Materi

Referensi

Minggu, 01 Februari 2009

Hakim Akui Inkonsistensi UU Hak Tanggungan

Hakim Akui Inkonsistensi UU Hak Tanggungan

Pada umumnya hakim berpendapat bahwa eksekusi hak tanggungan harus melalui pengadilan.
Keluhan atas materi Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU Hak Tanggungan) ternyata bukan hanya datang dari akademisi dan perbankan, tetapi juga hakim. Hakim Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, Elang Prakoso, mengakui inkonsistensi tersebut, dan dalam praktik menimbulkan masalah. “(Inkonsistensi) inilah yang menimbulkan persoalan di lapangan,” ujarnya.

Pernyataan itu disampaikan Elang Prakoso saat tampil sebagai pembicara dalam Seminar Nasional “Quo Vadis Eksekusi Hak Tanggungan” di Jakarta, 20 Januari lalu. Seminar ini merupakan kerjasama Pengkajian dan Studi Hukum (LPSH/HILC) dan Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta, dengan hukumonline. Sebelumnya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sahid, St. Laksanto Utomo mengatakan bahwa prosedur eksekusi hak tanggungan menyulitkan.

Kesulitan seperti dilansir Laksanto diamini Prakoso. Salah satu penyebabnya karena materi UU Hak Tanggungan sendiri terkesan saling bertentangan. Berdasarkan pasal 20 UU Hak Tanggungan, pada prinsipnya ada tiga cara eksekusi hak tanggungan. Pertama, eksekusi berdasarkan janji untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri. Kedua, eksekusi berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan. Ketiga, eksekusi melalui penjualan objek hak tanggungan dilaksanakan di bawah tangan berdasarkan ksepakatan yang dibuat antara pembeli dan pemegang hak tanggungan. Dari ketiga cara eksekusi itu, cara pertama yang relatif menimbulkan masalah.

Berdasarkan pasal 6 UU Hak Tanggungan, jika debitur cedera janji atau wanprestasi, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum. Pelunasan piutang diambil dari hasil lelang. Inilah yang lazim disebut parate eksekusi. Rumusan ini berasal dari pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata.

Merujuk rumusan pasal 6, proses eksekusi dilakukan tanpa campur tangan atau melalui pengadilan. Dengan kata lain, tak perlu meminta fiat eksekusi dari ketua pengadilan negeri. Mengapa? “Hak dari pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri adalah hak berdasarkan Undang-Undang”. Jadi, tanpa perjanjian pun, hak itu sudah lahir.

Coba bandingkan dengan ketentuan pasal 11 ayat (2) huruf e UU Hak Tanggungan. Berdasarkan aturan ini, akta pemberian hak tanggungan dapat dicantumkan janji-janji. Misalnya janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek hak tanggungan jika debitur cedera janji. Suatu janji belum ada jika kedua belah pihak belum bersepakat.

Inilah yang dimaksud Elang Prakoso inkonsisten dan dalam praktik bisa membingungkan. Memang, Prakoso yakin sebagian besar ketua pengadilan menganut prinsip eksekusi harus melalui fiat ketua pengadilan –yang berarti mengesampingkan rumusan pasal 6. Tetapi, tetap saja sering timbul hambatan dan persoalan hukum di lapangan. Salah satu penyebab adalah putusan MA No. 3021/K/Pdt/1984 tertanggal 30 Januari 1986 yang menyatakan parate eksekusi yang dilakukan dengan meminta persetujuan ketua pengadilan negeri meskipun didasarkan pasal pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata adalah perbuatan melawan hukum dan lelang yang dilakukan menjadi batal.

Apabila rasio pertimbangan MA dalam putusan tadi diikuti, kata Prakoso, maka fungsi dari janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri ---yang menyangkut hak tanggungan eks pasal 6 jo pasal 11 ayat (2) huruf e UU Hak Tanggungan—menjadi kehilangan makna. Sebab, ciri pokok dari parate eksekusi berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri adalah eksekusi dilakukan tanpa fiat ketua pengadilan. Kalau tetap harus ada fiat, parate eksekusi sama saja dengan eksekusi pada grosse akte hipotik dan surat utang yang mempunya titel eksekutorial.

Untuk menyiasati hal itu, Prakoso memberi solusi. Sebaiknya ketentuan pasal 11 ayat (2) huruf e UU Hak Tanggungan tidak ditujukan kepada pemegang hak tanggungan pertama karena dia sudah diberikan hak oleh Undang-Undang. “Sebaiknya diberikan kepada pemegang hak tanggungan kedua dan seterusnya,” pungkas hak tinggi itu.

Anggota Komisi III DPR, Gayus Lumbuun mengakui telah terjadi pergeseran pengertian parate eksekusi menurut doktrin. Namun pelaksanaan eksekusi objek hak tanggungan yang masih memerlukan fiat ketua pengadilan bukanlah merujuk pada putusan MA tadi, melainkan tersirat dari pasal 26 UU Hak Tanggungan dan penjelasannya. Untuk memberikan kepastian hukum, kata Gayus, pembuat undang-undang tetap harus memperhatikan kepentingan semua pihak. “Asas parate eksekusi yang praktis dan sederhana seperti yang diharapkan oleh kreditor perlu mendapat perhatian. Namun tidak mengabaikan perlindungan hukum terhadap debitor dan pihak-pihak terkait,” ujarnya.
UU No.4/1996 Tentang Hak Tanggungan