Oleh: Frans Hendra Winarta *)
[
Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law).
Persamaan di hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan secara statis. Artinya, kalau ada persamaan di hadapan hukum bagi semua orang maka harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang. Jika ada dua orang bersengketa datang ke hadapan hakim, maka mereka harus diperlakukan sama oleh hakim tersebut (audi et alteram partem).
Persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara dinamis ini dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang tanpa memperdulikan latar belakangnya. Menurut Aristoteles, keadilan harus dibagikan oleh negara kepada semua orang, dan hukum yang mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa kecuali. Apakah orang mampu atau fakir miskin, mereka sama untuk memperoleh akses kepada keadilan.
Perolehan pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang sangat mendasar bagi setiap orang dan oleh karena itu merupakan salah satu syarat untuk memperoleh keadilan bagi semua orang (justice for all). Kalau seorang yang mampu mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seorang atau lebih advokat untuk membela kepentingannya. Sebaliknya seorang yang tergolong tidak mampu juga harus memperoleh jaminan untuk meminta pembelaan dari seorang atau lebih pembela umum (public defender) sebagai pekerja di lembaga bantuan hukum (legal aid institute) untuk membela kepentingannya dalam suatu perkara hukum. Tidak adil kiranya bilamana orang yang mampu saja yang dapat memperoleh pembelaan oleh advokat dalam menghadapi masalah hukum. Sedangkan fakir miskin tidak memperoleh pembelaan hanya karena tidak sanggup membayar uang jasa (fee) seorang advokat yang tidak terjangkau oleh mereka. Kalau ini sampai terjadi maka asas persamaan di hadapan hukum tidak tercapai.
Indonesia sebagai negara hukum telah menjamin asas persamaan di hadapan hukum, yaitu dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Persamaan di hadapan hukum tersebut dapat terwujud di dalam suatu pembelaan perkara hukum, dimana baik orang mampu maupun fakir miskin memiliki hak konstitusional untuk diwakili dan dibela oleh advokat atau pembela umum baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Hak untuk dibela advokat atau pembela umum dikatakan sebagai hak konstitusional mengingat ketentuan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini secara ekstensif dapat ditafsirkan bahwa negara bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak fakir miskin. Hak-hak fakir miskin ini meliputi hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob), sipil, dan politik dari fakir miskin. Dengan melihat kembali pada ketentuan dalam Pasal 27 ayat (1) yang dihubungkan dengan Pasal 34 (1) UUD 1945, negara berkewajiban menjamin fakir miskin memperoleh pembelaan baik dari advokat maupun pembela umum melalui suatu program bantuan hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bantuan hukum merupakan hak konstitusional bagi fakir miskin yang harus dijamin perolehannya oleh negara.
Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 adalah sebesar 37,17 juta (16,58 persen). Data statistik fakir miskin tersebut di atas membuktikan bahwa kehadiran organisasi bantuan hukum sebagai institusi yang secara khusus memberikan jasa bantuan hukum bagi fakir miskin sangat penting, agar fakir miskin memperoleh akses yang tepat untuk memperoleh keadilan. Selain itu fakir miskin yang frustrasi dan tidak puas karena tidak memperoleh pembelaan dari organisasi bantuan hukum akan mudah terperangkap dalam suatu gejolak sosial (social upheaval) antara lain melakukan kekerasan, huru-hara, dan pelanggaran hukum sebagaimana dinyatakan Von Briesen sebagai berikut:
“Legal aid was vital because it keeps the poor satisfied, because it establishes and protects their rights; it produces better workingmen and better workingwomen, better house servants; it antagonizes the tendency toward communism; it is the best argument against the socialist who cries that the poor have no rights which the rich are bound to respect.”
Keadaan ini tentunya tidak nyaman bagi semua orang karena masih melihat fakir miskin di sekitarnya yang masih frustrasi. Melihat kepada kondisi sekarang, fakir miskin belum dapat memperoleh bantuan hukum secara memadai, walaupun pada tahun 2003 Undang-Undang Advokat telah diundangkan. Undang-Undang Advokat ini memang mengakui bantuan hukum sebagai suatu kewajiban advokat, namun tidak menguraikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan bantuan hukum dan bagaimana memperolehnya. Yang terjadi selama ini adalah adanya kesemrawutan dalam konsep bantuan hukum dalam bentuk ada kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai lembaga bantuan hukum tetapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut fee, yang menyimpang dari konsep pro bono publico yang sebenarnya merupakan kewajiban dari advokat. Selain kantor advokat mengaku sebagai organisasi bantuan hukum juga ada organisasi bantuan hukum yang berpraktik komersial dengan memungut fee untuk pemberian jasa kepada kliennya dan bukan diberikan kepada fakir miskin secara pro bono publico.
Kesemrawutan pemberian bantuan hukum yang terjadi selama ini adalah karena belum adanya konsep bantuan hukum yang jelas. Untuk mengatasi kesemrawutan tersebut maka perlu dibentuk suatu undang-undang bantuan hukum yang mengatur secara jelas, tegas, dan terperinci mengenai apa fungsi bantuan hukum, organisasi bantuan hukum, tata cara untuk memperoleh bantuan hukum, siapa yang memberikan, siapa yang berhak memperoleh bantuan hukum, dan kewajiban negara untuk menyediakan dana bantuan hukum sebagai tanggung jawab konstitusional. Keberadaan undang-undang bantuan hukum digunakan untuk merekayasa masyarakat c.q. fakir miskin agar mengetahui hak-haknya dan mengetahui cara memperoleh bantuan hukum.
Sedangkan pengetahuan fakir miskin akan hak-haknya, khususnya hak asasi manusianya, baru akan diperoleh kalau ada diseminasi dan penyuluhan tentang hak-hak mereka secara masif yang merupakan gerakan nasional yang didanai oleh negara dan masyarakat. Selain itu organisasi bantuan hukum harus menyediakan upaya-upaya untuk memberdayakan masyarakat seperti penyuluhan hukum, konsultasi hukum, pengendalian konflik dengan pembelaan nyata dalam praktik di pengadilan, dan berpartisipasi dalam pembangunan dan reformasi hukum serta pembentukan hukum yaitu salah satunya dengan memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, dan jelas.
Sebelum era reformasi konsep bantuan hukum ditekankan pada konteks perlawanan fakir miskin terhadap tindakan-tindakan pemerintah yang menindas. Hal ini tampak dari beberapa kasus yang ditangani oleh YLBHI seperti kasus Kedung Ombo, Marsinah, Tanjung Priok, dan Talangsari. Namun demikian dalam pemerintahan era reformasi yang lebih menghargai hak asasi manusia dan demokrasi, gerakan bantuan hukum harus mengubah paradigmanya dari konsep bantuan hukum yang menempatkan organisasi bantuan hukum berseberangan dengan pemerintah menjadi menempatkan negara sebagai mitra organisasi bantuan hukum dalam rangka program pengentasan kemiskinan.
Pemberian bantuan hukum bagi fakir miskin tidak dapat diberikan secara parsial dan sporadis tetapi harus diberikan secara masif dan mengajak negara c.q. pemerintah serta semua unsur masyarakat untuk memperkenalkan dan mendorong bantuan hukum kepada fakir miskin baik yang berada di kota-kota maupun desa-desa. Bantuan hukum responsif memberikan bantuan hukum kepada fakir miskin dalam semua bidang hukum dan semua jenis hak asasi manusia secara cuma-cuma dengan mengajak peran serta masyarakat dan pemerintah sebagai mitra kerja. Peran serta pemerintah ini dapat terwujud dengan memasukkan program bantuan hukum ke dalam program pengentasan kemiskinan melalui pembentukan undang-undang bantuan hukum, dan penyediaan dana bantuan hukum dalam APBN yang diatur dalam undang-undang bantuan hukum.
Selain itu dalam pemberian bantuan hukum, walaupun pembelaan dilakukan untuk semua bidang hukum dan semua jenis hak asasi manusia, akan tetapi dalam praktik sehari-hari terjadi seleksi alam dimana pembelaan dilakukan menurut bidang keahlian dari masing-masing organisasi bantuan hukum, misalnya organisasi bantuan hukum yang memberikan bantuan hukum dalam bidang hukum perdata, atau hukum pidana, atau hukum tata usaha negara, atau bidang hukum lainnya. Suatu organisasi bantuan hukum tidak boleh menolak untuk memberikan bantuan hukum dalam suatu bidang hukum tertentu dan kalau tidak mempunyai keahlian dalam bidang hukum tersebut, maka perkara tersebut dapat dilimpahkan atau bekerjasama dengan organisasi bantuan hukum yang lain.
Begitu juga kalau ada pelanggaran hak asasi manusia, organisasi bantuan hukum diwajibkan membela tanpa membedakan jenis hak asasi manusia yang dilanggar. Ini disebabkan karakteristik dari hak asasi manusia itu sendiri yang bersifat non derogable atau inalienable. Sebagaimana hak politik tidaklah lebih penting dari hak ekonomi, karena dalam konsep hak asasi manusia apabila salah satu hak asasi manusia diabaikan maka semua hak asasi manusia secara keseluruhan diabaikan. Dalam pembelaan hak terhadap fakir miskin tidak boleh dibedakan apakah yang dilanggar itu hak kolektif atau hak individu dari fakir miskin, karena kedua hak tersebut sama pentingnya. Namun demikian secara operasional dimungkinkan suatu organisasi bantuan hukum memfokuskan pelayanan pada suatu bidang tertentu karena kapasitas.
Kalau ada organisasi bantuan hukum bergerak dalam bidang hukum dan hak asasi manusia tertentu, itu adalah karena kompetensi dan prioritas, selain karena adanya kebutuhan setempat. Sebagai contoh, organisasi bantuan hukum Jawa Tengah akan memprioritaskan kepada pembelaan tenaga kerja di Jawa Tengah yang tidak memperoleh perlindungan pembelaan dalam bidang hukum ketenagakerjaan dan pelanggaran hak asasi manusia berupa perlakuan yang tidak manusiawi dan kondisi kerja yang tidak layak, organisasi bantuan hukum di Jawa Barat lebih memprioritaskan kepada pembelaan dalam bidang hukum agraria khususnya hukum tanah adat dan pelanggaran dalam bidang hak asasi manusia berupa hak untuk memperoleh perlindungan atas harta benda.
Diharapkan konsep bantuan hukum responsif ini dapat memperluas jangkauan pemberian bantuan hukum bagi fakir miskin dengan menjadikannya sebagai gerakan nasional agar fakir miskin mengetahui dan dapat menuntut hak-haknya. Dalam melaksanakan gerakan nasional bantuan hukum yang diprakarsai oleh federasi bantuan hukum, perlu dimasukkan suatu program pendidikan dan pencerahan tentang apa itu bantuan hukum, mengapa ada bantuan hukum, untuk siapa bantuan hukum itu disediakan, dan bagaimana memperoleh bantuan hukum. Tanpa dilakukan secara masif program bantuan hukum tidak akan mencapai sasaran.
Program bantuan hukum yang dilaksanakan dengan melibatkan peran serta pemerintah dan masyarakat, diharapkan dapat dijadikan suatu gerakan nasional. Pemberdayaan fakir miskin ini yang dilakukan secara masif diharapkan dapat mencapai sasarannya agar fakir miskin tahu akan hak-haknya, dan diharapkan akan mengangkat harkat dan martabatnya serta kedudukan sosial ekonominya. Oleh karena itu paradigma bantuan hukum sekarang harus menyesuaikan diri atau banting setir agar sesuai dengan situasi dan kondisi sekarang. Pada gilirannya keadilan itu akan berlaku bagi semua orang tanpa membeda-bedakan asal usul dan latar belakangnya.
--------
*) Jakarta, 23 Januari 2009. Penulis adalah Advokat pada Kantor Hukum Frans Winarta & Partners dan Ketua Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia.
()
Pemerintah Terbitkan PP Bantuan Hukum Cuma-Cuma
[
Mekanisme untuk menentukan pencari keadilan yang berhak harus jelas. Jika tidak, orang berpunya pun bisa memanfaatkan bantuan hukum cuma-cuma.
Ini kabar baik bagi para pencari keadilan. Mereka yang tidak punya uang untuk membayar advokat, kini bisa mengurus perkaranya dengan didampingi seorang advokat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. PP ini malah sudah diberi nomor 83 Tahun 2008.
PP ini merupakan amanat dari pasal 22 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal ini mewajibkan advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu. Pemberian bantuan hukum itu bukan merupakan belas kasihan, tetapi lebih merupakan penghargaan terhadap hak asasi manusia dalam mewujudkan keadilan dalam masyarakat.
Lingkup bantuan hukum cuma-cuma bukan hanya yang diberikan pada setiap tingkat persidangan. Berdasarkan pasal 3 ayat (2) PP, bantuan hukum bisa juga meliputi pemberian jasa hukum di luar pengadilan. Pencari keadilan bisa berupa perseorangan, bisa juga beramai-ramai . Pasal 5 PP menyebutkan: “Permohonan bantuan hukum secara cuma-cuma dapat diajukan bersama-sama oleh beberapa pencari keadilan yang mempunyai kepentingan yang sama terhadap persoalan hukum yang bersangkutan”.
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia Denny Kailimang menyambut antusias PP ini. “Kita akan segera kerjasama dengan lembaga-lembaga bantuan dan perguruan tinggi,” ujarnya.
Organisasi Advokat dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) adalah tempat pencari keadilan mengajukan permohonan bantuan hukum cuma-cuma. Permohonan disampaikan secara tertulis berisi identitas dan uraian singkat pokok persoalan yang dimohonkan bantuan hukum. Kalau pencari keadilan tidak bisa menulis, permohonan dapat diajukan secara lisan. Keterangan lisan tersebut lalu dituangkan ke dalam bentuk tertulis oleh advokat atau petugas organisasi advokat atau LBH.
Selain menegaskan kewajiban advokat memberikan bantuan hukum probono, PP ini mengharuskan organisasi advokat/LBH menyediakan atau membentuk unit kerja khusus yang menangani bantuan hukum cuma-cuma. Menurut Denny, keharusan itu tidak menyulitkan karena pada dasarnya sudah ada kewajiban probono bagi seorang advokat sesuai amanat UU No. 18/2003. Perhimpunan Advokat Indonesia siap melaksanakan amanat itu hingga ke daerah-daerah.
Dalam catatan akhir tahun 2008, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai peradilan yang fair dan tidak memihak sudah mengalami kemajuan tetapi dalam beberapa masih terkendala. Salah satu faktor karena masih belum cukup terimplementasinya kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma sebagai mandat dari UU Advokat.
Berdasarkan penilaian YLBHI, organisasi advokat yang ada saat ini pun belum menunjukkan menciptakan program-program yang konkrit untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat yang tidak mampu. Kini, PP yang mengatur tata cara pemberian bantuan hukum cuma-cuma sudah lahir. Tinggal bagaimana organisasi advokat, LBH dan pencari keadilan mengimplementasikannya.
Direktur LBH Jakarta Asfinawati mengatakan bahwa selama ini LBH sudah berada pada tugas bantuan hukum cuma-cuma. Ia justru mengkritik PP ini karena seolah memperkecil lingkup bantuan hukum. Idealnya, bantuan hukum dibentuk lewat undang-undang, dan dimasukkan ke dalam bagian undang-undang peradilan semisal KUHAP dan UU Kekuasaan Kehakiman. “Bantuan hukum harusnya menjadi spirit dalam peraturan perundang-undangan bidang peradilan,” ujarnya.
(Mys)
Mekanisme Penentuan Penerima Bantuan Hukum Probono Harus Jelas
[
Berdasarkan PP, pencari keadilan yang berhak mendapat bantuan hukum cuma-cuma adalah orang yang tidak mampu secara ekonomis. Praktiknya, LBH menerima klien yang tidak mampu secara politik atau miskin akses terhadap peradilan.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Beleid yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada penghujung tahun 2008 itu mendorong advokat, organisasi advokat, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk memberikan bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu.
Namun, anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Frans Hendra Winarta berpendapat PP No. 83/2008 mestinya tidak melupakan esensi dasar pemberian bantuan hukum cuma-cuma atau probono, yaitu orang miskin atau kaum dhuafa. Mestinya, mekanisme penentuan penerima bantuan hukum probono, misalnya siapa yang masuk kategori tidak miskin, diperjelas.
PP 83 menggunakan istilah Pencari Keadilan yang Tidak Mampu. Yang masuk kategori ini adalah perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum advokat untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum.
Frans Hendra Winarta pernah menulis disertasi tentang “Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional” pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (2007). Dalam disertasinya, Frans antara lain menyimpulkan bahwa implementasi hak konstitusional fakir miskin untuk memperoleh bantuan hukum dalam praktik peradilan selama ini belum memperlihatkan kemajuan yang berarti. Secara umum, bantuan hukum belum dapat dijangkau oleh fakir miskin, baik di kota maupun di kawasan pedesaan.
Menurut Frans, bantuan hukum probono harus tepat sasaran. Karena itu perlu ada mekanisme untuk memastikan seseorang ‘tidak mampu’ sehingga berhak mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma. Jangan sampai terjadi penyelundupan, dimana orang mampu pura-pura menjadi orang tak mampu untuk mendapatkan bantuan hukum gratis. “Harus dipastikan untuk orang yang dhuafa, orang yang miskin. Nggak boleh untuk orang yang tidak miskin. Itu harus dipastikan dulu,” tandas Frans.
Direktur LBH Jakarta Asfinawati sepakat bahwa bantuan hukum probono diberikan kepada orang tak mampu. Namun, dalam praktiknya selama ini, LBH tak melulu memberikan bantuan kepada mereka yang miskin secara ekonomi. Ada kalanya bantuan hukum diberikan kepada orang yang ‘miskin’ akses politik seperti yang pernah dialami Sri Bintang Pamungkas. Bisa juga bantuan hukum diberikan mereka yang miskin akses terhadap keadilan dan peradilan seperti para pedagang pasar yang digusur Pemda DKI Jakarta.
Advokat senior Denny Kailimang meyakini bahwa organisasi advokat akan mampu menjalankan amanat PP untuk memberikan bantuan hukum probono kepada kalangan tidak mampu. Organisasi advokat segera menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada.
Sebaliknya, Frans Hendra Winarta masih meragukan kemampuan organisasi advokat dan LBH untuk memverifikasi dan memastikan seorang atau beberapa pencari keadilan masuk kategori tidak mampu atau bukan. Ia menyarankan sebaiknya ada peran RT, RW, Lurah atau Camat setempat. “Karena mereka yang lebih dekat dan tahu (tentang pencari keadilan –red),” ujarnya.
(Mys)
Mekanisme Penentuan Penerima Bantuan Hukum Probono Harus Jelas
[
Berdasarkan PP, pencari keadilan yang berhak mendapat bantuan hukum cuma-cuma adalah orang yang tidak mampu secara ekonomis. Praktiknya, LBH menerima klien yang tidak mampu secara politik atau miskin akses terhadap peradilan.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Beleid yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada penghujung tahun 2008 itu mendorong advokat, organisasi advokat, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk memberikan bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu.
Namun, anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Frans Hendra Winarta berpendapat PP No. 83/2008 mestinya tidak melupakan esensi dasar pemberian bantuan hukum cuma-cuma atau probono, yaitu orang miskin atau kaum dhuafa. Mestinya, mekanisme penentuan penerima bantuan hukum probono, misalnya siapa yang masuk kategori tidak miskin, diperjelas.
PP 83 menggunakan istilah Pencari Keadilan yang Tidak Mampu. Yang masuk kategori ini adalah perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum advokat untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum.
Frans Hendra Winarta pernah menulis disertasi tentang “Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional” pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (2007). Dalam disertasinya, Frans antara lain menyimpulkan bahwa implementasi hak konstitusional fakir miskin untuk memperoleh bantuan hukum dalam praktik peradilan selama ini belum memperlihatkan kemajuan yang berarti. Secara umum, bantuan hukum belum dapat dijangkau oleh fakir miskin, baik di kota maupun di kawasan pedesaan.
Menurut Frans, bantuan hukum probono harus tepat sasaran. Karena itu perlu ada mekanisme untuk memastikan seseorang ‘tidak mampu’ sehingga berhak mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma. Jangan sampai terjadi penyelundupan, dimana orang mampu pura-pura menjadi orang tak mampu untuk mendapatkan bantuan hukum gratis. “Harus dipastikan untuk orang yang dhuafa, orang yang miskin. Nggak boleh untuk orang yang tidak miskin. Itu harus dipastikan dulu,” tandas Frans.
Direktur LBH Jakarta Asfinawati sepakat bahwa bantuan hukum probono diberikan kepada orang tak mampu. Namun, dalam praktiknya selama ini, LBH tak melulu memberikan bantuan kepada mereka yang miskin secara ekonomi. Ada kalanya bantuan hukum diberikan kepada orang yang ‘miskin’ akses politik seperti yang pernah dialami Sri Bintang Pamungkas. Bisa juga bantuan hukum diberikan mereka yang miskin akses terhadap keadilan dan peradilan seperti para pedagang pasar yang digusur Pemda DKI Jakarta.
Advokat senior Denny Kailimang meyakini bahwa organisasi advokat akan mampu menjalankan amanat PP untuk memberikan bantuan hukum probono kepada kalangan tidak mampu. Organisasi advokat segera menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada.
Sebaliknya, Frans Hendra Winarta masih meragukan kemampuan organisasi advokat dan LBH untuk memverifikasi dan memastikan seorang atau beberapa pencari keadilan masuk kategori tidak mampu atau bukan. Ia menyarankan sebaiknya ada peran RT, RW, Lurah atau Camat setempat. “Karena mereka yang lebih dekat dan tahu (tentang pencari keadilan –red),” ujarnya.
(Mys)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar