Materi

Referensi

Selasa, 21 April 2009

Perbedaan Akta Otentik dengan Surat Di bawah tangan


Dalam beberapa kesempatan, saya diminta untuk menjelaskan, apa yang dimaksud dengan akta otentik dan mengapa akta notaris dianggap sebagai akta otentik. Sejak jaman Belanda, memang ada pejabat-pejabat tertentu yang ditugaskan untuk membuat pencatatan-pencatatan serta menerbitkan akta-akta tertentu mengenai keperdataan seseorang, seperti misalnya kelahiran, perkawinan, kematian, wasiat dan perjanjian-perjanjian diantara para pihak, dimana hasil atau kutipan dari catatan-catatan tersebut dianggap sebagai akta yang otentik. Arti sesungguhnya dari akta otentik adalah: akta-akta tersebut harus selalu dianggap benar, kecuali jika dibuktikan sebaliknya di muka pengadilan. Mengenai definisi dari akta otentik dituangkan dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatakan bahwa:

“akta otentik adalah akta yang (dibuat) dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai2 umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya.”

Jadi, apabila di ambil point2nya, maka yang dimaksud sebagai akta otentik harus memenuhi criteria sebagai berikut:
1. Bentuknya sesuai UU
Bentuk dari akta notaris, akta perkawinan, akta kelahiran dll sudah ditentukan format dan isinya oleh Undang-Undang. Namun ada juga akta-akta yang bersifat perjanjian antara kedua belah pihak yang isinya berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak sesuai dengan azas kebebasan berkontrak.
2.Dibuat di hadapan pejabat umum yg berwenang
3.Kekuatan pembuktian yang sempurna
4.Kalau disangkal mengenai kebenarannya, maka penyangkal harus membuktikan
mengenai ketidak benarannya

Apakah yang berhak untuk membuat akta otentik hanyalah Notaris? Tentu saja tidak, karena yang dimaksud dengan “pejabat umum yang berwenang” itu sendiri adalah pejabat yang memang diberikan wewenang dan tugas untuk melakukan pencatatan tersebut, misalnya: Pejabat KUA atau pejabat catatan sipil yang bertugas untuk mencatat perkawinan, kelahiran dan kematian, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan lain sebagainya.

Berbeda dengan akta otentik, akta di bawah tangan memiliki ciri dan kekhasan tersendiri, berupa:
1.Bentuknya yang bebas
2.Pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum
3.Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tdk disangkal oleh pembuatnya
4.Dalam hal harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi juga dengan saksi-saksi & bukti lainnya. Oleh karena itu, biasanya dalam akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan 2 orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian.

Kamis, 16 April 2009

Kelembagaan, Operasional & Pengembangan Produk Bank Syariah

Perspektif Hukum Positif

(Esei Hukum Peri Umar Farouk)

lenyapkan dirimu di hadapan Sang Wujud
agar ribuan dunia berlompatan darimu
dan wujud murnimu memancar dari dirinya sendiri
terus dan terus melahirkan bentuk-bentuk berlainan

berbahagialah ia yang menyerahkan hidupnya demi mengetahui itu!
dia meninggalkan rumah ini demi rumah selanjutnya; yang jauh lebih bercahaya

jika kau tak merasakan sakit, kau takkan mencari kesembuhan
jiwa yang tak hidup dalam Tuhan, tidaklah hidup

(Sultan Walad, mistikus Islam)

Perbankan syariah tumbuh dan dikembangkan sebagai sebuah alternatif bagi praktek perbankan konvensional. Yang dikritik dari bank yang fenomenal di abad modern kapitalis ini oleh konsep perbankan syariah, bukanlah menolak bank dalam fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan, melainkan di dalam karakteristik-karakteristiknya yang lain.
Tulisan ini akan membahas berbagai karakter pokok perbankan syariah, terutama melihatnya dengan perspektif kajian hukum (positif), yang di berbagai isu mungkin berbeda dengan yang berlaku bagi perbankan konvensional. Pembahasan akan terfokus di kelembagaan, operasional serta pengembangan produk perbankan syariah di Indonesia.

Pengaturan Kelembagaan & Operasional

Sejak UU 7/1992 Indonesia telah menganut dual banking system, yang singkatnya berarti memperkenankan dua sistem perbankan secara co-existance. Di masa UU 7/1992 dua sistem perbankan itu adalah Bank Umum dan Bank Berdasarkan Bagi Hasil (yang secara implisit mengakui sistem perbankan berdasarkan prinsip Islam). Baru melalui perubahan dengan UU 10/1998 secara terang-terangan dinyatakan bahwa dua sistem perbankan di Indonesia ini adalah: Konvensional dan Syariah.

Praktek perbankan konvensional dapat dilakukan melalui Bank Umum Konvensional serta Bank Perkreditan Rakyat (Konvensional). Keduanya diberi pengertian sbb:

Bank Umum (Konvensional) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Sedangkan Bank Syariah dapat dilakukan melalui:

  • Bank Umum Syariah
  • BPRS
  • Islamic Windows
  • Office Channeling

Bank Umum Syariah

Bank Umum Syariah adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukum yang diperkenankan adalah Perseroan Terbatas/PT, Koperasi, atau Perusahaan Daerah (Pasal 2 PBI 6/24/PBI/2004 ); dengan modal disetor sekurang-kurangnya satu trilyun rupiah (Pasal 4 PBI 7/35/PBI/2005 )

Bank Perkreditan Rakyat Syariah

Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukumnya dapat berupa: Perseroan Terbatas/PT, Koperasi atau Perusahaan Daerah (Pasal 2 PBI 6/17/PBI/2004 ). Modal disetor BPRS ditetapkan sbb:

Rp 2 milyar

Wilayah DKI Jakarta, Kab/Kota Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi

Rp 1 milyar

Wilayah ibukota propinsi di luar Wilayah DKI Jakarta, Kab/Kota Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi

Rp 500 juta

Wilayah lain

Islamic Windows

Perubahan Pasal 6 huruf m oleh UU 10/1998 terhadap UU 7/1992 menjadi jendela bagi pembukaan kantor bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah oleh Bank Umum Konvensional. Ketentuan terbaru, yakni Pasal 13 (1) PBI 8/3/PBI/2006 menetapkan pembukaan tersebut bisa dilakukan dengan cara:

  • Membuka Kantor Cabang Syariah yang baru;
  • Mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang menjadi Kantor Cabang Syariah;
  • Meningkatkan status Kantor di bawah Kantor Cabang menjadi Kantor Cabang Syariah;
  • Mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang yang sebelumnya telah membuka Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah;
  • Meningkatkan status Kantor Cabang Pembantu yang sebelumnya telah membuka Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah; dan/atau
  • Membuka Kantor Cabang Syariah baru yang berasal dari Unit Syariah dari Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang Pembantu, di lokasi yang sama atau di luar lokasi Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang Pembantu dimana Unit Syariah sebelumnya berada.

Adapun syarat-syarat pembukaan Islamic Windows dapat ditarik dari Pasal 14-16 PBI 8/3/PBI/2006 yakni:

  • menyisihkan modal kerja untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah minimum untuk mengcover biaya operasional awal, antara lain: biaya sewa gedung, gaji karyawan, dan overhead cost;
  • memenuhi rasio Kewajiban Modal Minimum bagi Unit Usaha Syariah;
  • memiliki pencatatan dan pembukuan tersendiri untuk Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
  • menyusun laporan keuangan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah;
  • memasukkan laporan keuangan di atas dalam laporan keuangan gabungan;
  • wajib mencantumkan kata “Syariah” pada setiap penulisan nama kantornya.

Office Channelling

Office Channelling merupakan istilah yang diberikan guna menandai dimungkinkannya melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah di Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang Pembantu Bank Umum Konvensional. Sebelumnya berdasarkan prinsip Islamic Windows versi PBI 4/1/PBI/2002 , praktek demikian tidak dimungkinkan. Praktek perbankan syariah tidak diperkenankan dilakukan bersama-sama dalam satu kantor yang berpraktek konvensional.

Pasal 38 (2) PBI 8/3/PBI/2006 memberi kesempatan Layanan Syariah dibuka:

  • dalam satu wilayah kerja Kantor Bank Indonesia dengan Kantor Cabang Syariah induknya;
  • dengan menggunakan pola kerjasama antara Kantor Cabang Syariah induknya dengan Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang Pembantu; dan
  • dengan mempergunakan sumber daya manusia sendiri bank konvensional yang telah memiliki pengetahuan mengenai produk dan operasional Bank Syariah.

Alasan bagi dimungkinkannya office channelling, dapat dilihat di Bagian Umum Penjelasan PBI 8/3/PBI/2006, yakni: mendorong percepatan pertumbuhan jaringan kantor Bank Umum Konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam rangka memperluas jangkauan layanan kepada masyarakat. Sekaligus dengan ini, lanjut Penjelasan tersebut memungkinkan Kantor Cabang yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri berperan serta dalam perbankan syariah.

Praktek perbankan syariah diatur lebih leluasa, karena dimungkinkannya untuk melakukan kegiatannya di Bank Umum Konvensional. Kesempatan demikian tidak diberikan peraturan perundang-undangan kepada Bank Umum Syariah untuk melakukan kegiatan usaha konvensional. Pasal 39 PBI 6/24/PBI/2004 dengan tegas melarang Bank Syariah melakukan kegiatan usaha perbankan secara konvensional; atau mengubah kegiatan usahanya menjadi bank konvensional. Sehingga beberapa kalangan menyebut bahwa ideal perbankan Indonesia adalah Perbankan Syariah.

Gambar 1: Skema Operasional Bank Syariah di Indonesia

Kegitan Usaha

Kegiatan usaha perbankan syariah diatur dalam Pasal 36 – 37 PBI 6/24/PBI/2004. Agar memudahkan pemahaman, secara garis besar kegiatan usaha perbankan syariah meliputi 9 fungsi:

(1) penghimpunan dana

Melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan (giro dan tabungan berdasar prinsip Wadi’ah) serta investasi (giro, tabungan dan deposito berdasar prinsip Mudharabah).

(2) penyaluran dana (langsung dan tidak langsung)

Pembiayaan langsung (berdasar prinsip jual beli, bagi hasil, sewa menyewa dan pinjam meminjam) serta tidak langsung/indirect finance (Bank Garansi, Letter of Credit).

(3) jasa pelayanan perbankan

Jasa pelayanan perbankan berdasarkan wakalah, hawalah, kafalah dan rahn.
Menyediakan tempat menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadi’ah yad amanah (Safe Deposit Box).

Melakukan kegiatan penitipan, termasuk penatausahaannya untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah (kustodian).

(4) berkaitan surat berharga

Membeli, menjual dan/atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan prinsip syariah.
Membeli surat berharga berdasarkan prinsip syraih yang diterbitkan Pemerintah dan/atau BI (SWBI).
Menerbitkan surat berharga berdasarkan prinsip syariah.

(5) lalu lintas keuangan dan pembayaran

Money transfer, inkaso, kartu debet/charge card, valuta asing (Sharf).

(6) berkaitan pasar modal

Wali amanat (wakalah).

(7) investasi

Penyertaan modal di bank atau perusahaan lain bidang keuangan berdasarkan prinsip syariah, seperti: sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan.

Penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan BI.

(8) dana pensiun

Pendiri dan pengurus dana pensiun (DPLK) berdasarkan prinsip syariah.

(9) sosial

Penerima dan penyalur dana sosial (Zakat, Infak, Shadaqah, Waqaf, Hibah).

Gambar 2: Kegiatan Usaha Bank Syariah

Pengembangan Produk

Di bawah merupakan lingkungan isu pengembangan produk perbankan syariah yang erat kaitannya dengan dengan berbagai aspek hukum, terutama hukum ekonomi bisnis di Indonesia:

…akad wajib dibuat sesuai ketentuan PBI 7/46/PBI/2005;

PBI 7/46/PBI/2005 telah menetapkan syarat untuk berbagai produk perbankan syariah, baik berupa penghimpunan maupun penyaluran dana. Di bidang penghimpunan dana, telah diatur simpanan yang bersifat titipan, yakni: Giro Wadi’ah dan Tabungan Wadi’ah. Juga simpanan yang bersifat investasi, yakni: Giro Mudharabah, Tabungan Mudharabah dan Deposito Mudharabah.

Di bidang penyaluran dana, PBI dimaksud telah mengatur di Bagian Kedua – Penyaluran Dana (Pasal 6 – 18 PBI 7/46/PBI/2005): Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah, Ijarah Muntahiya Bit Tamlik, dan Qardh.

Ganti Rugi

Penting dikemukakan dalam PBI 7/46/PBI/2005 berkenaan dengan pengaturan ganti kerugian (ta’widh) dalam Pembiayaan. Hal ini mengingat bahwa secara tradisional setiap bentuk penambahan apapun terhadap pokok pembiayaan merupakan bentuk-bentuk Riba’. Namun PBI dimaksud memberi kemungkinan pengenaan ganti kerugian dalam hal dan dengan syarat-syarat sbb:

  • Bank dapat mengenakan ganti rugi (ta`widh) hanya atas kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas kepada nasabah yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan Akad dan mengakibatkan kerugian pada Bank;
  • Besar ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan Bank adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang berkaitan dengan upaya Bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss/al-furshah al-dha-i’ah);
  • ganti rugi hanya boleh dikenakan pada Akad Ijarah dan Akad yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti Salam, Istishna’ serta Murabahah, yang pembayarannya dilakukan tidak secara tunai;
  • ganti rugi dalam Akad Mudharabah dan Musyarakah, hanya boleh dikenakan Bank sebagai shahibul maal apabila bagian keuntungan Bank yang sudah jelas tidak dibayarkan oleh nasabah sebagai mudharib;
  • klausul pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara jelas dalam Akad dan dipahami oleh nasabah; dan
  • Besarnya ganti rugi atas kerugian riil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Bank dengan nasabah.

Agunan/Jaminan

Hal penting lainnya yang perlu disinggung adalah berkenaan dengan jaminan. Pasal 8 UU 10/1998 menyatakan kewajiban bagi bank –dalam memberikan pembiayaan syariah, mempunyai keyakinan berdasarkan analisis mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur mengembalikan pembiayaan. Terdapat lima pokok yang perlu dikaji seksama oleh Bank sebelum memberi fasilitas pembiayaan terhadap nasabahnya, yakni: watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha.

Agunan merupakan salah satu kewajiban yang dipersyaratkan Undang-undang untuk diperjanjikan antara Bank dengan Nasabahnya dalam pembiayaan. Agunan sendiri ditetapkan menjadi 2 jenis, yang wajib serta agunan tambahan. Agunan wajib dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan pembiayaan. Sedangkan agunan tambahan adalah barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai.

Dalam perspektif syariah, pengambilan jaminan diperkenankan. Prinsip Rahn, dalam prakteknya biasa dipergunakan baik sebagai perjanjian untuk menggadaikan barang atau sebagai jaminan. Secara tradisional, pengecualian hanya ditentukan atas akad yang bersifat bagi hasil, yakni: Mudharabah dan Musyarakah. Artinya untuk Mudharabah dan Musyarakah, jaminan bagi pengembalian modal merupakan hal yang tidak sah. Namun perkembangan di dalam praktek perbankan syariah, dan telah masuk ke dalam peraturan perundangan-undangan, jaminan bagi Mudharabah dan Musyarakah pun diperkenankan. Fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) menyatakan pada Ketetapan Pertama: Ketentuan Pembiayaan butir 7:
Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.

Kemudian di Ketentuan nomor 3 huruf a butir 3 Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah, menyatakan:

Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.

Begitu pun dalam PBI 7/46/PBI/2005 Pasal 6 huruf o untuk Mudharabah dan Pasal 8 huruf o untuk Musyarakah, menetapkan:

Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad karena kelalaian dan/atau kecurangan.

Kesimpulan dari ketentuan-ketentuan tersebut adalah Bank dalam memberikan pembiayaan Mudharabah atau Musyarakah diperkenankan mengambil jaminan, tetapi pencairannya hanya dapat dilakukan bilamana Nasabah:

  • terbukti melakukan pelanggaran (penyimpangan) terhadap syarat dan kondisi akad;
  • lalai; dan/atau
  • curang.

Hal ini berarti, khusus untuk pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah, jaminan tidak berfungsi sebagai Second Way-Out, pengganti pengembalian modal yang ditanamkan Bank di usaha/proyek Nasabah. Tetapi sebagai ganti rugi adanya pelanggaran, kelalaian dan kecurangan Nasabah. Faktor analisis resiko inilah yang membedakan fungsi jaminan dalam pembiayaan Mudharabah/Musyarakah dengan pembiayaan lain terutama yang berbasis jual beli (Murabahah, Salam, Istishna’) atau Kredit. Murabahah atau Kredit misalnya, bilamana pengembalian macet dengan alasan apapun, bank dapat meminta pengganti dana yang dikeluarkannya dengan pencairan jaminan/agunan.

Selebihnya berkenaan dengan penjaminan, terutama permasalahan administrasi pendaftaran serta pencatatan (security attachment), adalah sama sebagaimana penjaminan pada umumnya.

Gambar 3: Benda & Jaminan

Penyelesaian Sengketa

Pasal 20 ayat (2) PBI 7/46/PBI/2005 menyatakan bilamana musyawarah demi menyelesaikan sengketa/perselisihan tidak tercapai, maka penyelesaian selanjutnya ‘dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa atau badan arbitrase syariah’. Frasa PBI tersebut, hemat penulis lebih baik, lebih adil dan mewakili perkembangan yang terjadi dalam bidang penyelesaian sengketa saat ini dan ke depan, dibanding dengan yang digunakan dalam fatwa-fatwa DSN. Hampir di semua fatwa DSN yang mengandung ketentuan penyelesaian sengketa, kalimat yang dipergunakan adalah sbb:

Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Kalimat dimaksud cenderung menutup peluang penggunaan forum lain yang telah dan mungkin akan tersedia untuk diakses masyarakat dalam memproses keadilannya di bidang ekonomi syariah.
Saat ini yang erat dihubungkan sebagai potensi forum untuk penyelesaian sengketa di bidang ekonomi syariah, disamping Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang secara implisit ditunjuk sebagai Badan Arbitrase Syariah dalam fatwa-fawta DSN, juga ada Peradilan Agama. Melalui perubahan UU 3/2006 terhadap Pasal 49 UU 7/1989 tentang Peradilan Agama ditentukan bahwa:

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) perkawinan; (b) waris; (c) wasiat; (d) hibah; (e) wakaf; (f) zakat; (g) infaq; (h) shadaqah; dan (i) ekonomi syariah .

Dengan Pasal tersebut, Pengadilan Agama mempunyai kompetensi absolut sebagai forum litigasi menyelesaikan perkara bidang ekonomi syariah, yang termasuk di dalamnya isu-isu perbankan syariah.

Disamping itu, terdapat lingkungan lain penyelesaian sengketa yang terus berkembang di Indonesia yang potensial lebih diakses masyarakat ekonomi bisnis, yakni melalui Penyelesaian Sengketa Alternatif (PSA). Sebagai contoh adalah adanya pengaturan ‘Mediasi Perbankan’ sebagai inisiatif BI melalui PBI 8/5/PBI/2006 . Mediasi model ini rencananya akan dilakukan oleh lembaga mediasi perbankan independen yang dibentuk asosiasi perbankan. Pembentukannya diharapkan selesai sebelum 31 Desember 2007. Selama belum terbentuk, BI menyediakan fasilitas bagi Bank dan/atau Nasabah untuk melakukan mediasi, hanya terbatas pada ‘upaya membantu Nasabah dan Bank mengkaji ulang sengketanya secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan’.

…wajib menegaskan jenis transaksi syariah yang digunakan;

Tidak seperti jenis-jenis simpanan di bank konvensional, yang disepakati dalam formulir pembukaan rekeningnya bersifat titipan namun dijanjikan keuntungan bunga; atau kredit, yang semuanya bisa ditampung dalam bentuk perjanjian yang serupa: Perjanjian Kredit, transaksi perbankan Syariah karena berbasis pada transaksi-transaksi tradisional yang diperkenankan Islam, setiap kebutuhan dana atau pembiayaan membawa pilihan terhadap jenis transaksi syariah tertentu. Secara umum jenis-jenis transaksi itu dinamakan Prinsip Syariah. Dengan pilihan itu kemudian akan dipahami posisi para pihak dalam perjanjian, apa peruntukannya, manfaat apa yang boleh diambil, resiko apa yang mungkin dihadapi, serta penanganan ganti rugi dan jaminan.

Agar lebih tergambar konsekuensi hukumnya, secara pokok Syariah membagi akad menjadi yang bersifat komersil (Tijarah) dan non komersil (Tabarru’). Tijarah pada hakekatnya memang diperuntukkan untuk mengambil keuntungan, sedangkan Tabarru’ lebih sebagai media mempermudah pelayanan/kebaikan antar manusia. Pendapat dominan para terpelajar bidang keuangan syariah berpendirian bahwa akad Tijarah hanyalah akad-akad yang berbasis jual beli (Murabahah, Salam, Istishna); bagi hasil (Mudharabah, Musyarakah); dan sewa menyewa (Ijarah, IMBT). Selebihnya: qardh, wadiah, rahn, kafalah, hawalah, wakalah, sharf merupakan akad-akad yang Tabarru’.

Gambar 4: Prinsip Syariah

…tidak boleh mengandung unsur Gharar, Maysir, Riba, Zalim, Riswah, serta Barang Haram & Maksiat;

Aspek pertama yang mendapat kritikan keras dari konsep perbankan syariah adalah konsep bunga sebagai dasar manfaat transaksi bank. Bunga dipandang tidak adil, mengingat ia menghilangkan keterkaitan antara untung rugi dengan resiko. Dalam konsep konvensional, Bank harus menanggung keuntungan Nasabah Penyimpan apapun yang terjadi dengan kinerja usahanya. Resiko kegagalan usaha yang menyebabkan bank merugi misalnya tidak dapat dijadikan rasio untuk tidak membayar bunga Simpanan sebagaimana dijanjikan sebelumnya. Dan sebaliknya Nasabah Debitur dengan kebutuhan apapun yang telah difasilitasi dengan Kredit harus tetap membayar kewajiban bunga kepada Bank, tanpa dapat mengemukakakan alasan apapun berkenaan dengan resiko untung rugi bisnisnya.

Perbankan syariah berkehendak mengembalikan transaksi-transaksi tersebut pada hakikatnya. Niat menyimpan akan dijawab oleh transaksi yang sifatnya non komersial. Niat pemilikan/konsumtif akan dilayani dengan transaksi komersial jual beli. Dan investasi akan diupayakan dalam fasilitas-fasilitas yang diproyeksikan menguntungkan. Dengan demikian para pihak akan terdidik dengan pilihan transaksinya, yang dengan itu juga sadar mengenai ada tidaknya manfaat serta macam resiko yang dihadapinya.

Pertanyaannya kemudian: bilamana bunga merupakan model manfaat yang tidak diperkenankan secara syariah, maka manfaat apakah yang bisa diambil para pihak dalam transaksi perbankan?
Peraturan perundang-undangan Indonesia di bidang perbankan memang tidak sekaligus mengatur mengenai penghapusan bunga, melainkan telah memberi tempat tumbuhnya alternatif selain bunga. Butir 12 Pasal 1 UU 10/1998 eksplisit menyatakan adanya frasa ‘imbalan atau bagi hasil’ sebagai manfaat yang bisa diambil Bank dari skema Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. Frasa tersebut seperti menggantikan manfaat yang biasa diambil Bank dari skema Kredit sebagaimana diatur di butir sebelumnya Pasal bersangkutan. Lengkapnya sbb:

Butir 11 UU 10/1998:

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga;

Butir 12 UU 10/1998:

Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil;

Imbalan atau bagi hasil sendiri bila dijelaskan kemudian adalah merupakan frasa yang mewakili berbagai bentuk manfaat tradisional dari jenis-jenis perjanjian yang dibolehkan secara Islam (Mu’amalat). Bila dibandingkan lengkap dengan kredit, maka tampak sbb:

PRINSIP

MANFAAT

PERHITUNGAN

Kredit/Simpanan

Bunga

Persentase dari pokok

Jual Beli (Murabahah, Salam. Istishna)

Marjin

Mark-up/Persentase dari pokok

Bagi Hasil (Mudharabah, Musyarakah)

Nisbah Bagi Hasil

Persentase dari keuntungan

Sewa menyewa (Ijarah, IMBT)

Sewa/Ujrah

x

Pinjam Meminjam (Qardh)

Biaya Adminsitrasi

x

Wadi’ah, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, Sharf

Biaya Administrasi

x

Perkembangan kemudian di Indonesia, hukum positif sebagaimana berdasarkan Pasal 2 (3) PBI 7/46/PBI/2005 menyatakan bahwa bukan saja sistem bunga (yang sering secara umum dipersamakan dengan Riba’) yang tidak boleh ada dalam transaksi syariah, melainkan juga:

Gharar

Transaksi yang mengandung tipuan dari salah satu pihak sehingga pihak yang lain dirugikan

Maysir

Transaksi yang mengandung unsur perjudian, untung-untungan atau spekulatif yang tinggi

Riba

Transaksi dengan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan ajaran Islam

Zalim

Tindakan atau perbuatan yang mengakibatkan kerugian

Risywah

Tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau bentuk lainnya yang melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam suatu transaksi

Barang Haram & Maksiat

Barang atau fasilitas yang dilarang dimanfaatkan atau digunakan menurut hukum Islam

MENGENAL LEGAL DUE DILIGENCE

PENDAHULUAN

Legal Due Diliegence atau Uji Tuntas Dari Segi Hukum merupakan pemeriksaan atau audit menyeluruh terhadap suatu badan hukum dilihat dari sisi legalitas badan hukum tersebut. Dalam keseharian, kita lebih mengenal audit dari segi keuangan yang biasa dilakukan oleh akuntan untuk membuat laporan keuangan pada akhir tahun buku suatu badan hukum.

Menurut Standar Profesi Konsultan Hukum Pasar Modal yang dikeluarkan oleh Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal tertanggal 18 Februari 2005, Uji Tuntas Dari Segi Hukum (Legal Due Diligence) untuk selanjutnya disebut Uji Tuntas adalah kegiatan pemeriksaan secara seksama dari segi hukum yang dilakukan oleh Konsultan Hukum terhadap suatu perusahaan atau obyek transaksi sesuai dengan tujuan transaksi, untuk memperoleh informasi atau fakta material yang dapat menggambarkan kondisi suatu perusahaan atau obyek transaksi.

Dalam kenyataannya Uji Tuntas tidak hanya berguna untuk kegiatan transaksi di Pasar Modal saja, akan tetapi juga untuk transaksi di luar pasar modal, seperti akuisisi suatu perusahaan oleh investor, pemberian kredit oleh kreditur maupun bagi internal perusahaan sendiri.


MANFAAT UJI TUNTAS

Secara singkat, manfaat uji tuntas adalah :

1. secara umum adalah untuk mengetahui riwayat perusahaan dari segi hukum atas perusahaan dari mulai pendirian sampai dengan kondisi terakhir perusahaan tersebut, terutama dari segi riwayat permodalan, riwayat pemegang saham, izin-izin yang dimiliki, aset-aset yang dimiliki perusahaan, hutang-hutang perusahaan beserta pembatasan-pembatasan yang dikenakan kepada perusahaan karena adanya hutang, aset yang dijaminkan amuapun perkara yang sedang dihadapai oleh perusahaan.

2. Bagi investor adalah untuk mengetahui riwayat perusahaan dari segi hukum atas perusahaan target dari mulai pendirian sampai dengan kondisi terakhir perusahaan target tersebut.

3. Bagi kreditur adalah untuk mengetahui kondisi legalitas perusahaan yang akan menjadi debiturnya, termasuk aset-aset yang dimiliki baik yang berupa benda bergerak maupun tidak bergerak, dan aset yang telah dijaminkan kepada kreditur lainnya, kondisi perjanjian hutang dengan kreditur lainnya.

4. Bagi internal perusahaan adalah sebagai kontrol atas jangka waktu izin-izin yang dimiliki oleh perusahaan, jangka waktu sertifikat kepemilikan aset seperti sertifikat tanah atau asuransi, tindakan-tinbdakan yang harus mendapat izin kreditur jika perusahaan mempunyai perjanjian kredit serta koreksi atas hal-hal yang masih harus dilengkapi oleh perusahaan.

5. Bagi Konsultan hukum adalah sebagai dasar untuk membuat legal opini atas perusahaan yang di uji tuntas tersebut, sesuai dengan tujuan dan keperluan dibuatnya uji tuntas.

6. Bagi masyarakat umum, adalah sebagai bahan informasi tentang perusahaan (tentunya perusahaan publik saja) dan bahan pertimbangan untuk membeli saham atau produk lainnya jika ingin berinvestasi di pasar modal.


MATERI UJI TUNTAS

Sesuai dengan Standar yang dikeluarkan oleh HKHPM, secara umum materi Uji Tuntas secara menyeluruh adalah sebagai berikut:

a. Anggaran dasar Perusahaan
a.1. Pemeriksaan terhadap anggaran dasar meliputi antara lain:
i. akta pendirian Perusahaan;
ii. seluruh perubahan anggaran dasar.

a.2. Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai anggaran dasar adalah:
iii. kegiatan usaha Perusahaan;
iv. ketentuan mengenai pengangkatan direksi dan komisaris; dan
v. pengaturan dan tata cara mengenai pelaksanaan rapat-rapat umum baik RUPS Tahunan maupun RUPS Luar Biasa dan apakah putusan RUPS telah diambil sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar.

b. Notulen rapat
b.1. Pemeriksaan terhadap notulen rapat meliputi antara lain:
i. notulen Rapat Direksi;
ii. notulen Rapat Komisaris; dan
iii. notulen Rapat Umum Pemegang Saham.

b.2. Notulen rapat sebagaimana tersebut pada huruf b.1. adalah notulen rapat yang diselenggarakan dalam lima tahun terakhir, dengan memperhatikan jangka waktu penyimpanan dokumen oleh Perusahaan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b.3. Khusus untuk notulen rapat yang berhubungan dengan perubahan ketentuan anggaran dasar dan pengalihan saham, diperlukan pemeriksaan sejak pendirian Perusahaan.


c. Saham dan permodalan
c.1. Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai saham adalah:
i. jenis saham yang telah dikeluarkan oleh Perusahaan dan hak-hak yang melekat pada masing-masing jenis saham tersebut.
ii. sejarah kepemilikan saham Perusahaan sejak didirikan hingga dibuatnya Laporan Uji Tuntas, serta apakah perubahan tersebut telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c.2. Hal yang perlu diperiksa mengenai permodalan adalah:
iii. sejarah permodalan Perusahaan sejak didirikan hingga dibuatnya Laporan Uji Tuntas,
iv. apabila terdapat perubahan dalam permodalan, apakah perubahan tersebut telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam anggaran dasar Perusahaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c.3. Pemeriksaan atas saham dan permodalan dapat dilakukan dengan melihat Buku Daftar Saham dan Buku Daftar Khusus dari Perusahaan.


d. Direksi dan dewan komisaris
d.1. Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai direksi dan dewan komisaris:
i. susunan direksi dan dewan komisaris yang sedang menjabat;
ii. identitas diri.

d.2. Konsultan Hukum wajib memperoleh surat pernyataan masing-masing anggota direksi dan dewan komisaris Perusahaan mengenai apakah masing-masing dari mereka terlibat atau tidak dalam perkara pidana, perdata, kepailitan, pajak, perburuhan, arbitrase atau perkara lainnya.

e. Ijin dan persetujuan
e.1. Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai ijin dan persetujuan:
i. jenis;
ii. jangka waktu;
iii. instansi yang menerbitkan;
iv. pemegang ijin;
v. hak, kewajiban, dan larangan;
vi. sanksi; dan
vii. pentaatan.

e.2. Konsultan Hukum wajib melakukan pemeriksaan atas ijin dan persetujuan material yang berhubungan dengan kegiatan usaha, kepemilikan aset tertentu, dan pengelolaan lingkungan dari instansi yang berwenang yang disyaratkan agar Perusahaan dapat melakukan kegiatan usahanya atau memiliki, menguasai, menempati, dan menggunakan aset yang dimiliki. Banyaknya jenis ijin dan persetujuan yang harus dilihat disesuaikan dengan kegiatan usaha Perusahaan.


f. Aset

f.1. Pemeriksaan atas aset meliputi aset bergerak dan tidak bergerak.
f.2 Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai aset:
i. status kepemilikan atau penguasaan atas aset;
ii. sengketa atas aset yang dimiliki atau dikuasai Perusahaan, apabila ada; dan
iii. pembebanan atas aset yang dimiliki atau dikuasai Perusahaan.

g. Asuransi
g.1. Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai asuransi:
i. penanggung;
ii. jenis asuransi;
iii. resiko yang ditanggung;
iv. obyek yang diasuransikan;
v. jumlah pertanggungan;
vi. jangka waktu asuransi; dan
vii. klausula bank, bila ada.

g.2. Konsultan Hukum wajib memperoleh pernyataan dari direksi mengenai apakah seluruh aset material Perusahaan telah diasuransikan dan apakah jumlah pertanggungan adalah memadai untuk mengganti obyek yang diasuransikan atau menutup resiko yang dipertanggungkan.

h. KetenagakerjaanHal-hal yang perlu diperiksa mengenai ketenagakerjaan:
i. bukti pendaftaran tenaga kerja perusahaan;
ii. Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau peraturan perusahaan;
iii. penggunaan tenaga kerja asing;
iv. jaminan sosial karyawan dan keikutsertaan dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK);
v. program dana pensiun untuk karyawan;
vi. pemenuhan ketentuan Upah Minimum Regional (UMR); dan
vii. izin-izin khusus di bidang ketenagakerjaan (misalnya untuk mempekerjakan karyawan di malam hari).

i. Perjanjian-perjanjian material yang mengikat Perusahaan, termasuk perjanjian yang mengandung unsur benturan kepentingan dan perjanjian-perjanjian sehubungan dengan transaksi yang akan dilakukan.
Hal-hal yang perlu diperiksa mengenai perjanjian tersebut adalah:
i. pihak dalam perjanjian;
ii. obyek perjanjian;
iii. nilai perjanjian;
iv. hak dan kewajiban para pihak;
v. pembatasan-pembatasan bagi para pihak sesuai dengan transaksi yang akan dilakukan;
vi. klausula pengakhiran
vii. kalusula cidera janji
viii. pentaatan.


j. Pemeriksaan atas perkara yang melibatkan Perusahaan

j.1. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan atas perkara, sengketa lainnya atau klaim yang mungkin timbul yang melibatkan Perusahaan dan secara material dapat mempengaruhi keadaan keuangan Perusahaan.

j.2. Konsultan Hukum wajib memperoleh surat keterangan dari badan peradilan yang berwenang apakah Perusahaan terlibat perkara di muka pengadilan, pengadilan niaga, arbitrase, pajak atau sengketa lainnya.

j.3. Konsultan Hukum wajib memperoleh surat pernyataan dari direksi apakah Perusahaan terlibat perkara di muka pengadilan, pengadilan niaga, arbitrase, pajak atau sengketa lainnya atau klaim yang mungkin timbul, yang secara material dapat mempengaruhi kelangsungan usaha Perusahaan.

k. Laporan keuangan dan management letter. Sebagai sumber informasi tambahan, Konsultan Hukum wajib mempelajari laporan keuangan Perusahaan yang telah diaudit beserta management letter yang telah dikeluarkan oleh auditor terkait untuk lima tahun terakhir.

RESTRUKTURISASI HUTANG

Muchammad Alfarisi, SH., M.Hum.

Restrukturisasi hutang merupakan salah satu alternatif untuk menyelesaikan kredit macet yang terjadi. Program Restrukturisasi hutang biasanya diberikan kepada Debitur yang kreditnya macet bukan karena Debitur tersebut nakal atau sengaja tidak mau membayar Hutangnya tersebut. Biasanya ada dua syarat yang dilihat oleh kreditur untuk merestrukturisasi hutang Debitur. Yang pertama Debitur tersebut adalah Debitur Bonafide artinya Debitur tersebut adalah orang yang dikenal dalam dunia usaha dan kredibilitasnya dapat dipercaya. Syarat yang kedua adalah adanya penilaian dari kreditur bahwa Usaha Debitur termasuk usaha yang "Going Concern" atau usaha tersebut masih dianggap berprospek dan menguntungkan untuk tetap dilanjutkan.
Dalam rangka proses restrukturisasi hutang, biasanya Kreditur akan memberikan konsesi atau keringanan kepada Debitur yang diberikan secara bertahap. Adapun bentuk-bentuk konsesi tersebut antara lain :

1. Perubahan isi perjanjian kredit asal. Biasanya perubahan ini dalam bentuk perubahan jenis mata uang yang digunakan. Jika digunakan klausula single curency loan maka biasany dirubah menjadi multi curency loans . Fasilitas ini diberikan untuk memberikan keringanan jumlah yang harus dibayar oleh Debitur kepada Kreditur dalam bentuk mata uang asing lainya yang mempunyai kurs lebih menguntungkan jika di bandingkan dengan nilai mara uang rupiah.
2. Penurunan tingkat suku bunga dalam hal Interest basis atau Bunga pokok. Misalnya dari 10% diturunkan menjadi 7,5%.
3. Penurunan tingkat suku bunga dalam hal Cost basis, yaitu suku bunga yang ada dalam SIBOR atau LIBOR. Contoh : Bunga LIBOR/SIBOR + Margin 2%,. Dalam hal ini margin sebesar 2% di hapus.
4. Klausula Default Interest besarnya dikurangi sebagian.
5. Klausula Default Interest besarnya dikurangi seluruhnya.
6. Bunga yang telah jatuh tempo di hapus sebagian.
7. Bunga yang telah jatuh tempo di hapus seluruhnya
8. Bunga yang belum jatuh tempo di hapus sebagian.
9. Bunga yang belum jatuh tempo di hapus seluruhnya
10. Hutang pokok dihapus sebagian (hair cut).
11. Resechedulling atas grace periode, yaitu Debitur tidak wajib membayar hutang pokok terlebih dahulu.
12. Resechedulling Installment yaitu penjadwalan kembali pembayaran hutang pokok.
13. Refinancing atau pengalihan hutang, dari satu bank ke bank yang lainya.

Restrukturisasi Hutang biasanya dituangkan dalam bentuk perjanjian. Dalam perjanjian restrukturisasi itulah akan diatur pola-pola restrukturisi hutang Debitur, beserta tata cara pembayarannya. Dalam perjanjian restrukturisasi biasanya akan dicantumkan klausula pengaman yang bertujuan untuk mencegah Debitur kembali wansprestasi atas Perjanjian Restrukturisai. Klausula pengaman tersebut dinamakan "Recapture Clause". Klausula ini berisi pernyataan bahwa konsesi-konsesei yang telah diberikan oleh Kreditur kepada Debitur akan dicabut jika ternyata Debitur melakukan Wanprestasi lagi atas Perjanjian Restrukturisasi tersebut, dan terhadap Debitur akan diberlakukan kembali klausula-klausula seperti yang tertera pada perjanjian kredit awal sebelum restrukturisasi.

Dalam hal setelah dilakukan restrukturisasi hutang, debitur tetap tidak mampu membayar hutangnya, dan ketidak mampuan tersebut bukan karena I’tikad yang buruk, maka biasanya hutang tersebut akan dikonversikan menjadi asset tertentu seperti saham ataupun asset berupa barang lainnya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut dikenal tiga pola penukaran asset yaitu :

1. Debt to Asset Swap (hutang ditukar dengan asset), pola ini berupa pembayaran hutang dengan cara debitur menyerahkan asset-aset yang dimilikinya, diluar asset jaminan kepada kreditur. Dimana nantinya saet-saet tersebut biasanya akan di lelang oleh Kreditur untuk mendapat pelunasan.

2. Debt to Equity Swap (hutang ditukar dengan saham milik perusahaan yang berhutang). Pola ini berupa konversi hutang menjadi saham Debitur, sehingga setelah konversi kreditur akan menjadi pemegang saham debitur.

3. Debt to Quasy Equity Swap (hutang ditukar dengan saham perusahaan lain yang dipunyai oleh Debitur). Pola ini berupa konversi hutang menjadi saham-saham di anak perusahaan atau perusahaan terafiliasi Debitur, sehingga setelah konversi kreditur akan menjadi pemegang saham di anak perusahaan atau perusahaan afiliasi debitur

Minggu, 05 April 2009

Komparasi Risiko Bank Syariah versus Bank Konvensional

Bisnis adalah suatu aktifitas yang selalu berhadapan dengan resiko dan return. Bank syari’ah dan bank konvensional adalah salah satu unit bisnis. Oleh karena itu, bank syari’ah dan bank konvensional juga menghadapi risiko yang ada dalam industri perbankan yaitu risiko pasar, kredit, likuiditas, operasional, hukum, reputasi, strategi dan ekuitas. Komponen risiko pasar dapat di kelompokkan sebagai risiko tingkat suku bunga, risiko nilai tukar dan risiko harga. Namun, karena karakteristik yang spesifik dari transaksi bank syari’ah yang kontrak transaksinya tidak didasarkan tingkat suku bunga, maka risiko perubahan tingkat suku bunga bukan merupakan komponen risiko pasar yang dihadapi bank syari’ah. Oleh karena itu artikel ini akan membahas perbandingan risiko pada bank syariah dengan bank konvensional.

Pada Bab II pasal 4 butir 1 PBI No. 5/8/PBI/2003 disebutkan bahwa risiko-risiko yang terdapat pada perbankan, antara lain :

a. Risiko Kredit (credit risk)

Adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak memenuhi kewajibannya. Pada bank umum, pembiayaan disebut pinjaman, sementara di bank syariah disebut pembiayaan, sedangkan untuk balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam persentase yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada bank syariah, tingkat balas jasa terukur oleh sistem bagi hasil dari usaha. Selain itu, persyaratan pengajuan kredit pada perbankan syariah lebih ketat dari perbankan konvensional sehingga risiko kredit dari perbankan syariah lebih kecil dari perbankan konvensional.

Oleh sebab itu pada sisi kredit, dalam aturan syariah, bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli murabahah.

Mekanisme seperti itu, akan mencegah kemungkinan dana kredit digunakan untuk transaksi spekulasi, atau untuk jual beli valas. Jika terjadi default, bank mudah mendapatkan dananya kembali karena ada aset yang nilainya jelas berupa sejumlah kredit yang dikucurkan. Dalam bank syariah, karakter nasabah (personal garansi) lebih dinomorsatukan, ketimbang cover guarantee berupa aset (Karim, 2003).

Dengan demikian debitor yang dinilai tidak cacat hukum dan kegiatan usahanya berjalan baik akan mendapat prioritas. Oleh sebab itu, risiko bank syariah sebetulnya lebih kecil dibanding bank konvensional. Bank syariah tidak akan mengalami negative spread, karena dari dana yang dikucurkan untuk pembiayaan akan diperoleh pendapatan, bukan bunga seperti di bank biasa.

b. Risiko Pasar

Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar antara lain adalah suku bunga dan nilai tukar. Pada perbankan syariah tidak terdapat risiko pasar dikarenakan perbankan syariah tidak melandaskan operasionalnya berdasar risiko pasar.

c. Risiko Likuiditas

Risiko antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. Bank memiliki dua sumber utama bagi likuiditasnya, yaitu aset dan liabilitas. Apabila bank menahan aset seperti surat-surat berharga yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan dananya, maka resiko likuiditasnya bisa lebih rendah. Sementara menahan aset dalam bentuk surat- surat berharga membatasi pendapatan, karena tidak dapat memperoleh tingkat penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan pembiayaan.

Faktor kuncinya adalah bank tidak dapat leluasa memaksimumkan pendapatan karena adanya desakan kebutuhan likuiditas. Oleh karena itu bank harus memperhatikan jumlah likuiditas yang tepat. Terlalu banyak likuiditas akan mengorbankan tingkat pendapatan dan terlalu sedikit akan berpotensi untuk meminjam dana dengan harga yang tidak dapat diketahui sebelumnya, yang akan berakibat meningkatnya biaya dan akhirnya menurunkan profitabilitas. (Zaenal Arifin, :66)

Pada bank syariah, dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana.

Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko.

d. Resiko Operasional (operational risk)

Menurut definisi Basle Committe, resiko operasional adalah resiko akibat dari kurangnya sistem informasi atau sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak diharapkan. Resiko ini lebih dekat dengan keasalahan manusiawi (human error), adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko operasional .

e. Risiko Hukum

Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau lemahnya perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat sahnya kontrak. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko hukum.

f. Risiko Reputasi

Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko reputasi.

g. Risiko Stratejik

Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko stratejik.

h. Risiko Kepatuhan

Risiko yang disebabkan bank tidak memenuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko kepatuhan.