Materi

Referensi

Minggu, 11 Januari 2009

DR. Dhaniswara Harjono, SH. MH: Hukum Bisnis Kita Lagi Krisis

DR. Dhaniswara Harjono, SH. MH: Hukum Bisnis Kita Lagi Krisis
[8/1/09]

Melewati 2008 dan memasuki Tahun Kerbau 2009, rasa gamang masih menerpa. Pengusaha asuransi, misalnya, memprotes ketentuan modal yang ditetapkan Pemerintah.

Dunia perbankan juga gonjang ganjing antara lain tampak pada kasus Bank Century. Bank Indonesia sendiri memprediksi bahwa laju pertumbuhan ekonomi pada 2009 ini masih lamban. Dampak krisis ekonomi global tampaknya belum beranjak dari Tanah Air. Bahkan bisa jadi semakin terasa. Buktinya, korban PHK terus berjatuhan. Laju PHK terus bergerak dari satu perusahaan ke perusahaan lain.

Pemerintah sebenarnya berusaha menekan dampak krisis global tersebut. Sejumlah beleid dikeluarkan, termasuk Perppu mengenai penjaminan. Bahkan sebelum krisis, Pemerintah berusaha menarik investasi sebanyak-banyaknya dengan menjanjikan berbagai kemudahan dan fasilitas layanan. Regulasi yang menghambat direvisi.

Toh, tak semua kebijakan itu mampu menahan dampak krisis terhadap dunia usaha. Salah satunya karena regulasi yang diterbitkan saling bertentangan. Atau, terjadi kekosongan hukum akibat kurang mempersiapkan aturan teknis yang menyertai Undang-Undang. Tumpang tindih peraturan menyebabkan ketidakpastian hukum. Karena itu, Dhaniswara Harjono, menganggap hukum kita, khususnya di bidang bisnis, sudah memasuki tahap krisis.

Dhaniswara termasuk salah seorang pengusaha yang juga menggeluti bidang hukum. Sehari-hari pria kelahiran 26 Oktober 1960 ini mengelola kantor pengacara Dhaniswara Harjono & Partners di Jakarta. Ia penah menjadi kuasa hukum pelawak Barata Nugraha alias Polo ketika terjerat perkara narkoba di PN Jakarta Timur.

Sebagai pengusaha, Dhaniswara tercatat menduduki jabatan Ketua Umum HIPPI Jakarta, dan Ketua Dewan Kehormatan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) DKI Jakarta. Sebagai akademisi, Dhaniswara mengajar hukum bisnis di beberapa perguruan tinggi. Ia juga menulis sejumlah buku antara lain ‘Pemahaman Hukum Bisnis Bagi Pengusaha’ dan ‘Hukum Penanaman Modal’. Kini, ia juga mulai memasuki dunia politik.

Beberapa waktu lalu, hukumonline berkesempatan menggali pandangan Dhaniswara mengenai dampak krisis ekonomi dan antisipasi kebijakan hukum di Indonesia. Berikut petikannya.

Apakah Anda yakin regulasi dalam bidang hukum bisnis yang ada saat ini bisa menjawab kemungkinan dampak krisis ekonomi?

Kalau kita bicara mengenai hukum bisnis, memang masih jauh dari harapan. Hukum merupakan sarana pembangunan, termasuk pula pembangunan bidang bisnis. Jadi seharusnya bukan bisnisnya dulu yang maju baru hukum di belakangnya. Yang terjadi di Indonesia, bisnisnya maju hukum terbelakang. Andaikata hukum berusaha mengejar, tidak akan terkejar. Yang terjadi, peraturan-peraturan bisnis yang ada saling tumpang tindih. Yang kemudian terjadi adalah ketidakpastian hukum. Padahal, hukum yang bagus adalah hukum yang memberi kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Ini yang saya lihat masih jauh dari harapan.

Artinya, setelah krisis di depan mata, baru kita bikin peraturannya?

Ya. Kalau kita bicara krisis, ini kan situasional. Sekarang, keadaan hukum kita ya begini, penegakan hukumnya memprihatinkan. Tetapi kita tidak boleh menyerah. Dalam kondisi krisis memang akan banyak beleid yang harus dikeluarkan. Saya setuju dengan terbitnya sejumlah Perppu meskipun kepentingannya jangka pendek. Paling tidak, Perppu tersebut menjadi jurus pamungkas untuk meyakinkan masyarakat bahwa kegiatan investasi di Tanah Air masih prospektif. Sampai detik ini, saya kira kita belum memasuki yang namanya krisis. Kita baru diambang krisis. Kalau begitu, kita harus melakukan ‘perlawanan’ supaya kita tidak semakin terjerumus menuju krisis. Singapura dan Jepang sudah menyatakan negara dalam keadaan krisis. Kalau saya lihat Indonesia belum sampai ke situ.

Bukankah dengan menerbitkan Perppu berarti Pemerintah mengakui kondisi darurat perekonomian?

Keadaan darurat ya, tetapi belum krisis. Kalau kita tidak mengambil langkah-langkah yang bersifat darurat, krisis bisa terjadi di Indonesia. Kebijakan semacam Perppu justru untuk menangkal terjadinya krisis. Dampak krisis global sulit dihindari. Dengan dikeluarkannya Perppu, Pemerintah perlu meyakinkan masyarakat untuk tidak berbondong-bondong menarik dana dari Indonesia ke luar negeri. Katakanlah akibat tidak percaya kepada dunia perbankan. Untuk mengantisipasinya diterbitkan Perppu, dan ada sanksi-sanksi tegas. Jadi, selain mengeluarkan kebijakan, Pemerintahnya juga harus menegakkan hukumnya. Kepada pelaku yang membuat masyarakat tidak percaya, membuat masyarakat menjadi resah, tentu harus diambil suatu tindakan yang tegas. Saya lihat Pemerintah sudah tanggap mengambil langkah-langkah ke arah itu. Hanya, langkah itu tidak didukung perangkat hukum yang cukup. Harusnya perangkat hukum yang dibutuhkan sudah diantisipasi sejak awal. Misalnya, Perppu batas penjaminan perbankan yang 100 juta rupiah dinaikkan menjadi dua miliar. Tetapi kenapa baru sekarang terpikirkan, karena dari dulu sudah tidak layak 100 juta. Kondisi kita sudah lampu kuning benar. Jadi, perkembanhgan tersebut harus diantisipasi dengan benar. Salah ambil langkah, habislah kita.

Bagaimana Anda melihat imbas krisis kepada dunia usaha?

Saya belum sepakat dibilang krisis. Menurut saya, kita baru di ambang krisis. Bahwa sekarang situasinya semakin sulit, ya. Dunia usaha juga ada ketergantungan satu sama lain. Sekitar lima bulan lalu, perbankan langsung mengerem penyaluran dana. Itu berarti dunia usaha sudah mulai gonjang ganjing. Perusahaan besar dirugikan kreditnya, yang bawah kena dampaknya. Jadi sudah terasa multiplier effect. Jadi, sekarang butuh kebijakan-kebijakan baru lagi, terutama bagaimana UKM tidak kena dampaknya. Karena sudah terbukti UKM menjadi pahlawan dalam krisis sepuluh tahun lalu. Di dunia usaha saya lihat sudah ada somasi. Tetapi toleransi masih tetap ada. Perusahaan berusaha membicarakan ulang hak-hak dan kewajiban mereka.

Apakah sudah ada klien Anda yang mengubah klausula kontrak-kontrak mereka akibat krisis?

Sudah cukup banyak. Mereka merubah strategi. Sekarang situasinya kan lain. Biasanya berhubungan dengan perusahaan asing atau mendapat rekap dari perbankan. Ada yang resechedule, addendum perjanjian. Situasinya mengatur strategi ulang. Tapi belum sampai jadi masalah hukum. Mereka masih berusaha negosiasi ulang. Tapi 2009, kan tidak mungkin terus negosiasi. Kapan majunya. Sekarang, lagi banyak pekerjaan lawyer. Hahaha...

Sebagai akibat krisis, banyak perusahaan melakukan merger. Apakah perangkat hukum merger dalam UU No. 40/2007 sudah memadai?

Merger itu selalu dari segi bisnis. Merger sudah umum dilakukan oleh para pengusaha pada saat situasi yang terpaksa. Sekarang tentunya kita harus memfasilitasi strategi bisnis pengusaha dengan peraturan-peraturan yang ada. Saya agak khawatir dengan peraturan yang ada. UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT –red) sebetulnya cukup bagus. Hanya, peraturan pelaksanaannya belum ada, masih terlalu umum sekali. Kalau kita misalnya merujuk pada PP yang tahun 1998 apa jadinya karena kondisi UU PT 1995 dan UU PT 2007 berbeda sekali. PP lama belum dicabut. Tapi kan beda sekali dengan kondisi sekarang, sehingga sekarang ada satu kekosongan hukum.

KPPU juga sedang menyusun RPP merger. Intinya, setiap perusahaan yang mau merger harus lapor KPPU. Apakah itu dimungkinkan?

Masih ada celah hukum, wilayah abu-abu dalam merger. Kalau tidak diantisipasi, celah itu bisa dimanfaatkan oleh penjahat ekonomi, mereka memanfaatkan situasi. Syarat-syarat merger sudah jelas dalam UU PT, yakni harus memperhatikan kepentingan masyarakat, dan kepentingan persaingan usaha yg sehat. Tapi apa yang dimaksud dan masyarakat yang mana? Persaingan usaha sehat seperti apa? Batasannya kan tidak ada. Inilah yang seharusnya diterjemahkan lebih lanjut ke dalam Peraturan Pemerintah (PP). Ini yang belum ada. Menurut saya, peraturan teknis merger sangat penting. Merger bukan hanya terjadi pada perusahaan skala besar. Sekarang yang kecil-kecil juga sudah mulai merger, bergabung-bergabung. Kita lihat saja sebenarnya bukan hanya dunia usaha, dunia lawyer juga begitu. Semua mengantisipasi. Situasinya mengharuskan dunia usaha merger. Lalu, aturan mergernya apa? Saya terus terang khawatir, kita seperti lagi bermain dalam suatu rimba belantara yang nggak ada aturannya.

Kemungkinan akan diterbitkan dua PP merger terpisah. Satu PP di bawah UU Persaingan Usaha dan satu lahi di bawah UU PT.

Kita lihat sebenarnya lembaga persaingan usaha ini juga kurang powerfull. Menurut saya, UU No. 5/1999 sudah mesti direvisi. Kalau tidak, KPPU akan seperti macan ompong seperti sekarang. Saya lihat KPPU memang bisa menjadi wasit yang baik, meskipun semua tergantung pada pribadi-pribadi. Harusnya kalau undang-undangnya sudah bagus, siapapun yang mau ditaruh di lembaga itu nggak masalah. Kalau sekarang tergantung daripada figur KPPU itu sendiri karena UU kurang mendukung. Saya coba mengerti karena UU No. 5/1999 adalah semacam copy paste atas permintaan IMF. Tetapi masa hampir sepuluh tahun tidak ada perubahan.

KPPU adalah wasitnya pengusaha, tapi banyak orang tidak tertarik masuk ke dalamnya.

Betul. Seharunya KPPU adalah suatu lembaga yang terhormat sekali karena itulah wasitnya para pengusaha. Sekarang mana ada negara yang tidak ketergantungan kepada dunia usaha. Semua negara tergantung dengan dunia usaha, termasuk Indonesia.

Bagaimana dengan investasi?

Investasi itu ibarat darah dalam tubuh manusia. Dalam suatu negara, investasi selalu mendapat prioritas. Makanya, saya sangat senang sekali kegiatan presiden SBY selalu didampingi oleh Kadin (Kamar Dagang dan Industri—red). Itu satu langkah yang maju, walaupun hanya figurnya saja. Sebab, saya lihat belum bisa diimpelementasikan ke jajaran di bawahnya. Rata-rata pengusaha punya kegiatan lain, tidak full time job, beda dengan menteri. Itu juga harus diterjemahkan di wilayah-wilayah. Misalnya Gubernur harus selalu didampingi Ketua Kadin DKI Jakarta. Dengan begitu, dunia usaha akan bisa maju. Syaratnya satu: penegak hukumnya juga musti bagus, termasuk juga membuat peraturan-peraturan. Jadi, kalau dalam kegiatan bisnis ekonomi, saya masih bilang bahwa Indonesia diambang krisis. Tapi di bidang hukum, menurut saya, kita sudah krisis. Ukurannya dua: (i) adanya suatu hukum sebagai sarana pembaharuan; dan (ii) masalah penegakan hukum. Ini yang menurut saya krisis. Kalau kedua unsur itu mantap, kokoh, problem bisnis saya kira bisa diatasi meskipun dalam keadaan krisis.

