanyaan kenapa pada transaksi sewa – menyewa yang pada umumnya tidak disertai pemindahan hak milik sehingga tidak diperlukan pembiayaan dalam praktek perbankan syariah disertai dengan pembiayaan ?

erumusan Masalah :

Dari latar belakang di atas menyangkut perkembangan perbankan syariah di Indonesia khususnya di Indonesia khususnya dalam penerapan prinsip ijarah, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

  1. Kenapa timbul pembiayaan pada Akad Sewa – Menyewa Dalam Praktek Perbankan Syariah ?
  2. Dimanakah landasan yuridis Pembiayaan Berdasarkan Akad Sewa – Menyewa Dalam Praktek Perbankan Syariah ?

C. Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini, maka tujuan yang hendak dicapai dari pembuatan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui kenapa sampai timbul pembiayaan pada Akad Sewa – Menyewa dalam praktek perbankan syariah.

2. Untuk mengetahui letak penghaturan landasan yuridis pembiayaan berdasarkan Akad Sewa – Menyewa dalam praktek perbankan syariah.


P E M B A H A S A N

A. Tinjauan Umum Bank Syariah.

Berdasarkan fungsinya jenis bank di Indonesia dapat dikelompokkan atas:

1. Bank sentral yaitu Bank Indonesia sebagaimana dalam UU No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, kemudian dicabut dengan UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

2. Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

3. Bank perkreditan rakyat yaitu bank yang melaksanakan kegiatannya secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

4. Bank Umum yang mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu. Yang dimaksud dengan mengkhususkan diri untuk melakukan kegiatan tertentu adalah melaksanakan kegiatan pembiayaan jangka panjang, pembiayaan untuk mengembangkan koperasi, pengembangan pengusaha golongan ekonomi lemah atau pengusaha kecil, pengembangan ekspor non migas dan pengembangan pembangunan perumahan.[3]

Peraturan tentang perbankan pertama kali diatur dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992, pada peraturan perundang-undangan ini belum secara tegas menganut bahwa prinsip syariah dalam perbankan diperbolehkan akan tetapi sudah mulai disinggung secara implisit. Hal ini dapat dilihat dari pasal 6 huruf b dan m Undang-Undang No.7 Tahun 1992 yaitu :

- Memberikan kredit; dan

- Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang diterapkan dalam peraturan pemerintah;

Selain itu juga diatur dalam salah satu kegiatan usaha bank perkreditan rakyat yaitu “ menyediakan pembiayaan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah “[4], akan tetapi dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992 masih menganut single banking system yang dipertegas dalam PP No.72 Tahun 1992 tentang Bank Bagi Hasil.

Dalam PP tersebut, bank hanya diperkenankan melakukan kegiatan operasional usaha secara konvensional saja atau bagi hasil saja, jadi tidak boleh dalam suatu bank melakukan pelayanan memakai dua prinsip secara bersamaan. Pada tahun 1998 diundangkanlah Undang-Undang No.10 Tahun 1998 yang merubah Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam undang-undang ini baru secara tegas dikatakan bahwa sektor perbankan di Indonesia terdiri dari dua macam yaitu bank konvensional dan bank berdasarkan prinsip syariah baik pada bank umum maupun bank perkreditan rakyat

B. Tinjauan Umum Pembiayaan

Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya pembiayaan dapat dibagi menjadi 2 hal berikut:

1. Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.

Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi 2 hal berikut:

A. Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan:

(a). Peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi;dan

(b).Untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.

B. Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.

2. Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.

Pembiayaan konsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut.kebutuhan konsumsi dapat dibedakan atas kebutuhan primer (pokok atau dasar) dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan pokok, baik berupa barang, seperti makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal maupun berupa jasa, seperti pendidikan dasar dan pengobatan. Adapun kebutuhan sekunder adalah kebutuhan tambahan, yang secara kuantitatif maupun kualitatif lebih tinggi atau lebih mewah dari kebutuhan primer, baik berupa barang, seperti makanan dan minuman, pakaian/perhiasan, bangunan rumah, kendaraan dan sebagainya, maupun berupa jasa, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, pariwisata, hiburan, dan sebagainya.[5]

Pada umumnya, bank konvensional membatasi pemberian kredit untuk pemenuhan barang tertentu yang dapat disertai dengan bukti kepemilikan yang sah, seperti rumah dan kendaraan bermotor, yang kemudian menjadi barang jaminan utama (main collateral). Adapun untuk pemenuhan kebutuhan jasa, bank meminta jaminan berupa barang lain yang dapat diikat sebagai collateral.sumber pembayaran kembali atas pembiayaan tersebut berasal dari sumber pendapatan lain dan bukan dari eksploitasi barang yang dibiayai dari fasilitas ini.

Bank syariah dapat menyediakan pembiayaan komersil untuk pemenuhan barang konsumsi sebagai berikut :[6]

1. Al-Bai’bitsaman ajil (salah satu bentuk murabahah) atau jual beli dengan angsuran.

2. Al-ijarah al-muntahia bit-tamlik atau sewa beli.

3. Al-Musyawarakah mutanaqhishah atau decreasing participation, dimana secara bertahap bank menurunkan jumlah partisipasinya.

4. Ar-Rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa.

C. Pembiayaan Dalam Praktek Perbankan Syariah

Dalam penyaluran dana yang berhasil dihimpun dari nasabah atau masyarakat, bank syariah menawarkan beberapa produk perbankan sebagai berikut:

1. Pembiayaan Mudharabah

Adalah Bank menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja secara penuh (trusty financing),sedangkan nasabah menyediakan proyek atau usaha lengkap dengan manajemennya.Hasil keuntungan dan kerugian yang dialami nasabah dibagikan atau ditanggung bersama antara bank dan nasabah dengan ketentuan sesuai kesepakatan bersama. Prinsip mudharabah dalam perbankan digunakan untuk menerima simpanan dari nasabah, baik dalam bentuk tabungan atau deposito dan juga untuk melakukan pembiayaan.

Adapun rukun dan syaratnya adalah sebagai berikut:

Rukun Mudharabah:

a. Ada shahibul maal (modal/nasabah)

b. Adanya mudharib (pengusaha/bank)

c. Adanya amal (usaha/pekerjaan)

d. Adanya hasil (bagi hasil/keuntungan) dan

e. Adanya aqad (ijab-qabul)

2. Pembiayaan Musyarakah adalah pembiayaan sebagian dari modal usaha,yang mana pihak bank dapat dilibatkan dalam proses manajemennya.modal yang disetor dapat berupa uang, barang perdagangan (trading asset), property, equipment atau intangible asset (seperti hak paten dan goodwiil) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.

3. Pembiayaan Murabahah dalam istilah fiqh ialah akad jual beli atas barang tertentu.dalam transaksi jual beli tersebut,penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjual belikan termaksud harga pembelian dan keuntungan yang diambil . Murabahah dalam teknis perbankan adalah akad jual beli antara bank selaku penyedia bank dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Adapun rukun dan syaratnya sebagai berikut:

Rukun Murabahah:

a. Penjual

b. Pembeli

c. Barang yang diperjual-belikan

d. Harga dan

e. Ijab-qabul

4. Pembiayaan Al Bai’Bithaman Ajil adalah pembiayaan untuk membeli barang dengan cicilan.syarat-syarat dasar dari produk ini hampir sama dengan pembiayaan murabahah. Perbedaan diantara keduanya terletak pada cara pembayaran, dimana pada pembiayaan murabahah pembayaran ditunaikan setelah berlangsungnya akad kredit, sedangkan pada pembiayaan Al Bai’Bithaman Ajil cicilan baru dilakukan setelah nasabah penerima barang mampu memperlihatkan hasil usahanya.

5. Pembiayaan Salam diaplikasikan dalam bentuk pembiayaan jangka pendek untuk produksi agrobisnis atau industri jenis lainnya.

6. Pembiayaan Isthina’ diaplikasikan dalam bentuk pembiayaan manufaktur, industri kecil-menengah,dan konstruksi.dalam pelaksanaannya pembiayaan isthina dapat dilakukan dengan dua cara,yakni pihak produsen ditentukan oleh bank atau pihak produsen ditentukan oleh nasabah.pelaksanaan salah satu dari kedua cara tersebut harus ditentukan dimuka dalam akad berdasarkan kedua belah pihak.

7. Pembiayaan sewa beli (ijarah wa iqtina atau ijarah muntahiyyah bi tamlik) adalah akad sewa suatu barang antara bank dengan nasabah, dimana nasabah diberi kesempatan untuk membeli obyek sewa pada akhir akad atau dalam dunia usaha dikenal dengan finance lease Harga sewa dan harga beli ditetapkan bersama diawal perjanjian. Dalam pembiayaan ini yang menjadi obyek sewa diisyaratkan harus barang yang bermanfaat dan dibenarkan oleh syariat dan nilai dari manfaat dapat diperhitungkan atau diukur.pembiayaan sewa beli ini dapat dilakukan dengan cara: pertama lembaga pembiayaan atau perusahaan leasing yang berdasarkan syariah Islam membeli aset yang akan dibeli oleh nasabah, setelah terbeli maka, lembaga tersebut menyewakan aset itu dalam jangka waktu dan harga yang ditentukan dalam perjanjian kedua belah pihak.

8. Hiwalah

Hiwalah adalah produk perbankan syari’ah yang disediakan untuk membantu suplier dan mendapatkan modal tunai agar melanjutkan produksinya. dalam hal ini Bank akan mendapatkan imbalan (fee) atas jasa pemindahan piutang. Besarnya imbalan yang akan diterima Bank ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan antar Bank dengan nasabah.

9. Rahn

Produk perbankan ini disediakan untuk membantu nasabah dalam pembiyaan kegiatan multiguna. Rahn sebagai produk pinjaman berarti Bank hanya memperoleh imbalan atas penyimpanan, pemeliharaan, asuransi dan administrasi barang yang digadaikan. berkenaan dengan hal tersbut maka, produk Rahn hanya digunakan bagi keperluan Sosial seperti pendidikan dan kesehatan.[7]

D. Pembiayaan Ijarah

Al-Ijarah berasal dari kata Al – Ajru yang berarti Al’Iwadhu atau berarti ganti. Dalam Bahasa Arab, Al-Ijarah diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian sejumlah uang.[8] Definisi mengenai prinsip Ijarah juga telah diatuir dalam hukum positif Indonesia yakni dalam Pasal 1 ayat 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 yang mengartikan prinsip ijarah sebagai “ transaksi sewa – menyewa atas suatu barang dan atau upah – mengupah atas suatu usaha jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. ”

Sampai saat ini, mayoritas produk pembiayaan syariah masih terfokus pada produk-produk murabahah (prinsip jual beli). pembiayaan murabahah sebenarnya memiliki persamaan dengan pembiayaan ijarah, keduanya termasuk dalam kategori Natural certainty contracts, dan pada dasarnya adalah kontrak jual beli. yang membedakan keduanya hanyalah objek transaksi yang diperjualbelikan tersebut, dalam pembiayaan murabahah, yang menjadi objek transaksi adalah barang, misalnya rumah, mobil dan sebagainya. sedangkan dalam pembiayaan ijarah, objek transaksinya adalah jasa, baik manfaat atas barang maupun manfaat atas tenaga kerja. Jika dengan pembiayaan murabahah, Bank syariah hanya dapat melayani kebutuhan nasabah untuk memiliki barang, sedangkan nasabah yang membutuhkan jasa tidak dapat dilayani. Dengan skim Ijarah, bank syariah dapat pula melayani nasabah yang hanya membutuhkan jasa.[9]

Pada dasarnya ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan membayar imbalan tertentu. Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.09/DSN/MUI/IV/2000, Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat ) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri, dengan demikian dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.

Dalam kegiatan perbankan Syariah pembiayaan melalui Ijarah dibedakan menjadi dua yaitu :

  1. Didasarkan atas periode atau masa sewa biasanya sewa peralatan. Peralatan itu disewa selama masa tanam hingga panen. Dalam perbankan Islam dikenal sebagai Operating Ijarah.
  2. Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik di beberapa negara menyebutkan sebagai Ijarah Wa Iqtina’ yang artinya sama juga yaitu sama juga yaitu menyewa dan setelah itu diakuisisi oleh penyewa ( finance lease ).[10]

Oleh karena Ijarah adalah akad yang mengatur pemanfaatan hak guna tanpa terjadi pemindahan kepemilikan, maka banyak orang menyamaratakan ijarah dengan leasing. Hal ini disebabkan karena kedua istilah tersebut sama-sama mengacu pada hal – ihwal sewa-menyewa. Karena aktivitas perbankan umum tidak diperbolehkan melakukan leasing, maka perbankan Syari’ah hanya mengambil Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik yang artinya perjanjian untuk memanfaatkan ( sewa ) barang antara Bank dengan nasabah dan pada akhir masa sewa, maka nasabah wajib membeli barang yang telah disewanya.

2. Jenis Barang Ijarah Muntahiyyah Bittamlik

Barang yang disewakan kepada nasabah umumnya berjenis aktiva tetap atau fixed assets seperti : gedung-gedung (buildings), kantor, mesin, rumah-rumah petak (tenements), atau barang bergerak yang memiliki specific fixed.[11]

3. Rukun dan Syarat Ijarah Muntahiyyah Bittamlik

  1. Rukun
    1. Penyewa (musta’ jir)
    2. Pemilik barang (mu’ajjir)
    3. Barang atau obyek sewaan (ma’jur)
    4. Harga sewa/manfaat sewa (ajran/ujran)
    5. Ijab Qabul
  2. Syarat
    1. Pihak yang saling telibat harus saling ridha
    2. Ma’ jur (Barang atau obyek sewa)

- Manfaat tersebut dibenarkan agama atau halal.

- Manfaat tersebut dapat dinilai dan diukur atau diperhitungkan.

- Manfaatnya dapat diberikan kepada pihak yang menyewa

- Ma’ jur wajib dibeli musta’ jir[12]

E. Tinjauan Yuridis Pembiayaan Berdasarkan Akad Sewa-Menyewa Dalam Praktek Perbankan Syariah.

Dalam lapangan hukum perdata prinsip Ijarah dikenal dengan istilah prinsip sewa – menyewa. Definisi sewa menyewa yang diberikan oleh Pasal 1548 KUH Perdata adalah “ suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari sesuatu barang selama satu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. “

Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna ( manfaat ) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa / upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.[13]

Dalam Peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2005 telah menetapkan syarat untuk berbagai produk perbankan syariah baik berupa penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Dibidang penghimpunan dana telah diatur simpanan yang bersifat titipan, yakni giro wadi’ah, dan tabungan wadi’ah juga simpanan bersifat investasi, yakni : giro mudharabah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.

Pada bidang penyaluran dana, Peraturan Bank Indonesia dimaksud telah mengatur dalam Pasal l6 sampai dengan Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2005 bahwa produk – produk penyaluran dana dalam perbankan syariah yaitu Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah dan Ijarah Muntahiyya Bit Tamlik serta Qardh.

Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Bank Indonesia, sewa menyewa yang disebut juga ijarah diatur lebih lanjut dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah terutama dalam pasal 28 yang menyebutkan bahwa bank wajib menerapkan Prinsip Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya meliputi:

a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yaitu:

1. Giro berdasarkan prinsip wadi’ah;

2. Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah;

3. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah;atau

4. Bentuk lain berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah

b. Melakukan penyaluran dana melalui transaksi jual beli berdasarkan prinsip:

1. Murabahah; 2. Istihna; 3. Ijarah; 4. Salam; 5. Jual beli lainnya

BAB III

P E N U T U P

Kesimpulan

Praktek sewa – menyewa dalam transaksi umum masyarakat tidak disertai dengan pemindahan hak milik. Apabila disertai dengan pemindahan hak milik maka transaksinya disebut perjanjian sewa – beli. Terhadap perjanjian sewa – beli ( leasing ) umumnya pemberian jasa pembiayaan diberikan oleh lembaga keuangan non – bank / finance . Pada praktek perbankan syariah, akad sewa – menyewa disebut Ijarah. Akad sewa – menyewa ( Ijarah ) pada perbankan syariah pada perkembangannya dapat disertai dengan pemindahan hak milik yang disebut sebagai Ijarah Muntahiyyah Bit – Tamlik ( IMBT ). Walaupun seperti terlihat mirip dengan Leasing pada praktek pembiayaan konvensional, tetapi pada perbankan syariah terdapat pembedaan, yaitu jika objek leasing hanya berlaku pada manfaat barang saja, sedangkan pada Ijarah Muntahiyyah Bit – Tamlik obyeknya bisa berupa barang maupun jasa / tenaga kerja



[1] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 14 - 15

[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press dan Tazakia Cendikia, Jakarta, 2001, hal. 34

[3] Zulfi Chairi, Pelaksanaan Kredit Perbankan Syari’ah Menurut UU No.10 Tahun 1998, e-usu Repository, 2005, hal. 3

[4] Abdul Ghofur Anshori, Perkembangan Hukum Perbankan di Indonesia, Materi kuliah Perbankan Syariah, Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2006, hal. 5-6

[5] Muhammad Syafi’i Antonio, Op.cit, hal. 168

[6] Sami Hasan Ahmad Hamoud, Tathwiir al-A’mal al – Mash – rafiyyah bima Yattafiqu wasy-Syariah al-Islamiah ( Amman : Matbaatu asy-Syarq wa Maktabatuha, 1982).

[7] Zulfi Chairi, Op.cit, hal. 12

[8] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 13, alih bahasan Kamaluddin A. Marzuki, PT. Alma’arif, Bandung, 1995, hal. 15

[9] Adiwarman A. Karim, Op.cit, hal. 137

[10] Arisson Hendry, et al., Perbankan Syari’ah Perspektif Praktisi, Muamalat Institute, Jakarta, 1999, hal. 95

[11] Ibid, hal. 96

[12] Ibid, hal. 94

[13] Adiwarman A. Karim, Op.cit, hal. 138