Unsur mana yang paling dominan menyebabkan krisis, substansi hukum atau aparaturnya?

Yang utama tetap peraturannya sendiri. Peraturannya nggak jelas. Kita jujur sajalah. Kita sama-sama orang hukum, cari celah paling gampang. Kalau tidak bisa dihajar dari satu celah, dari celah lain bisa masuk. Semua pasti ada cara. Makanya hakim selalu masuk dalam satu wilayah yang luar biasa. Dia mau putus seperti apa selalu ada dasar hukumnya, karena diberikan ruang yang sangat luas sekali. Memang pertanggungjawaban pribadi hakim hanya kepada Yang di Atas. Cuma, dari sudut pandang mana dia masuk. Kalau dia nanya dengan penasihat hukum yang satu, ada argumentasi hukumnya. Tanya pengacara lain, argumennya juga ada. Tinggal kepada hakim untuk mempercayai argumen mana yang menurut dia benar.

Sejumlah undang-undang –misalnya UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis-- memuat rumusan kriminalisasi terhadap korporasi. Bagaimana tanggapan Anda?

Kalau bicara mengenai kriminalisasi korporasi, saya sendiri sebenarnya tidak sepakat dengan istilah itu. Dari dulu sebenarnya saua sudah sepakat bahkan saya juga selalu menyuarakan bahwa KUHP kita harus sudah diubah. Bicara soal subjek hukum jangan hanya bicara orang per orang, tapi juga termasuk korporasi, dalam hal ini badan hukum. Konsep ini yang harus diubah. Saya lihat sebenarnya dalam beberapa UU sudah masuk, ada UU Jalan, UU Pornografi, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tapi justru induknya, KUHP, belum mengakomodir itu. Saya dengar draft RUU KUHP sudah masuk. Prosesnya sudah memakan waktu lama, dan draftnya banyak sekali. Sebagai lawyer, draft itu juga saya pelajari. Lama-lama capek juga, karena pembahasannya nggak selesai.

Kondisi semacam inilah yang membuat sesuatu tidak pasti sehingga muncullah yang namanya kriminalisasi korporasi. Padahal namanya korporasi sama dengan manusia, dia bisa melakukan tindakan perdata. Dia bisa melakukan tindakan yang sifatnya pidana yang memegang kepentingan umum. Pada saat suatu korporasi memegang kepentingan umum, dia sebetulnya juga bisa dikenakan tindak pidana korporasi. Di luar negeri pun banyak kejahatan korporasi yang mengerikan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Kalau saya lihat sebenarnya Lapindo pun bisa dilakukan penyidikan karena itu sudah termasuk suatu hal yang mengerikan. Apakah terbukti atau tidak terbukti, itu diputuskan lewat pengadilan. Sebetulnya, suatu korporasi bisa dikenakan tindak pidana korporasi. Tinggal penanggungjawabnya siapa karena pidana identik dengan penahanan dan sebagainya. Selain sanksi penahahanan, mungkin ada denda. Yang jelas sebagai badan hukum, korporasi bisa melakukan tindak pidana. Asal, jangan hanya orangnya yang disalahkan. Belum tentu juga salah direksi. Mungkin salahnya korporasi secara keseluruhan.

Status badan hukum korporasi bisa dicabut kalau terbukti melakukan diskriminasi ras dan etnis. Mengapa korporasi yang dihukum, kalau misalnya yang melakukan diskriminasi hanya seseorang?

Tentunya harus lihat peraturannya, apakah ini kesalahan korporasi atau orang per orang. Kalau merupakan suatu keputusan lembaga korporasi, tentunya tanggung jawab itu ada pada korporasi. Tetapi jangan hanya menyalahkan direktur utamanya. Salahkan juga pemegang saham, karena ini keputusan RUPS –misalnya-- untuk melakukan suatu diskriminasi orang cacat. Kalau perbuatan itu dilakukan seorang manajer SDM, harusnya dia pribadi yang kena.

Bagaimana pandangan Anda tentang Perppu yang mengatur BI berwenang mengambil alih RUPS. Bukankah itu bertentangan dengan UU PT?

Sebenarnya UU yang satu dengan lainnya banyak yang saling bertentangan. Sudah banyak benar kejadian seperti ini. Apalagi kalau kedudukan peraturannya sejajar. Saya bisa mengerti. Namaya Perpu kan dikeluarkan dalam keadaan darurat. Tapi kalau ini dilegalisir menjadi suatu UU, itu yang tentunya membuat ketidakpastian hukum makin menjadi-jadi. Yang jelas memang kalau dibilang bertentangan, iya bertentangan sama sekali. Kalau dalam keadaan darurat, kenapa nggak?

Rezim yang menjadi payungnya berbeda. Rezim UU PT dan rezim UU BI.

Kedudukan kedua UU ini kan sejajar, tapi saling bertentangan. Yang satu pegang UU PT, yang lain pegang UU BI. Kondisi seperti inilah yang saya bilang sebagai krisis hukum. Ada ratusan atau ribuan Perda bermasalah, tumpang tindih dengan Perda lain, atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Bagi saya, yang pertama substansi peraturannya tidak jelas, dan kedua penegak hukumnya. Pembuat undang-undangnya sangat tidak berkualitas.

Salah satu upaya Pemerintah menyelamatkan dunia usaha adalah Peraturan Bersama empat Menteri. Tapi diprotes kalangan buruh. Bagaimana Anda melihatnya?

Saya lihat SKB –maksudnya Peraturan Bersama Empat Menteri (red) -- itu memang menunjukan adanya suatu kepanikan. Paling tidak Pemerintah mau aman sehingga mengeluarkan SKB. Biar sama-sama mengamankan semua sisi, termasuk juga masalah ketenagakerjaan. Kalau terjadi PHK besar-besaran, pasti berdampak pada krisis sosial dan ekonomi juga. Saya bisa mengerti dengan content SKB. Dari sisi struktur, mungkin SKB tidak ada bedanya dengan SK Menteri. Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan (UU No. 10 Tahun 2004 --red), kan tidak ada SK Menteri.

Menurut Anda, apakah SKB itu menjawab kebutuhan pengusaha?

Saya pikir dalam sisi teknis iya. Tapi kalau misalnya secara keseluruhan nggak cukup hanya dengan SK Menteri.

Atau, haruskah merevisi UU Ketenagakerjaan?

Itu bisa saja dilakukan. Masalahnya, kita sudah bisa bayangkan perlawanan dari tenaga kerja. Sudah ada upaya perubahan UU Ketenagakerjaan, namun mendapat perlawanan dari kalangan buruh. Sebenarnya kita harusnya menyadari bahwa UU Ketenagakerjaan di Indonesia adalah satu di antara sedikit negara yang punya UU ketenagakerjaan paling liberal. Istilahnya, undang-undang yang tidak bersahabat dengan dunia usaha, nggak menarik bagi investor. Dulu, keunggulan Indonesia salah satunya adalah tenaga kerja murah, ramah, dan bersahabat. Sekarang nggak, semua diatur. Ngeri. Buruh mengundurkan diri pun mesti bayar pengusaha. Buruh melakukan tindak pidana, bayar juga, diskors nggak ada jangka waktu. Diskors karena tindak pidana misalnya, tidak ada jangka waktu yang pasti kapan putusnya. Pidananya selesai sampai kasasi dua tahun, maka dua tahun dibayar terus.

Kondisi semacam ini, hitung-hitungan untuk dunia usaha cukup berat. Tapi sebetulnya kita mesti lihat, dampaknya adalah investor tidak mau pakai tenaga kerja yang banyak. Pengusaha menghindari padat karya. Kalau bisa pakai mesin saja. Kita harus selalu membandingkan pesaing-pesaing kita seperti Kamboja dan Vietnam. Kita masih unggul sama Burma karena Burma sistim politiknya tidak terlalu menguntungkan. Tapi kalau mendirikan pabrik, Vietnam jauh lebih menarik, perizinan cepat selesai, tidak seperti di Indonesia. Saya cuma khawatir investor lari. Kalau investor di pasar modal sudah banyak yang lari. Meskipun demikian, saya tetap optimis, banyak pengusaha berkomitmen kepada pemerintah. Walaupun perangkat hukumnya kurang, jauh dari yang diharapkan, mereka punya komitmen yang cukup baik.

Pemerintah dan DPR kan sudah membuat UU Penanaman Modal yang baru, yang lebih menarik. Apa kritik Anda?

Menurut saya substansi UU Penanaman Modal sangat menjanjikan. Hanya, kurang ‘menggigit’. Implementasinya sangat sulit dilakukan. Misalnya, di situ penanam modal dijanjikan berhak atas kenyamanan dan keamanan. Kalau kenyamanan dan keamanan mereka tidak bisa terpenuhi, harusnya negara tanggung jawab dong? Tanggungjawabnya dalam bentuk apa? Lips service UU Penanaman Modal terlalu banyak, seperti orang jualan. Saya pernah ikut sosialisasi UU Penanaman Modal di beberapa negara. Rasanya malu sendiri, manis sekali. Pada saat itu memang tidak terbukti sama sekali. Isi UU-nya manis sekali, ketahuan lagi jualan kepada investor. Sayang, daftar negatif investasinya (DNI) justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Ada pertengangan sehingga Perpres DNI berubah-ubah. Pengusaha sudah mau berinvestasi, eh tiba-tiba Perpres DNI-nya berubah.

Pada 1998, UU Kepailitan lahir untuk mengatasi dampak krisis. Kini sudah mulai diambang krisis dan UU Kepailitan sudah mulai diutak-atik.

Menurut saya, sebagian besar UU Kepailitan masih layak. Yang harus hati-hati adalah kaitan kepailitan dengan pajak. Ini menjadi senjata yang luar biasa. Katakanlah syarat untuk mempailitkan dua utang. Syarat ini selalu gampang diperoleh. Apalagi untuk perusahaan go public karena punya banyak supplier. Kadang pemohon cuma mau bikin bargaining saja. Bagaimana caranya? Pemohon kumpulan dua utang, lalu ajukan pailit. Kalau bank sih sudah ada pengamannya, harus ada izin dari BI. Untuk perusahaan go public, menurut saya harus diamankan juga. Kalau tidak, bahaya. Ini kaitannya dengan stabilitas perekonomian ya.

Selain syarat dua utang tadi, apalagi kira-kira yang perlu dikritisi?

Sebenarnya banyak. Kalau kita bicara UKM, kan banyak usaha keluarga, suami-isteri. Pengertian keluarga ini seberapa besar. Mana satu pihak, mana pihak lain. Kemudian, harus ada pengertian kepailitan kaitannya dengan pajak. Banyak orang demi menghindari pajak akhirnya mempailitkan perusahaan. Aturannya kan belum jelas juga. Solusinya, pailit saja. Sudah jadi rahasia umum, untuk menghindari tagihan, suami isteri pura-pura cerai. Itu suami isteri. Apalagi kalau cuma perusahaan. Kita musti hati-hati. Kepailitan itu diatur sebagai satu jurus pamungkas untuk tidak merugikan orang lain. Tetapi yang ada orang-orang beriktikad tidak baik sudah mendahului. Tangan UU Kepailitan belum sampai ke sini. Memang, sifatnya kasuistis. Sebagai praktisi, saya sering mengalami hal seperti itu. Perusahaan yang tadinya besar sekali, begitu dipailitkan ternyata sudah tidak ada aset apa-apa yang berharga. Kadang-kadang ini terjadi karena proses hukum terlalu lama. Malah ada pengacara yang sengaja mengulur-ulur waktu. Ada loophole yang bisa dimasuki dalam UU Kepailitan. Kita hancur karena peraturannya tidak jelas.

Bagaimana Anda melihat Sunset policy?

Kebijakan SP sebenarnya sebuah daya tarik. Tetapi ketika orang masuk ke dalamnya, luar biasa. Yang dihapuskan kan denda. Selama ini denda juga dihapus kalau kita keberatan. Jadi, tidak ada hal yang luar biasa dari SP. Dari diskusi dengan beberapa pengusaha, tidak ada hal yang luar biasa. Saya melihatnya lebih pada membangun image Ditjen Pajak yang baik bagi masyarakat. Kalau tidak bocor sih saya kira masyarakat juga rela bayar pajak. Yang penting pada saat kita tua, seperti di Eropa, negara menjamin hidup kita. Pajak ibarat membayar premi. Kalau begini, saya yakin tidak ada masalah. Tapi kalau sekarang kan belum jelas. Kita sudah membayar pajak, kita tidak tahu fasilitas apa yang kita terima. Jadi, ibaratnya pajak masih seperti uang preman. Yang gak jelas larinya kemana. Kadang-kadang uang preman masih jelas. Begitu kita bayar, kita aman misalnya. Pajak? Apa manfaatnya?

(Mys/Sut)

Tidak ada komentar: